Aku berkutat dengan laptop dan beberapa buku Biologi di meja belajarku. Besok adalah batas akhir pengumpulan makalah. Jari-jariku sudah pegal menari- nari di atas tuts keyboard. Tinggal kesimpulan. Tapi sinyal otak yang mulai melemah membuat semua ini terasa berat.
Ponselku berkedip-kedip beberapa kali. Padahal sengaja ku silent agar tidak memecah konsentrasi. Tapi cahaya yang berkedip-kedip sejak tadi membuatku menyerah. Aku mengambilnya, mengecek beberapa pesan yang masuk. Beberapa dari teman satu kelompok yang menanyakan nasib makalah, beberapa dari Cika. Ku balas singkat. Dan sebuah pesan dari nomor tak dikenal, kuabaikan. Tugas malam mini terlalu banyak untuk ditinggal.
Satu paragraf terakhir akhirnya selesai kuketik. Kulanjutkan dengan mengedit, kemudian mencetak. Selesai. Tugas selanjutnya adalah download film untuk movie marathon malam minggu. Selagi kuota masih ada, harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Kutinggalkan laptop di atas meja belajar, biarkan filmku menunggu prosesnya hingga esok hari.
Waktunya tidur. Kurebahkan badan di atas kasur empuk milikku. Kuperiksa kembali ponsel sebelum tidur, kuubah kembali mode suaranya. Aku teringat nasib pesan dari nomor tak dikenal tadi. Kubuka.
'hai'
Tiga huruf tak bertuan. Pukul 20.18, itu berarti sekitar satu jam yang lalu. Mungkin saja si empunya pesan sudah tidur. Tapi aku memutuskan untuk membalas.
'ya?'
Kuletakkan ponsel di samping kepala. Ngantuk belum menjemput. Jadi kutatap langit-langit kamar sambil mengulang percakapan dengan Cika di otak. Aku meraba-raba bentuk wajah Bang Ray yang diceritakannya ini. Mancung? Bibirnya tipis? Alisnya tebal? Bayangan wajahnya tak kudapatkan. Apakah dia se-tenar yang dikatakan Cika? Mengapa aku tidak tahu?
Ponselku berbunyi tanda pesan masuk. Kubuka pesannya.
'ini Hana? Aku Ray.'
Tepat seperti dugaanku. Bang Ray. Berhubung mataku belum lelah, aku tidak keberatan berbalas pesan dengannya.
'ya. Ini Hana. Ada apa?'. Dua detik setelahnya ada balasan.
'belum tidur? Awas besok kesiangan'
'abang sendiri kok.....
Kuhapus lagi pesannya. Terlalu gengsi memanggil dengan sebutan 'abang'. Jadi kuketik.
'kamu sendiri kok belum tidur?'
'ada tugas'
'ada tugas kok malah sms-an'
'ya tugasnya harus lewat sms. Kecuali kalau kamu mau ngasih akun Line kamu' Dahiku mengernyit. Aku? Akun Line?
'tugas apa?' tuntutku. 'kok aku harus ngasih akun Line aku?'
'ya. Tugas menyapa bidadari. Kamu. Jadi, akunnya apa?'
Bidadari? Katanya keren, tapi kok gombalannya receh. Aku merasa berbalas pesan dengannya tak ada gunanya. Kuputuskan menyudahinya.
'dah ngantuk. Mau tidur.'
2 detik kemudian ada balasan
'Oke deh gak dapat akun juga gak apa apa. Yang penting tugasnya selesai. Nice dream, Bidadari.'
Kuhempaskan ponsel di atas kasur.
***
Aku terbangun oleh suara nada dering ponselku. Dengan mata yang belum berfungsi total aku menggeser layar untuk menerima telepon. Biasanya hanya telepon dari Ayah yang malas membangunkanku ke kamar.
"hmmm" aku bergumam malas.
"Bangun. Udah pagi." Suara dari seberang bukan suara Ayah. Aku langsung terduduk, memeriksa dengan baik kontak di layar. Nomor tak dikenal. Aku menepuk kening. Itu pasti Bang Ray. Langsung kuputus sambungan kemudian mengganti nama kontaknya. Tak berselang lama, 1 pesan muncul.
'Mandi, siap-siap mau sekolah'
'YA!!' jawabku kesal karena dia telah berani mengganggu pagiku.
Aku sudah terlanjur bangun. Jadi kuputuskan untuk mandi dan bersiap. Berangkat lebih pagi mungkin tak ada salahnya.
***
Istirahat makan siang sudah berlalu 15 menit. Kelasku sepi. Hanya ada aku dan Dinda yang sedang memakan bekalnya. Aku juga membawa bekal, jadi aku bergabung untuk makan bersamanya. Sehabis makan aku permisi ke Dinda untuk pergi ke teras kelas. Dia mengangguk.
Aku berjalan keluar. Duduk di sebuah bangku panjang di teras, memperhatikan orang yang berlalu-lalang. Tiba-tiba Cika datang dan meloncat duduk di sampingku. Aku menoleh.
"Mana Riska?" tanyaku berhubung dia pergi bersama Riska tadi.
"Diajak ke Koperasi sama Salsa."
"Jadi dari kantin ke sini sendiri?" Dia mengangguk. Sejenak kami terdiam, memandang ke arah gedung di seberang kelas kami. Pandangan kami jatuh ke kantor guru.
"Eh." Ucap Cika setengah berteriak sambil menepuk bahuku. Aku menoleh, mengernyitkan dahi.
"Apa sih?" tanyaku. Tapi dia masih terus memukul-mukul bahuku pelan sambil menunjuk kantor guru. Aku menunggu dia berbicara sambil mengikuti arah pandangnya. Kulihat cowok yang bersama Andre di kantin kemarin berdiri di ambang pintu kantor guru. Dia memandang ke arah kami. Kemudian seorang temannya keluar dari kantor dan menepuk bahunya. Mereka sempat membicarakan sesuatu sebelum dia melambai ke arah kami. Lalu pergi.
Aku menatap Cika dengan pandangan bertanya.
"Bang Ray." Jawabnya singkat
***
YOU ARE READING
ALMOST
ChickLit"Kamu percaya nggak sih sama cinta?" "Cinta? Kami nggak pernah kenalan, jadi aku nggak percaya." "Kalo gitu, sini. Biar aku kenalin."