Prolog

4 1 4
                                    

Manusia adalah makhluk yang rapuh. Karenanya, beberapa sistem baru yang berkedok impian, harapan, dan omong kosong sangat mudah untuk meretas otak. Tak ada satupun dari mereka yang menyadarinya. Perlahan pola pikir manusia berubah, bergerak tidak sesuai dengan keinginan mereka. Meski begitu, manusia tetap menutup mata, dan tanpa melihat ke depan.

"Manusia itu payah."

Manusia terkadang tidak mau berusaha mencari data yang valid. Hanya dengan informasi yang bahkan jauh dari kebenaran, sebagian besar menaruh jiwanya pada wadah yang salah, dan akhirnya mereka semua jatuh ke dalam lubang yang sama. Sebuah paradoks kebodohan yang tiada akhir. Dengan hanya mengandalkan emosi. Akhirnya, kebenaran yang nyata pun dikorbankan.

Sebuah kota mati, yang dipenuhi oleh reruntuhan, tidak ada lagi pemandangan yang bisa dilihat. Jika kakimu masih bisa berlari maka kau akan hidup. Dan jika kakimu sudah tak bisa digunakan setidaknya untuk berjalan, maka kau akan dianggap mati. Sebuah peraturan yang sederhana yang juga dibuat oleh seorang yang sederhana.

"Bagaimanapun juga, tidak akan ada seseorang yang menolongmu di dunia ini. Manusia itu, seperti sebuah game."

Itulah yang dikatakan Alvaro pada kucingnya. Dan perkataanya itu dibalas dengan sebuah jilatan kecil di ujung jari telunjuknya.

"Pergilah, carilah makanan atau apapun yang kau butuhkan. Maaf tapi yang kupunya hanya roti tawar ini. Jadi kalau tidak suka maka—."

Dum!

Sebuah dentuman keras dari arah timur laut membuat Alvaro berhenti bicara. Tangannya meraih kucing yang ada di depannya dan membawanya, berlari menjauh ke arah barat daya. Ia tau suara dentuman itu dimanapun ia berada.

"Pasukan pembebas!"

Sambil berlari, tangan kanan Alvaro menarik keatas masker yang menempel di dagunya,sementara tangan kirinya masih tetap membawa kucing tadi. Ia juga menutupi kucing  itu dengan kain jubahnya. Mereka dikejar oleh badai debu besi yang terpental akibat dentuman tadi. Satu hirupan saja bisa membuat paru-paru mereka sobek.

Alvaro berlari menuju ke sebuah gorong-gorong yang letak mulutnya berlawanan dengan arah badai yang mengejarnya. Namun kedua mulut gorong-gorong itu tertutup oleh sebuah reruntuhan.

"Yang benar saja! Padahal aku sudah sangat berharap pada lubang sialan itu."

Mau tidak mau, Alvaro hanya berlari dan melompat melewatinya. Ia terus menambah kecepatan berlarinya, karena Alvaro tahu batasan stamina tubuhnya. Ia harus bergegas mencari tempat yang aman dari jangkauan badai debu besi itu.

Perlahan debu itu mulai menjangkau jarak Alvaro. Ia pun menjadi sedikit panik, bahkan masker yang dikenakannya kini dibasahi oleh keringat dari wajahnya. Kaki-kaki itu bingung harus melangkah kemana. Apakah kanan, atau kiri, atau terus ke depan? Alvaro tak ingin ambil pusing dengan pikiran bodohnya. Ia hanya akan terus melangkah ke depan. Sementara debu besi itu sudah mencapai telinganya.

Brus!

Alvaro tak sengaja menginjak sebuah papan yang ternyata adalah sebuah jebakan yang memiliki lubang. Lubang itu cukup dalam, bahkan sangat dalam. Tanpa basa basi ia pun terperosok masuk. Sementara papan yang menutup lubang itu kembali ke posisinya semula berkat pegas dan engsel yang membuatnya mirip seperti pintu.

//Pergi Alvaro! Kau salah satu kunci suksesnya misi kita! Jangan mati apapun yang terjadi sebelum kau berhasil! Kalau tidak aku—//
//Putri!!!!!! //

Sebuah memori kelam yang sama sekali tak ingin diingat. Rantai takdir yang berkarat itu membuat bekas luka yang sangat besar di hatinya. Tragedi yang membuat semuanya hilang, dan hanya menyisakan seorang bocah lemah yang tidak berguna.

"Seharusnya aku mati saja. Tentu saja dunia tetap akan seperti ini, dengan atau tanpa diriku. Kenapa mereka begitu ingin untuk aku menyelesaikan misi yang begitu berat?"

Dalam keadaan tak sadar, Alvaro bergumam seperti itu. Sebenarnya tujuan akhir dari lubang jebakan itu adalah tempat perkumpulan sebuah komunitas. Dan saat ini, ia tengah dikerumuni oleh orang-orang yang ada di sana dalam keadaan tak sadar. Sampai akhirnya ia dibangunkan oleh sesuatu di dalam jubahnya.

Alvaro mengerang kesakitan, ia merasa ada yang menggigit lengan kirinya.

Meong.

Dengan tubuh yang lemas, ia mencoba untuk bangkit, dan melepas jubah di badannya. Didapatinya kucing yang tadi ia bawa tengah mengigit-gigit lengannya. Alvaro pun tersenyum lega, karena kucing yang ia bawa ternyata baik-baik saja.

Tapi senyum itu luntur ketika matanya melihat ke sekitar. Ada begitu banyak manusia yang tinggal di sini, di dalam tanah.

Tak lama berselang, datang seorang pria tua dengan dengan sebuah tongkat kayu di tangan kirinya. Ia menghampiri Alvaro sambil tersenyum.

"Aku tidak tahu siapa kau, tapi kami terbuka menerima pendatang baru. Dengan syarat yang datang adalah manusia."

Ia terlihat ramah, dan juga tidak mencurigakan. Cara bicaranya lembut. Sepertinya pria tua itu adalah seseorang yang berperan menjadi pemimpin di tempat ini.

"Kalau boleh, aku ingin tahu siapa namamu," ucapnya sambil mengulurkan tangan pada Alvaro.

Sebuah jabat tangan langsung.

"Alvaro."

"Baiklah, selamat bergabung dengan Komunitas Teratai Senja, Alvaro."

Kejutan hebat menyerang syarafnya. Alvaro benar-benar tidak tahu apa yang dimaksud oleh pria tua itu. Tiba-tiba mengajaknya berjabat tangan dan langsung menyatakan hal yang belum disetujui.

"Ini adalah salah satu alasan, kenapa aku membenci manusia."

<<Teratai Senja>>

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 24, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Teratai Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang