By : nofikadwi
Chapter 1
Bapak ibu.... aku Dinda gadis kecilmu
Dinda seorang mahasiswi semester 8 yang dibesarkan disebuah keluarga sederhana. Keluarga muslim, yang mungkin lebih tepatnya sering disebut keluarga islam KTP. Tumbuh dewasa dari keluarga yang mengakui islam sebagai agamanya, namun tak pernah bahkan tak mau tahu tentang syariat islam. Maklum lah dinda berasal dari desa terpencil dibawah gunung balak, desa sidorejo, Lampung Timur. Latar belakang pendidikan warganya pun masih minim sekali. Banyak anak-anak seusia dinda yang sudah menikah. Bahkan banyak yang putus sekolah. Karena alasan ekonomi dan alasan keterbatasan fasilitas pendidikan.
Mungkin dinda adalah remaja paling beruntung, ia punya kesempatan meneruskan pendidikan di bangku kuliah. Ia mendapatkan beasiswa bidikmisi dari pemerintah. Dan alhasih 4 tahun yang lalu dinda berangkat ke kota yang punya predikat kota ramah tamah penduduknya, kota budaya yang masih kental adat jawa nya. Yupsss.... solo.
Banyak cerita yang ia lalui selama 4 tahun itu, bukan hanya cerita menyenangkan menjadi gadis desa yang kuliah di kampus terkenal. Tapi juga pengalaman tentang suka dukanya mencari kebenaran tentang agama. Selama 4 tahun itu, dinda beruasaha mendalami pengetahuan tentang “ISLAM”. Dan Allah sungguh maha besar, langkah dinda dimudahkan dengan mempertemukan ia dengan teman-teman yang bisa membawa nya lebih banyak lagi belajar mengenai islam. Ia juga aktif dalam kegiatan Lembaga Dakwah Kampus. Dinda rajin menghairi majelis-majelis ilmu seperti kajian, seminar kemuslimahan dan seminar mengenai islam yang diadakan di kampusnya. Bahkan karena rasa tertariknya terhadap islam begitu kuat di semester 2 ia memutuskan untuk masuk pondok pesantren mahasiswa dekat kampusnya. Itupun tanpa sepengetahuan orang tuanya, selama 4 tahun di solo dinda hanya mampu berbagi kabar dengan keluarganya melalui surat yang ia kirim sebulan 2 kali. Walaupun ia berkuliah di kota, jauh dari orang tua bukan berarti dinda menggantungkan hidupnya dengan uang kiriman orang tuanya, bahkan setelah 1 semester ia berkuliah orang tuanya tak pernah mengirim uang lagi. Dengan terpaksa dan senang hati ia bekerja sebagai pengajar disebuah lembaga pendidikan belajar untuk siswa SD, SMP dan SMA. Dan 4 tahun itu waktu yang cukup singkat merubah sosok dinda yang pertama kali datang ke solo dengan rambut tergerai indah, dengan kemeja pendek serta celana panjang yang cukup ketat khas penampilan remaja. Ia ingat bagaimana ibunya menyiapkan baju-bajunya, bahkan ibunya rela menjual hasil panen waktu itu untuk menyiapkan segala keperluan dinda, termasuk baju dan uang saku. Dan sekarang 4 tahun telah berlalu, hem lengan pendek dan celana jins yang super ketat tergantikan oleh gamis yang super longgar, rabut hitam panjang yang tergerai indah sekarang rapi tertutup hijab yang menjulur menutupi dadanya. Kaki putihnya pun tertutup kaos kaki. Dengan senyum merekah, ia turun dari kapal yang sudah 2 hari membawanya terapung dilaut menuju kampung halaman.
Selepas turun dari kapal dinda menunggu bus yang akan membawa nya menuju desa. Dibutuhkan kira-kira 24 jam perjalanan naik bus, dan 6 jam perjalanan dengan angkot. Dinda menyandarkan kepalanya disandaran kursi setelah beberapa menit yang lalu ia menaiki bus. Disebelahnya nampak seorang wanita paruh baya yang terlelap tidur. Segera ia keluarkan mushaf al qur’annya, dan memulai tilawah.
Langit masih gelap tatkala dinda terbangun dari tidurnya, sepertinya sang mentari masih enggan menampakkan seluet sinar hangatnya.
“sudah jam setengah 5 ternyata”, batin dinda ketika melihat arlojinya, segera ia bertayamum dan menunaikan sholat subuh.
Bus terus melaju menyisakan 5 orang, 1 orang supir, seorang kernet dan 3 orang penumpang termasuk dinda. Setengah jam kemudian bus berhenti di terminal rajabasa. Terminal kecil yang cukup rame dengan angkot-angkot yang siap mengatarkan ke jalan menuju desa-desa. Banyak yang berubah dengan terminal ini, ia ingat ketika 4 tahun yang lalu saat ia berangkat ke solo belum ada banyak fasilitas di terminal ini. Hanya ada kursi-kursi dipinggiran terminal. Sekarang terminal diperluas, ada fasilitas berteduh, bahkan sudah ada hotel kecil disamping terminal. 6 jam perjalanan dengan angkot berasa singkat. Tak jarang ada beberapa orang berbisik-bisik tentang penampilannya. Bahkan ada yang sempat berbisik teroris.
