Part 1

4 0 0
                                    

Author POV

Gadis itu berjalan menunduk menuju rumahnya. Ia terlihat lesu dan tak bergairah. Kantong mata yang tecetak pada wajahnya membuktikan bahwa ia kurang tidur dan juga belum mendapatkan makan siangnya tadi. Ia terus berjalan menghiraukan semua yang ada disekitarnya. Angin sore menggerakan dedaunan kering berwarna coklat yang gugur dari ranting-ranting pohon. Ini musim gugur. Angin itu juga menerbangkan rambut cokelat kayu milik gadis itu. Rambutnya sungguh tak rapi. Terlihat sangat acak-acakan dan sedikit tak terurus. Mungkin ia tak pernah pergi kesalon untuk menata rambutnya seperti para gadis kebanyakan yang menghabiskan akhir pekannya untuk bersalon ria. Gadis unik.

‘’Kau itu tak tahu apa-apa jalang!!!’’ belum sampai gadis itu masuk kedalam rumahnya suara riuh keributan terdengar dari dalam rumah besar bercat kuning itu. Tak tahu malu pikir gadis itu. Ia bahkan belum masuk sama sekali kedalam rumah nerakanya itu. Ia baru didepan pintu gerbang coklat tinggi rumahnya. Dengan santai ia melenggang masuk tanpa menghiraukan security yang akan membukakan pintu untuknya.

‘’Sebaiknya kau menggelandang dua orang bodoh itu ke CIA!!! Konyol.’’ Racau gadis itu pada security berkumis yang diketahui bernama Max dari name tag diseragamnya.

‘’Bisa-bisa mereka berdua menggantungku di menara Times Square untuk pertunjukan tahun baru nona Bridgit.’’ Senyum dari lelaki yang akan meninggalkan masa setengah parubayanya itu pada gadis manis anak dari majikan tempat ia bekerja sekitar 20 tahun belakangan.

‘’Aku Bridgit Lilyanna Anderson sesungguhnya malu mempunyai orang tua konyol macam mereka.’’

Gadis itu memberikan senyum simpulnya pada Mr. Max lalu melenggang masuk kedalam rumahnya.’’

Bridgit POV

Inilah aku dengan segala kisah pahit hidupku. Maksudku tidak semuanya pahit. Dulu hidupku sangat manis. Orang tuaku dulu masih waras. Tak seperti sekarang ini. Gila.

Praaaannngggg………………………………………………………………………………………………

‘’Aku ini istrimu! Bukan tugasku untuk menafkahimu! Dimana uang-uangmu hah ? apa habis untuk para jalang-jalang simpananmu ???’’ ibuku membanting sebuah guci China yang kuketahui harga guci itu sama dengan harga setengah dari Range Rover. Satu milliar. Oh Tuhan ia benar-benar gila! Padahal guci itu steril. Tak boleh disentuh oleh siapapun. Dan sekarang ia membantingnya dengan tangannya sendiri. GREAT! Kupikir ia akan demam selama seminggu jika ia sudah kembali normal   —tak gila lagi—seperti ini. Baiklah maafkan aku Tuhan telah mengatai orang tuaku begitu jahat. Tapi ini adalah kenyataan.

‘’Apa kau lupa saat dulu dialtar pendeta berkata bahwa milik suami juga milik istri begitu pula sebaliknya? Jadi bukan masalah jika aku mengambil uang-uangmu!!!’’ teriak lelaki besar nan tinggi itu didepan wajah ibuku. Sungguh aku membenci ini semua!

‘’Itu menjadi masalah karena semua uang itu uang terakhirku bajingan! Itu untuk biaya semester Bridgit! Kau mau dia putus sekolah karena semua uang yang keluarganya miliki digunakan oleh ayahnya untuk berjudi hah???’’ teriak ibuku tak kalah keras pada ayahku. Namun ayahku menutup kedua telinganya. Dan aku hanya berdiri menyaksikan pemandangan rutin setiap sore. Kupikir ini sudah seperti jadwal tayang telenovela.

‘’Persetan dengan Bridgit! Tak perlu ia sekolah jika hasilnya akan sama bodohnya sepertimu.’’ Tunjuk ayah pada dahi ibu. Apa ? ibu tak bodoh. Bodoh itu milik ayah. Ayah yang bodoh bukan ibu. Kebodohan ibu adalah menikah dengan pria bodoh macam kau ayah.

‘’Kau memang tak punya otak.’’ Bibir mungil ibuku meluncurkan kata-kata lirih yang masih amat baik didengar oleh lelaki itu dan aku.

Plakkkkkkkkkkkkkkkk………………………………………………………………………….

Tuhan!!!

Still Bridgit POV

 

Ku hempaskan bokongku pada kasur empuk berbed cover bendera USA. Yeah aku memang bukanlah gadis feminim. Dan aku juga bukan tipe gadis nasionalisme atau semacamnya. Hanya saja bed cover bendera USA ini tampak keren. Sulit dijelaskan. Tapi aku menyukainya.

‘’Maaf atas kejadian tadi. Tak sepantasnya kau melihat.’’ Tiba-tiba sebuah suara lirih memasuki gendang telingaku. Ku arahkan indra penglihatanku pada suara yang sudh dapat ku tebak. Yeah. Itu ibuku. Anelise Anderson. Atau mungkin ia akan kembali pada nama mudanya dulu. Anelise Vern.

‘’Yeah… sebenarnya itu sudah biasa bukan.’’ Aku berdiri mendekati ibuku yang sedang berdiri di muka pintu kamarku. Ku peluk beliau dengan segala cinta yang ku punya. Dia ibuku. Lebih berharga dari apapun termasuk lelaki tua bregsek itu. Ayahku.

‘’Dia pergi.’’ Great! Kenapa ibu selalu memikirkannya ? tidakkah hatinya lara?

‘’Tak usah dipikirkan ibu. Biarkan dia pergi.’’ Ku lepas pelukanku menatap maik mata abu-abunya.

‘’Yeah kau benar.’’ Sebuah senyum penutup duka dan lara ia tunjukan padaku untuk menutupi segalanya. Aku tahu. Kau tak bisa berbohong. Aku juga merasakannya.

‘’Lebih baik kita makan malam. Ibu mau makan apa ? biar aku yang memasak.’’ Ku tarik pergelangan tangan ibu. Mengajaknya kedapur. Aku memang tidak feminim tapi setidaknya aku tidak buta dapur. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 07, 2014 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

For The Love Of A DaughterWhere stories live. Discover now