Tentang seorang lelaki yang bego akan perasaan, tidak pernah peka terhadap keadaan, selalu bersifat menggantungkan karena tidak berani untuk sebuah pilihan, selalu memberi harapan di saat dia tidak ada niatan untuk memberi kepastian. Dia terlalu takut pada keadaan, dia terlalu takut pada pilihan, dan dia terlalu takut pada kepastian, karena rasa takut lalu dia menghancurkan segalanya.
Hidupnya berwarna tapi jiwanya kelabu, selalu tertawa tapi hatinya menangis, selalu bersama tapi terus merasa sendiri.
Dirinya seperti yin dan yang hanya mengenal hitam dan putih, wajahnya bersih tapi hatinya kusam, raganya seperti malaikat tapi jiwanya seperti iblis.
Dia terus berteman dengan sang kehancuran di saat sang kebaikan bersedih melihatnya, selalu berada di balik sang bayang di saat semua cahaya ingin menyinarinya, selalu bersama dengan sang hitam di saat sang putih ingin berdua denganya.
Dia terlalu hancur untuk mengenal baik, dia terlalu hitam untuk mengenal putih, dia terlalu gelap untuk mengenal terang, dia terlalu jahat untuk mengenal baik, karena dia terlalu sempurna untuk keburukan.
Jalannya lurus tapi tujuannya selalu bekelok, sperti air yang mengalir tapi tidak pernah tahu akan terhenti di mana, seperti angin dia terus berhembus tapi tak pernah di hiraukan, seperti api dia selalu panas dan terus membakar apa yang ada di dekatnya, dia ingin seperti hujan bisa melampiaskan semuanya tanpa harus menghiraukan segalanya.
Pekerjaannya hanyalah merindu, merindu sesuatu yang telah di hanyutkannya. Pekerjaannya hanyalah menatap, menatap sesuatu yang mustahil. Pekerjaannya hanyalah menginginkan, disaat sesuatu yang berharga berada tepat disampingnya. Pekerjaannya hanyalah menyesal, menyesali segala yang ada.
Hatinya tidak pernah menyerah tapi pikirannya selalu ingin menghentikan langkah, imajinasinya tak terbatas tapi dunianya sangatlah sempit, ekspetasinya selalu indah tapi realitanya selalu berketerbelakangan, raganya selalu memberontak tapi jiwanya selalu terpaku.
Dia bego tapi pintar, penakut tapi berani, pecundang tapi bertanggung jawab, pembohong tapi jujur, diam tapi bergerak, marah tapi sabar, jahat tapi baik, menangis tapi tertawa, sedih tapi bahagia, sendiri tapi bersama, buta tapi melihat, tuli tapi mendengar, bisu tapi bersuara, mati tapi hidup.
Sampai akhirnya si munafik keluar dari persembunyiannya, beranjak dari zona amannya, membuka batasan baru dan meningglakan batasan lama, membuat suatu keputusan yang nekat dengan pilihan yang sekarat.
Sekarang dia berada pada jalannya sendiri, setelah lama berada di jalan yg tidak di kenalanya. Sekarang dia berada pada kenyataannya sendiri, setelah lama berada dalam ilusinya.
Next chapter ?...