“astagfirullah, ya Allah berikan kemudahan disetiap perjalanan ku ini ya allah, bisik dinda setiap kali dijumpainya tatapan yang kurang mengenakkan dari beberapa orang terhadap dirinya.
Angkot berhenti tepat di jalan masuk menuju desanya, setelah membayar ongkos, dinda turun dari angkot dan segera berjalan menuju rumahnya. Jalan didesanya masih sama seperti dulu, jalan tanah tanpa aspal yang setiap hujan pasti menyisakan lumpur dan genangan air. Teringat kenangan semasa ia sekolah, setiap pagi ia diantar bapaknya kesekolah mengendarai sepeda ontel tua sembari bapaknya berangkat ke ladang. Pulang sekolah dibawah terik matahari ia dan beberapa temannya berjalan kaki menyusuri jalanan desa.
##
Sampailah dinda disebuah rumah bercat kuning yang telah pudar, kondisinya masih sama seperti terakhir dinda meninggalkan rumah ini. Hanya saja tampak lebih teduh, pohon-pohon disamping dan didepan rumahnya tampak semakin rimbun.
“diketuknya pintu kayu rumah itu, assalamu’allikum ibu, dinda pulang bu”, teriak dinda didepan pintu kayu itu. Terdengar langkah kaki menghampiri pintu tersebut.
“dinda?? Ini dinda anak ibu? beneran?”, tampak seorang wanita paruh baya membukakan pintu disambut rasa keterkejutannya melihat siapa sosok dibalik pintu tersebut.
“iya ibu, ini dinda. Ibu, dinda kangen ibu.”, tangis dinda pecah seraya ia memeluk dan mencium kedua tangan ibu nya.
“bapak mana bu?, dinda kangen sama bapak”, oceh dinda, sambil memasuki rumah sederhana tersebut. Ibunya masih terdiam didepan pintu. Banyak yang sedang ia fikirkan sekarang, rasa rindu teramat dalam terhadap anak bungsunya, namun ada rasa mengganjal tentang perubahan yang terjadi pada anak kesayangannya tersebut.
“sejak kapan kamu berpakaian seperti ini?”, Tanya ibunya sambil menghampiri dinda yang sedang duduk di kursi ruang tamu rumah tersebut.
“hemm… alhamdulillah bu, beberapa bulan setelah dinda kuliah disolo, dinda pengen berubah seperti ini. Ibu tahu di solo dinda punya banyak teman yang mereka joosss banget ilmu agamanya. Orang-orang sholeh semua bu. Dinda jadi iri sama mereka. Kapan-kapan deh bu, tak kenalin sama mbak luna, mbak shofi dan teman-teman dinda yang lain.
“ibu gag suka dengan bajumu seperti ini. Pasti tetangga sedang sibuk gosipin kamu yang kayak gini. Kamu tahu nak, penampilanmu ini kayak orang-orang yang di TV. Yang ditangkap polisi karena bom itu lo. Pokoknya kamu harus lepas jilbab mu ini. Ibu gag mau kamu kayak gini.
Cairan bening tak mampu dinda tahan, dan turun dengan derasnya dari kedua matanya.
“Ibu, dinda tahu bu mana yang baik dan benar untuk dinda. Dinda juga gag neko-neko kok, dinda gag ikut paham atau ajaran agama yang menyesatkan. Insyaallah dinda tahu bu mana yang benar”, jawab dinda seraya berlutut di kaki ibu tercintanya.
“ibu gag faham, kenapa kamu berubah kayak gini. Dari kecil ibu dan bapak mendidikmu gag seperti ini. Gimana kalau bapakmu tahu kamu pulang dengan baju mu seperti ini. Dengan apa ini, jilbab yang seperti ini”, jawab ibunya sedih.
Beberapa menit kemudian tampak seorang laki-laki paruh baya memasuki ruangan tersebut.
“ada tamu to bu? Siapa bu?, lololo…. Ini kenapa bu kenapa? Siapa yang datang?”, suara laki-laki tersebut yang tak lain adalah ayah dinda ketika mengetahui istrinya sedang berlinang air mata. Dinda mengenali suara tersebut dan segera bangkit serta mencium tangan bapaknya.
“bapak, ini dinda pak. Bapak sehatkan?
Laki-laki tersebut hanya terdiam, masih terkejut dengan apa yang ia dengar. Rasanya ia tak percaya, anak bungsunya yang 4 tahun lalu meminta izin untuk berangkat ke jawa mengejar impian, sekarang berada didepan matanya. Dengan penampilan yang cukup membuatnya kaget. Hampir-hampir ia tak mengenali anaknya sendiri.
“jelaskan kepada bapak. Kenapa kamu bisa memakai baju seperti ini?”, kata bapaknya dingin.
“dinda hanya ingin berubah pak, berubah sesuai dengan apa yang agama kita anjurkan”, jawab dinda terbata-bata.
“bapak gag pernah mengajarkan kamu berpenampilan seperti ini. Jangan pulang kerumah lagi kalau kamu masih memakai baju seperti ini. Bapak sama ibu malu dengan tetangga. Apa kata mereka tentang kamu nanti, apa kata mereka tentang keluarga kita. Bapak sama ibu gagal mendidik mu”, jawab bapaknya.
Sedih, kecewa campur jadi satu itu yang dinda rasakan saat ini. Ia pun tak bisa sepenuhnya menyalahkan orang tuanya. Harusnya ia paham bagaimana lingkungan sekitar rumah, bagaimana pengetahuan agama bapak dan ibunya.
“bapak dinda pulang selain karena dinda rindu sama bapak dan ibu, tapi juga dinda ingin mengajak bapak dan ibu ke solo. Untuk hadir diacara wisuda dinda, insyaallah 2 minggu lagi dinda wisuda pak”, jawab dinda sambil terisak-isak.
“bapak sama ibu gag akan ke solo. Kamu simpan undangan itu”, jawab bapaknya sambil berlalu meninggalkan dinda yang masih terpaku diruang tamu.
“ibu gag bisa membantu apa-apa. Karena ibu sama kecewanya seperti bapakmu. Kalau memang ini keputusanmu. Tinggalkan rumah ini, kamu tetap ibu anggap sebagai anak ibu. Tapi berikan waktu kepada bapak dan ibu untuk bisa menerima mu seperti dulu”, pesan ibu dinda sebelum meninggalkannya.
Dinda terdiam, banyak hal yang ia fikirkan. Air matanya pun tak henti-hentinya turun dan kedua kelopak matanya. Begitu berat rintangan yang harus ia hadapi untuk mencapai ridho sang pemilik hati. Perlahan ia bangkit dari tempat duduknya, diambil kertas dan penanya.
Untuk bapak dan ibu.
Bapak ibu, dinda minta maaf jalan yang dinda pilih tidak sesuai dengan harapan bapak dan ibu. Tapi ini jalan yang menurut dinda terbaik bu, bukan karena alasan apapun, hanya jalan ini lah yang kelak bisa menolong bapak dan ibu di akherat. Maaf kan dinda bu, dinda akan menunggu hingga bapak dan ibu mau menerima kondisi dinda. Menerima penampilan dinda seperti ini. Bapak dan ibu jaga kesehatan. Dinda sangat menyayangi bapak dan ibu. Dinda pergi pak bu.
Selepas menulis surat tersebut dan meletakkan diatas meja bersama undangan wisudanya, dinda perlahan memulai langkahnya meninggalkan rumahnya. Angannya ketika berangkat beberapa hari yang lalu, tentang ia ingin bermanja-manja dipangkuan ibunya serta merasakan nikmatnya akan bersama kedua orang tuanya pupus sudah.
“tak apa din, ini jalan yang sudah kamu pilih dari kemarin. Ini jalan yang kelak akan membawa mu, membawa bapak dan ibu ke surganya ALLAH. Yakin deh”, bisik dinda menyemangati dirinya. Ia kembali menyusuri jalanan desanya. Hari sudah petang, ditemani rintik hujan yang seolah tahu bagaimana isi hatinya sekarang ia terus berjalan meninggalkan desanya.
“ya Allah, izinkan hamba menjadi orang yang serakah hari ini. Hamba ingin ENGKAU anugerahkan Sebanyak-banyaknya hidayah untuk hamba. Hingga hamba bisa membagikan hidayah-hidayah tersebut kepada orang-orang tercinta hamba ya ALLAH”, bisik Dinda dibawah rintik hujan yang semakin deras. Sesekali ia berhenti untuk menengok kebelakang, bahkan penat letih sudah tak mampu ia rasakan. Tak tahu sudah berapa kilometer ia berjalan. Yang ia tahu, ia ingin segera sampai dirumah sang pemilik hidup mencurahkan segala isi hati nya kepada DIA yang maha membolak balikan hati.Bersambung………….
Terimakasih sudah membaca.. nantikan part sepalanjutnya ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Izinkan Aku Berhijrah
Spiritualtentang perjalanan hijrah (berubah untuk menjadi yang lebih baik) terkadang lika liku fase ini begitu luar biasa. bukan hanya bermodal niat kuat, tapi juga harus bermodal keteguhan hati untuk istiqomah. karena hal tersulit dari fase ini bukanlah seb...