AIL

2.8K 318 45
                                    

AIL

BTS fanfiction

Characters belongs to God, BTS belongs to Bighit

.

.

.

Orang-orang mengenalku. Namaku mereka tahu dengan mudahnya. Dunia yang gemerlapan terkadang terasa menyesakkan dan buat sulit bernapas. Astronot dan artis mungkin sama. Penjelajah angkasa itu berada di antara bintang-bintang, menapaki bulan yang terang. Tapi mereka jauh dari tempat ternyaman. Aku rindu menjadi Park Jimin yang tak dikenal siapa-siapa. Ketika bertemu dengan titik jenuh seperti ini, aku akan pergi dan menghilang sejenak. Cari angin. Pacarku ada di sana selalu bersama si angin.

Waktu itu aku datang ke California untuk menemuinya. Di sana sedang musim panas. Awan-awan berjauh-jauhan saling memusuhi. Langit tak menjadikan mereka satu. Matahari yang minta supaya begitu. Katanya dia ingin menyengat orang-orang dan tanah California. Berada di luar dengan kepala tak terlindung apapun membuat ubun-ubun serasa dipres perlahan. Mobilku tak beratap. Ketika kami sampai di jalanan kosong menuju pantai, aku mulai merasa sakit sampai denyut itu terdengar di telinga. Tapi tanganku masih di stir. Yoongi terlihat tak terganggu dengan si matahari yang jahat itu. Rambut hitamnya berkibar ke belakang. Badannya hanya terlindung gaun tipis yang talinya selini tali kutang. Cuma matanya yang dipakaikan kacamata supaya tak silau lihat jalan dan lain-lain (yang berbatu, warnanya cokelat muda, yang berdaun, warnanya hampir kering). Dia menyangga dagu, melihat ke gulungan ombak dan bukan padaku.

Beginilah kami. Di sela pekerjaanku, aku selalu menyempatkan diri untuk berkomunikasi dengannya lewat pesan dan telepon. Tapi ketika kami bertemu secara langsung, yang kami lakukan hanya begini. Seperti orang asing, padahal bukan. Aku selalu menunggu dia heboh bicarakan hal-hal yang menarik. Hanya saja itu tak pernah terjadi. Selalu aku yang menyalakan pemantik. Barulah apinya muncul, merah, lama-lama jadi biru. Namun terakhir kali aku bicara dengannya, banyak hal yang membuat aku ingin sedikit berubah.

"Kurasa aku butuh aspirin," kataku.

"Sakit kepala? Aspirin bukan obatnya. Kau hanya perlu diam, tiduran di atas pasir."

"Tiduran sampai benar-benar tertidur dan tergulung ombak?"

"Jangan berpikir sejauh itu."

"Aku hanya butuh aspirin. Denyut ini sangat mengganggu. Ketika aku mendengarmu bicara, dia bersahutan dengan dentum di telinga. Dum, dum, dum."

"Kau mulai gila. Memangnya itu musik?"

Yoongi tertawa, lalu membenahi rambutnya yang acak-acakan gara-gara angin yang berbelok di tikungan. Pohon palem terakhir melambaikan tangan pada kami yang meninggalkan jalanan mulus itu. Mobilku serasa turun sedikit ketika bannya mulai berputar di atas tanah berpasir. Kami tiba di pesisir. Sama dengan jalanan itu, pantai ini pun tak bermanusia atau berbinatang. Mereka yang bercangkang mini mungkin mengubur diri dalam-dalam di bawah pasir. Sebab bagian atasnya seperti karpet yang dipanggang, dipanggang matahari. Yoongi berlarian ke bibir pantai, mendekati ujung lidah laut tanpa alas kaki. Sepatunya tertinggal di mobilku. Sengaja dia tinggal. Pun dengan kacamata hitamnya di jok. Aku turut membuka sepatu. Panas pasir membakar. Aku angkat kaki hanya untuk melihat seberapa merah kulitku. Merah seperti babi. Kulihat Yoongi di sana, dia menemukan sebuah ranting, kemudian mengukir-ukir pasir dengan ujungnya. Terlalu dekat, ukiran itu terhapus ketika pasang datang, kemudian saat air mundur lagi Yoongi kembali mengukir. Aku heran. Dia melakukan hal yang percuma. Sia-sia mengukir sesuatu jika itu akan hilang dalam sekejap. Seperti sengaja. Tapi entah juga. Yoongi ini kekasihku, tapi aku tak pernah mengerti apa yang sebetulnya ada di dalam kepalanya. Yang paling dasar, maksudku.

AIL [minyoon ff]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang