BAB 1

58 8 12
                                    

Tetes demi tetes membasahi bumi. Air turun dari langit dan menyatu dengan tanah. Awan hitam menggumpal menjadikan suasana sedikit menakutkan. Kilat dan petir menyambar dengan begitu ganas. Angin yang dingin menusuk tubuhku hingga aku merasakan kedinginan yang begitu kuat.

Hujan ini cukup membuatku merasakan ketakutan. Apalagi sambaran kilat dan petir yang menjadi-jadi menambah level ketakutanku semakin naik. Seketika lampu yang tadinya menemani dan menerangiku tiba-tiba mati. Kini hanya kegelapanlah yang menemani ketakutanku.

Duar...... duar....

Untuk yang sekian kalinya suara petir mengagetkanku. Aku ketakutan, rasanya aku ingin menangis dan menjerit.

"Wuah," seseorang mengagetkanku dari belakang.

"Aahh, tolong......" jeritku ketakutan.

"Hahahaha..... dasar bocah, dikagetin gitu aja udah takut," ucapnya dengan nada meledek.

Aku pasang wajah cemberut dan kunaikkan nada bicaraku, "Biarin terserah aku dong, mau nangis mau teriak, bukan urusanmu. Apa pedulimu?"

Dia malah mengejekku dengan wajahnya yang dijelek-jelekkan. Bukan, wajahnya memang sudah seperti itu sejak lahir bukan karena dijelek-jelekkan.

"Dasar bocah" ucapnya sambil meninggalkanku.

"Ihh, Kak Beto" teriakku sambil meremas-remas bantal.

Sambaran kilat dan petir mulai datang lagi dan sialnya kali ini lebih dahsyat dari pada yang tadi. Melalui pemikiran yang sangat panjang, akhirnya aku memutuskan untuk mengurung diri di kamar sampai hujan reda.

Kuberanikan diri untuk melangkahkan kaki menuju kamar. Dengan tangan meraba-raba aku berjalan. Mati lampu ini membuatku menjadi lebih penakut dan kegelapan yang dihasilkan juga membuat bulu romaku berdiri. Merinding.

"Alhamdulilah, akhirnya..." aku mengucapkan syukur karena aku telah sampai kamar dengan selamat.

Seketika lampu menyala kembali setelah rasa takutku mulai mereda. Aku duduk di kursi belajar dan memandang kearah jendela.

Dug.... dug.... dug....

Nampaknya ada seseorang yang memutar lagu dengan begitu keras, sampai-sampai terjadi getaran di kamarku. Pasti ini adalah ulah Kak Beto. Dia selalu mengangguku, tidak ada satu hari pun yang dilewat Kak Beto untuk menguji kesabaranku. Berbagai cara dia lakukan untuk mengangguku.

"Kak Beto, kalau dengerin musik jangan keras-keras, nganggu" teriakku dari kamar.

Tidak ada balasan apa pun dari kamar seberang. Musik bertambah keras, getaran di kamarku semakin kencang. Kemarahanku semakin meluap-luap dan tidak bisa diajak kompromi. Otakku tidak bisa berpikir dengan jernih. Aku memutuskan untuk mengetuk pintu kamar Kak Beto bertubi-tubi.

Kak Beto membuka pintu kamarnya, "Apaan sih! Maksudmu apa?"

Wajahku mulai memerah. Otakku mendidih dan siap meledak, "Masih tanya maksudku seharusnya aku yang tanya ke Kak Beto, maksud Kak Beto dengerin musik pakek di kerasin volumenya itu apa? Mau nganggu aku lagi?"

"Siapa juga yang mau nganggu kamu," jawabnya sewot.

Bukannya sadar akan kesalahannya Kak Beto malah sewot. Aku membalas, "Kalau nggak mau nganggu aku, ngapain masih ngerasin suara musiknya? Padahal Kak Beto tahu kan kalau aku lagi bad mood"

"Oke-oke aku bakal matiin lagunya, tapi kamu harus keluar dari kamarku, SEKARANG!!!!" dia memarahiku.

Aku keluar dari kamar Kak Beto. Aku kembali masuk kedalam kamarku, tetapi lagi-lagi Kak Beto mengeraskan volume musiknya. Kali ini aku aku membiarkannya karena aku tak ingin membuang waktuku dengan percuma hanya untuk berdebat dengan orang yang tak mungkin bisa mengerti.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 05, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MAGIC LOVEWhere stories live. Discover now