Bab VI. Siti Vs Dara

247 27 51
                                    

Senin kali ini begitu gerah bikin kita ingat sama hari akhir. Panas kayak begini nih, yang bikin gue serasa ingin lari ke bilik ATM seberang jalan buat ngademin hati. Habis, nggak ada se-biji pun ruangan ber-AC di sekolah yang hampir pailit ini.

"He is Budi," kata gue sambil pura-pura fokus mengajar.

Aslinya, sih, gue lagi nyari alasan agar bisa izin pergi. Apakah gue harus bilang mau ke toilet? Ada urusan mendadak yang kagak bisa ditinggalkan? Mau bikin alasan cuti hamil? Musti jadi bini orang dulu.

"Budi likes playing football," lanjut gue sambil merapikan buku. Tiba-tiba ada kesatria berkuda putih menyelamatkan gue dari kelas Jahanam ini.

Kesatria dengan mata safir dan rambut blonde yang naik kuda putih memang nggak datang. Malahan ada Pak Sae sama dua murid yang kutaksir dari kelas XI. Mereka datang dengan membawa gerah. Ini gue kagak boong, ye. Saat Pak Sae masuk, tiba-tiba udara jadi goyang epilepsi. Tahu, kan, kayak udara di atas wajan penggorengan cimol yang panas minta ampun sampe bikin udara bergetar? Nah, Pak Sae juga bisa gitu. Dari badannya yang tinggi tegap, dia bisa memancarkan hawa panas yang bikin istighfar.

Pak Sae maju selangkah mau mendekati gue, guenya mundur selangkah. Maju selangkah lagi, gue mundur selangkah lagi. Dia berhenti guenya mundur selangkah lagi.

"Maaf sudah mengganggu pelajarannya, Bu Siti."

Pak Sae mulai angkat bicara. Bibirnya membuka-mengatup persis ikan lohan, membuat gue salfok, alias salah fokus. Soalnya, ada sisa bubuk cabai di tepian bibirnya. Gue yakin dia habis ngegado mi lidi. Gue juga yakin berkat mi lidi itu lah Pak Sae memancarkan hawa panas. Sedahsyat itukah kekuatan mi lidi?

"Iya. Ada keperluan apa, ya?"

Pak Sae mulai mendekati gue dengan sigap sebelum gue sempat menghindar. Saat tubuhnya nyaris menempel ke gue, gue merasa hawa panas seumpama ditampar knalpot motor 90-an. Andai badan gue terbuat dari lempung, udah pasti gue berubah jadi keramik porselen. Tapi ye, bisikan Pak Sae membuat gue jatuh ke taman Firdaus, bagaikan keramik yang lagi panas-panasnya diceburin ke air es. Csssss.

Kata Pak Sae, mereka mau me-razia kelas ini. Dan berhubung jam kelas gue tersisa 20 menit, gue bisa menyudahi kelas Bahasa Inggris. Selamat tinggal, Jahanam. Sampai jumpa di ATM.

***

Ebused, belum juga gue sempat sleeping beauty, udah ada aje yang nyamperin.

"Bu Siti ... bangun."

Dari suaranya, kayak punya Aldo. Ini anak begimana ceritanya bisa nemuin gue yang hibernasi di ATM?

Gue tetap bergeming dari posisi duduk selonjoran pura-pura tidur sambil berharap Aldo menyerah dan meninggalkan gue sendiri. Tapi dia masih aja manggil nama gue. Harusnya dia sadar dong, gue lagi pengin sendiri. Ih, dasar cowok ... kagak peka!

Suara Aldo yang menyerukan nama gue semakin jelas di telinga, itu pertanda dia mulai nempel-nempel ke gue. Ini ... bercanda, kan? Dia nggak lagi berbuat senonoh, kan? Lagian ada CCTV di ATM, dia nggak bakal berani, kan? Iya, kan?

Gue masih memejamkan mata sambil berspekulasi enggak-enggak saat tiba-tiba terdengar bisikan lirih khas lelembut.

"Dara nendang bijinya Sae."

Mata gue langsung membelalak bikin maskara yang susah-susah gue pelajari dari beauty vlog-nya Sparkling Dove luluh lantak.

Duk!

Gue yang buru-buru mengangkat kepala membentur hidung Aldo. Hidungnya kecepirit cairan merah kental, bibirnya jontor merah, jempol dan telunjuknya merona, dan serbuk merah bertaburan di rambut gue. Kecuali hal yang pertama, sisanya disebabkan oleh mi lidi yang Aldo makan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 20, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kids Zaman Now Bab VITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang