Penghuni Baru

149 0 0
                                    

Gadis jangkung itu berdiri di depan jendela kamar lantai dua. Matanya menjelajahi area kos yang sepi. Area berupa bangunan dua lantai dengan enam kamar---tiga kamar disetiap lantai---dan bertembok pembatasan bata merah. Terdengar dehaman dari arah pintu kamar,membuat Wulan menoleh dan membalikkan badan.

"Kak David baru aja pindah,jadi Lo nggak bisa lagi liat dia."Nina,si pemilik rambut panjang bergelombang sampai selengan atas,berkata sambil membawakan segelas air dingin,lalu menyerahkannya kepada Wulan,sahabat sekaligus teman sebangku di sekolah.

"Pindah?Sejak kapan?"Wulan mengambil air minum dan langsung meneguknya.Suara serak-serak basah dan mirip suara pria adalah ciri khasnya. Rambut lurus panjangnya hingga sepunggung berkilau diterpa sinar mentari yang masuk dari arah jendela. Sama seperti Wulan ,Nina masih berseragam putih abu-abu. Mereka baru saja pulang sekolah dan Wulan kembali mampir.

"Kemarin. Jadi sekarang ada tiga kamar kosong di lantai atas."

"Hilang satu deh kecengan gue,"canda Wulan dengan tampang sok sedih,meletakkan gelas di meja belajar. Kak David adalah mahasiswa tingkat akhir yang sudah satu tahun menempati kos-kosan itu. Saat pertama kali melihat pemuda itu,Wulan langsung suka.

Nina melihat kumis tipis yang menghiasi wajah temannya. Wulan berwajah tirus yang berpadu dengan mata setajam mata kucing dan alis tebal seperti ulat bulu. Kulitnya yang sawo matang membuat gadis itu tampak eksotis. Nina selalu berpikir Wulan akan menjadi model suatu saat nanti.

Nina sendiri bertubuh mungil. Mukanya oval dan berkulit putih. Alisnya yang melengkung indah terkadang tertutup poni. Ketika tersenyum atau tertawa, lesung pipinya dijamin menggemaskan. Belum lagi matanya yang indah, yang dinaungi bulu mata lentik. Sepasang matanya itu akan berbinar setiap kali ia merasa senang, lalu terlihat sendu dan memancing ibatatkala pemiliknya bersedih.

Tempat tinggal Nina terletak di pinggir jalan raya, membelakangi perkampungan, di tengah-tengah gedung perkantoran dan bangunan tinggi lain. Bu Sari---begitulah ibu Nina disapa---selain membuka usaha katering juga mendirikan kos-kosan khusus pria yang dibangun di samping rumah.

Kamar Nina berada di lantai dua rumah utama, jendelanya menghadap ke arah kos, persisnya ke bagian sampingnya. Masing-masing kamar kos dilengkapi satu jendela dan satu pintu hitam. Kos-kosan yang didirikan sejak dua tahun lalu itu berupa bangunan modern dengan dinding bercat krem. Lahan berumput di depan bangunan berfungsi sebagai tempat parkir sepeda motor dan jemuran.

Kipas angin yang berputar di pojok membuat kamar Nina terasa sejuk. Wulan bertanya saat Nina menghamparkan diri di kasur sambil memeluk boneka berbentuk hati.

"Lo kadang ngerasa ngenes nggak sih, karena belum punya pacar? Apalagi sebentar lagi kita mau sweet seventeen."

Nina mendesah. "Gue mah males mikir begituan. Mungkin karena belum ada cowok yang benar-benar bikin gue penasaran."

"Padahal lumayan banyak cowok yang ngedeketin Lo, tapi lo-nya dingin gitu..." Wulan turut menelentangkan diri, tepat saat suara kendaraan bermotor terdengar samar. Sepertinya ada yang sedang memikirkan sepeda motor di area kos.

Nina tertawa. "Itu sih lo, bukan gue. Lo yang disukain banyak cowok."

"Nggaklah, Na. Emang Lo nggak sadar kalau selama ini banyak cowok yang suka sama Lo?"

"Nggak" jawab Nina, polos. "Gue masih berpikir gue nggak menarik."

"Sifat nggak pedean Lo tuh harus dihalangi." Giliran Wulan yang mendesah. Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan. "Eh, Na, Lo pernah jatuh cinta nggak?"

Nina menguap, lalu memejamkan mata. "Belum. Pacaran juga belum pernah. Sebelas-dua belas sama Lo, kan?"

Wulan tersenyum dikulum, lalu menebak dalam hitungan detik Nina akan tertidur pulas. Waktu menunjukkan pukul setengah tiga. Maklumlah, sekolah pukul tujuh dan pulang pukul dua. Itu berlaku untuk hari Senin hingga Jumat. Sabtu khusus untuk eskul.

"Lo tahu nggak? Cinta itu lebih sulit daripada matematika," kata Wulan dengan tatapan hampa. Seperti ada sejenis roh halus yang merasukinya. "Pelajaran eksakta ada rumusnya, sementara cinta nggak punya rumus apa pun. Abstrak, kita cuma bisa ngerasain. Dalam matematika, satu tambah satu sama dengan dua. Dalam cinta, satu tambah satu bisa jadi tiga, empat, lima, enam, tujuh, dela..."

Wulan melirik Nina yang ternyata sudah tidur dengan mulut menganga. Suara dengkuran pun terdengar.

"Groook..."

Kalau sudah begini biasanya Wulan geleng-geleng, mengingat kebiasaan Nina yang gampang tertidur dan suka menguap saat di kelas. Wulan tergoda untuk melakukan hal yang sama. Matanya terpejam, napasnya mengembus teratur. Jadwal belajar yang padat seharian tadi membuatnya lelah dan mengantuk. Sepertinya tak apa-apa kalau ia tidur sebentar.

    Kamar Nina tak terlalu besar, namun cukup rapi. Ada Spring-bed ukuran single dan lemari. Mading dari gabus tertempel tepat di atas meja belajar. Terpajang beberapa memo, termasuk jadwal mata pelajaran, juga foto-foto. Salah satu foto menunjukkan Wulan dan Nina berdiri dalam seragam dengan latar belakang taman belakang sekolah.

      Nina Paramita bersekolah di SMA Diponegoro, Jakarta dan awalnya masuk kelas sementara, kelas X-5. Sekolah sudah menerapkan kurikulum 2013, jadi anak-anak kelas sepuluh langsung masuk ke penjurusan atau peminatan. Ada dua jurusan yang tersedia. Kalau dulu ada istilah anak IPA dan IPS Sekarang berganti menjadi: anak Mia dan anak Iis. Ya, kini penjurusan disebutnya Mia atau Matematika Ilmu Alam, dan IIS atau Ilmu-Ilmu Sosial.







Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 03, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Baper In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang