Sang Pengabdi

24 4 0
                                    

SANG PENGABDI
CERPEN SITI MAULID DINA

Masih terlukis indah senyum itu dalam hidupnya. Ketulusan mereka yang mengantarkannya pada kesuksesan. Apakah ada hal yang paling bahagia selain mengukir senyum mereka dalam hati? Hatinya masih sama saat dia terlahir di bumi, merindukan senyum itu. Hati itu masih saja bermuara pada mereka.
Mereka masih pemenang hatinya, walau dia sudah memiliki keluarga. Ya, lelaki yang mempunyai perangai lembut itu masih merindu pada orangtuanya. Terlihat jelas ada guratan kecewa di wajahnya. Ingin sekali dia menghujat, namun apa daya? Dia bukan lelaki yang tidak bertanggung jawab. Tangannya masih memegang tiket pesawat. Tertunduk, menatap lamat tiket itu sembari meneteskan air mata.
Latif menarik nafas. Tangan kanannya menyeka air mata. Mencoba bersahabat dengan dirinya sendiri. Mengusir amarah dalam diri. Dia tidak boleh menjuarai egois dalam diri, harus sadar. Masih banyak diluar sana yang membutuhkannya. Dia tidak boleh memenangkan keegoisannya karena satu orang yang dia sayangi, ada seribu orang yang harus dia bantu untuk menyebarkan miliyaran kasih sayang pada semesta. Dia melirik jam di dinding, menyimpan tiket pesawat dalam tas. Tiba-tiba ponselnya berdering, ada nomor baru memanggil. Tangan kanannya meraih ponsel yang terletak di atas meja kerja, menerima telepon. Ternyata salah satu mahasiswinya yang telah mempunyai janji pada Latif.
“Iya. Saya sudah ada di ruangan dari tadi. Menunggu kalian.” Kata Latif
Cepat dia merapikan meja kerja. Saat dia mengemasi seluruh berkas, terjatuh selembar foto orangtuanya. Ingin sekali dia meneteskan airmata kembali, tapi mahasiswa/i sudah datang dan meminta ijin padanya untuk masuk ke ruangan. Latif mempersilahkan mereka masuk sembari melemparkan senyuman.
Selesai. Meja telah rapi. Kini, saatnya dia memulai kerja, mencoba soundsystem. Lelaki berkulit kuning langsat itu tidak mau ada kesalahan dalam pekerjaan, terlebih lagi pekerjaannya sangat dibutuhkan oleh mahasiswa/i. Seketika kesedihan hatinya memudar saat keramaian mahasiswa/i memekikan ruang.
Latif berjalan menyusuri ruangan, memeriksa keadaan. Langkahnya kembali di meja kerja, mengambil selembar daftar hadir mahasiswa dan mengisinya. Dia mulai menyapa mahasiswanya dengan gaya humoris. Walau hatinya sedang terluka, namun dia tidak mau semesta akan menanggung kesedihan yang dialaminya saat itu. Tak selamanya yang buruk datang akan menghasilkan keburukan juga. Dia yakin, sang ibu akan bahagia melihat anaknya telah bertanggungjawab pada kewajiban, mengutamakan orang banyak.
“Oke. Apakah kalian siap mengikuti tes?”  tanyanya dengan ramah
Lelaki berparas tampan itu sibuk memegang mouse, sesekali dia memuntahkan gelagat candanya di ruang berwarna putih, agar suasana lebih hidup. Dia berjalan kembali mengelilingi setiap lorong kursi dan meja. Tangannya sibuk menyodorkan lembar jawaban dan naskah soal ujian tes toefl pada seluruh mahasiswa yang ada di ruang persegi itu. Senyumnya tak lepas dari pandangan para mahasiswa, tersirat ketulusan di wajahnya.
Lelaki separuh baya itu, selesai membagikan lembar jawaban. Memulai bekerja, memberikan panduan pada mahasiswa. Suaranya yang lembut memberikan kesejukan di ruangan. Tidak ada lagi gambaran luka pada parasnya, dengan senyum dia memulai bekerja. Sesekali matanya menyapu setiap sudut ruang, terlihat tenang. Dia menghidupkan tes pertama, yakni listening.
Tiga puluh menit berlalu, suasana masih terhenyak, hening. Lelaki berkulit putih itu betah duduk di kursi empuknya. Kesedihannya terhibur oleh pekerjaan. Tes listening selesai, Latif segera mematikan layar di depannya. Dia berdiri di hadapan mahasiswa, memberikan kode pada peserta didik agar mengerjakan soal structure dan reading.
Kembali Latif duduk di kursinya. Ya, dia tidak akan meninggalkan tugasnya, menunggu mahasiswa mengerjakan soal tes, walau dia tahu hal menunggu merupakan pekerjaan yang membosankan. Hati tulusnya yang membuat Latif betah di sana. Dia membaca setiap soal, apakah ada kesalahan dalam soal? Sedetail mungkin dia memperhatikan kinerjanya. Saat matanya masih menatap lembaran soal, seorang mahasiswa berdiri dan melangkah. Lelaki muda itu menghampiri sang dosen, sontak Latif terkejut bukan main.
Dahi Latif berkerut, matanya menatap tajam pada seorang mahasiswanya. Ringannya sang mahasiswa menyapa Latif. Semakin terkejut latif dibuat lelaki muda itu.
“Pak, saya ijin. Ingin mengecas baterai ponsel saya.” Ujar sang mahasiswa.
“Apakah kamu tahu yang sedang kamu lakukan saat ini? Kamu sedang ujian. Mengapa kamu meninggalkan meja dan kursimu?”
Tersirat santai pada wajah mahasiswa itu. Dia tetap berjalan mendekati pintu, mencari lubang listrik untuk mengecas ponselnya. Latif merasa tidak di hargai, pertanyaannya tidak dijawab, sang mahasiswa malah mengabaikannya. Darah Latif mulai deras mengalir, matanya semakin tajam.
“Hei, kau dengar ucapan saya.”
“Orangtua saya sedang sakit, pak. Saya khawatir keluarga menelepon, sedangkan baterai ponsel saya kosong.” celetuk mahasiswa.
Terlalu cepat otak Latif memutar kejadian sebelumnya, tentang Ibunya yang meninggal, sang bapak yang harus di amputasi, tiket seharga tiga juta harus dibatalkan. Si mahasiswa berhasil menggoreskan luka di hatinya dengan membongkar ingatan yang masih hangat untuk dicium.
Baru saja dia merasa terlupakan kepedihan karena kerjaan. Lelaki berkulit gelap itu menatap Latif lebih dalam. Menentang. Latif masih mengeluarkan suara bass pada mahasiswanya. Ternyata si mahasiswa masih tidak paham dengan ucapan Latif. Lelaki berkulit gelap itu tetap saja meneruskan langkahnya. Darah Latif semakin deras mengalir, nafasnya mulai tak beraturan. Pertanyaannya masih tidak dijawab mahasiswa.
“Saya bertanya. Apa yang kamu lakukan di ruangan saya? Mengapa kamu meninggalkan meja dan kursi?” tanya Latif.
“Kamu sedang ujian, bukan. Seharusnya kamu masih tetap ada di posisimu.” Sambung Latif
Si mahasiswa terhenti melangkah, hatinya bergemuruh. Orangtua sang mahasiswa sedang sakit, dia sangat cemas. Berbeda pada Latif, terlalu menggenggam tanggungjawab, sampai-sampai dia mengorbankan keluarga demi reputasi. Bukan karena sombong, tapi dia tahu betul menjadi diri yang profesional. Mampu membedakan waktu kerja dan keluarga. Dia tidak boleh memakan waktu kerja hanya untuk keluarga. Latif harus menunjukkan pengabdiannya pada negara.
“Orangtua saya sedang sakit, pak. Baterai ponsel saya habis. Saya khawatir, saudara tidak bisa memberi kabar.”
Lagi, mahasiswa itu menjual nama orangtua dalam urusan kuliahnya. Latif semakin marah. Kemarahannya semakin memuncak saat si mahasiswa melontarkan nama orangtua. Dia hanya menginginkan semua mahasiswanya disiplin, mampu membedakan waktu keluarga dan karir. Bukan hal mudah bagi Latif untuk mengobati luka yang baru dirasakannya tadi pagi. Ibu, yang rela menumpangkan rahimnya buat Latif harus pergi meninggalkan Latif di kampung orang. Sedangkan si mahasiswa masih mengalami sakit di hari yang bersamaan. Sekali lagi, Latif ingin melatih kedisiplinan.
“Seharusnya kamu memanggil saya, bahwa kamu butuh bantuan. Saya akan menghampiri kamu, yang penting, kamu duduk di atas kursimu.” Dengan suara tenor
“Ya, pak.”
Santai, lelaki muda beralis tebal itu tetap meneruskan langkahnya. Latif mulai kehilangan kesabaran. Akhirnya Latif berdiri dan mengejar langkah mahasiswanya, dia menarik tangan dan merampas ponsel.
“Ada apa ini, pak?” tanya si mahasiswa
“Sudah saya katakan, biar saya yang mengecas ponsel kamu.”
“Biar saya saja, pak.”
Latif semakin tak karuan mengontrol tingkat emosinya. Sikap dingin si mahasiswa tak mampu membekukan emosi latif. Sigap Latif membentak sang mahasiswa agar segera kembali di kursi. Ternyata si mahasiswa tidak terima, dia mengira bahwa ponselnya akan ditahan. Itu sebabnya, si mahasiswa bertahan di hadapan sang dosen.
“Pak, jangan diambil ponselnya, nanti saudara saya menelepon.”
“Sudah saya katakan, biar saya yang mengecas. Saya punya wewenang. Sekarang, kembali di tempat dudukmu.”
“Caramu ini, mengganggu ketenangan teman-temanmu. Seharusnya mereka membutuhkan keheningan biar konsentarsi. Kau permisi dan berajalan, kau jadi pusat perhatian temanmu, sampai mereka lupa sedang ujian.” Lanjut Latif
Menyerah, peserta didiknya kembali ke tempat. Kembali mengisi lembar jawaban. Lima menit berlalu, seorang mahasiswa menyatakan dirinya telah selesai mengisi lembar jawabannya. Jelas saja Latif terkejut. Bagaimana mungkin dalam empat puluh menit, dia menyelesaikan seratus dua puluh soal. Mustahil, sedangkan waktu masih banyak yang tersisa.
Ya, peserta didik yang membuat Latif marah sedari tadi. Gila, hampir begitu yang dirasakannya. Dia berjalan mendekati lelaki yang jauh lebih muda darinya.
“Sebenarnya kamu mau apa, hah?” tanya Latif dengan emosi.
“Pak, orangtua saya sedang sakit. Saya harus menelepon mereka.”
Latif merasa muak dengan alasan si mahasiswa. Segera Latif mengelus dada. Emosinya belum lagi reda. Lagi, lagi mahasiswanya memancing amarah Latif.
“Ini baru jam berapa? Kamu masih mempunyai satu jam lagi untuk menyelesaikan semua soal.”
“Saya sudah selesai, pak.”
Latif benar-benar tak karuan, cepat tangannya mengambil lembar jawab si mahasiswa. Lamat-lamat Latif melihat kertas itu. Seketika Latif merobek lembar jawab mahasiswa.
Sang mahasiswa tidak terima, dia menatap tajam pada Latif. Pikirannya menolak tingkah dosennya yang merobek lembar jawabannya. Bagaimana tidak? Sudah empat puluh menit dia mengerjakannya. Semua mahasiswa hanya terpaku melihat kejadian itu, tidak bisa berbuat apa-apa. Lebih mengurusi diri masing-masing.
“Mengapa dikoyak, pak?”
“Ya, kamu tidak berniat mengikuti ujian. Tidak logika, empat puluh menit kamu menyelesaikan seratus dua puluh soal. Sekarang, kamu keluar!”
“Saya punya hak untuk ikut ujian,pak.”
“Tidak, kamu tidak pantas ikut ujian. Kamu tidak punya niat belajar. Asal kamu tahu, hari ini, ibu saya meninggal, kaki bapak saya harus di amputasi, tiket seharga tiga juta harus saya batalkan demi kerja.”
Suasana ruang ricuh akibat perdebatan Latif dan mahasiswanya. Semua mata tertuju pada mereka. Keramahan dan humoris menjelma kekasaran. Tidak terlihat kelembutan di wajah Latif. Jantungnya berdegup kencang, seraya berkata.
“Sekarang, kamu keluar. Kamu sudah menjatuhkan reputasi saya.”
“Tidak bisa, pak. Saya punya hak.”
“Tidak, ruangan ini milik saya. Saya mempunyai wewenang, kau tidak mempunyai niat belajar. Keluar.” Bentak Latif sambil mengangkat tangan menunjuk ke pintu.
Mahasiswa itu keluar, kembali senyap.
“Maaf, saya sudah mengganggu ketenangan kalian. Silahkan dilanjuti.”
Latif kembali ke meja dan kursinya.
Penulis: Mahasiswi Pendidikan Matematika semester akhir UINSU sekaligus penggiat KSI

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 24, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sang PengabdiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang