Prolog

107K 2.3K 30
                                    

Andrea duduk disebuah bangku panjang disebuah taman kecil, pakaian serba putih menutupi sekujur tubuhnya yang kaku. Rambut indah yang dulu bergelombang kini kusut dan lepek, serta wajah yang semula merona walau tanpa polesan makeup kini putih memucat.

Linglung...

Pandangan tertuju hanya pada satu titik, tembok.

Kosong yang dirasakan, hati bahkan otaknya tak mampu lagi bekerja dengan baik. Tubuh serasa dingin, lidahnya tidak dapat merasakan sesuatu, hambar lebih tepatnya. Saat beberapa perawat menyuapinya makanan dengan hati-hati, ia hanya mengunyah tanpa mengerti rasa yang terkandung dalam makanan tersebut.

"boleh aku pulang?"
bibir kering itu terdengar menggumam, tanpa melepaskan pandangannya semula. Wanita disampingnya hanya tersenyum, mencoba memberikan pengertian pada Andrea jika waktunya sudah tiba ia dapat meninggalkan tempat ini.

Andrea mengangguk lemah, warna putih yang mendominasi tempat ini membuat kepalanya sedikit nyeri. Belum lagi paparan sinar matahari makin membuat warna itu mengkilap saat langit cerah seperti saat ini. Ia menyipitkan mata saat orang-orang berpakaian putih itu menyilaukan pandangannya.

Dari kejauhan Arthur mengembuskan nafas, ia berjalan keluar dari rumah sakit itu. Tak mampu menahan sesak didada ketika melihat kondisi putrinya, ia mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Pihak rumah sakit menutup rapat-rapat kasus Andrea, dan Arthur meng-iyakan demi kesembuhan putrinya tersebut. Arthur buru-buru melajukan mobilnya kekediaman sahabatnya, Ethan Keys...

Seorang pria bersurai gelap menulusuri setiap sisi ranjang, mencoba mengingat segala kegiatan percintaannya dengan seorang gadis. Ia membenamkan wajahnya dibalik sebuah bantal, yang dulu sering digunakan gadisnya untuk diremas ataupun sekedar menggigitnya kala mencapai klimaks.

Nyeri dihati ketika hanya aroma tubuh dan bayangan gadis itu yang tersisa disini, tidak ada gemercik tawa atau tangis yang selalu ditujukan padanya.

Ciiittt!

Bunyi ban berdecit dipelataran sebuah perumahan elit kota New York, Arthur memasuki rumah mewah itu dengan langkah besar tanpa memperdulikan sapaan para maid yang mengelilinginya.

Mata tajamnya menelisir seluruh ruangan hingga tertuju pada suatu kamar, ia menaiki tangga dan mendobrak sebuah pintu walaupun tidak terkunci namun tak ada niatan baginya untuk sekedar mengetuk pintu atau menggunakan gagang pintu tersebut.

Pria itu hanya duduk, diujung ranjang dengan tertunduk lesu. Dengan kemeja kusut dan jas yang ia buang sembarang, menandakan bahwa ia telah pulang bekerja.

Bugh!!!

Satu bogem mentah melayang diwajah tampannya, berhasil membuat tubuhnya tersungkur kelantai. Ia tak berniat menatap pemilik jemari yang baru saja membuat wajahnya lebam, dia sudah tahu.

Dan memang sudah semestinya ia mendapat perlakuan seperti ini, ia mengerti dengan resikonya dan ia tidak perduli jika sahabatnya itu akan membunuhnya sekalipun. Ia sadar semua ini adalah kesalahannya...

"kau membuat murka seorang ayah, Ethan!" dada Arthur bergemuruh, wajahnya memerah menahan amarah namun ia tidak sanggup menuangkan segala kemarahannya kepada Ethan, bagaimanapun pria itu adalah sahabatnya.

Ethan mendongak menatap Arthur, dengan wajah penuh kesedihan dan putus asa ia mencoba bangkit. Tanpa memperdulikan beberapa tetes darah dari sudut bibirnya itu akibat perbuatan Arthur.

"Tolong aku Arthur!"
ucapnya parau, Arthur mendengus.

"kau lihat bagaimana keadaan Andrea? Ia sakit Ethan! DIA KEHILANGAN INGATANNYA!!!"
bentak Arthur diwajah ethan.

Ethan menggeleng lemah, meminta maafpun sudah tak guna. Yang dapat dia lakukan hanya mencoba membuat gadis itu kembali pulih.

"bantu aku Arthur!"
pinta Ethan, seketika Arthur membuang muka dengan nafas gusar.

"demi Andrea..."
bujuk Ethan pelan, Arthur kembali menatap Ethan menimbang permintaan Ethan.

"buatlah seakan-akan pernikahan ini benar-benar terjadi..."
tanpa menunggu persetujuan Arthur, Ethan mengeluarkan kalimat yang membuat darahnya makin berdesir.



To be Continued

Daddy's Good GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang