Rinai hujan membasahi ibu kota Jakarta. Suasana yang sangat syahdu untuk bercengkrama. Sekedar berbagi kisah kepada orang yang disayangi. Untuk melepas penat setelah berjuang di tengah hiruk-pikuk masyarakat yang ada di Jakarta. Kehangatan tentunya sangat terasa di setiap canda dan tawa yang terlontar.
Namun hal itu tidak berlaku bagi seseorang. Hanya angin malam yang menyelimuti tubuhnya. Baginya ia membenci hujan. Ia benci tiap tetesan hujan yang ada. Ia benci tiap bunyi yang dibentuk oleh hujan.
Ia hanya pasrah membiarkan tubuhnya dibasahi oleh tiap tetesan air hujan yang ada. Ia tidak memilih untuk berteduh seperti yang orang lain lakukan. Ia menikmati hal tersebut. Ya betul, ia membenci dan mencintai hujan pada waktu yang bersamaan. Hujan tentunya telah melahirkan kenangan pahit dan manis. Sehingga ia membiarkan perasaan benci dan cinta terhadap hujan berjalan bersamaan.
Ia tertawa di tepi jalan. Menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan nasib buruk yang terjadi padanya. Menertawakan jiwanya yang hilang entah kemana.
Ia terus bertanya dimana letak keadilan sang pencipta. Ketika sebagian orang diberikan kebahagiaan yang berlimpah, ia tidak memilikinya. Semua kebahagiaan yang dulu ia punya sudah tidak tersisa lagi. Kebahagiaan seolah-olah tidak sudi untuk sekedar singgah di hidupnya.
Terdengar berlebihan memang, namun yang pasti ia tidak bisa sepenuhnya membenci hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rinai Hujan
Romance"Dibawah rinai hujan saya tuliskan surat ini, sekedar mengucap syukur atas skenario kehidupan yang telah tuhan gariskan untuk saya."