Andini masuk ke dalam kamar dengan tergesa-gesa, di tangannya sudah penuh dengan 2 kantong pemberian dari Anna. Andini sudah tidak sabar ingin mencobanya.
Andini mulai melepas pakaiannya dan mulai memakai dress pemberian Anna beserta sepatunya.
Dress hitam dan sepatu flatshoes putih sangat pas dikenakan oleh Andini.
Andini berputar di depan cermin kamarnya, tersenyum menatap dirinya di cermin, hanya satu hal yang kurang yaitu wajahnya yang belum di make-up, pasti akan terlihat sempurna dengan wajah yang sudah di make-up.Ingin sekali Andini berlari menuruni tangga untuk memamerkan pakaian baru dan sepatunya, tapi dia tak bisa melakukannya karena dibawah masih ada Radit. Mengingat nama Radit membuat Andini tersadar dengan sikap yang tidak banget dalam dirinya. Selalu asyik sendiri dengan apa yang diberikan Anna untuknya. Andini menepuk dahinya menyadari kesalahan itu dan segera mengganti pakaiannya kembali, keluar kamar dan menuruni tangga menemui Radit dan kedua orangtuanya di lantai bawah.
"Hai, maaf jadi asyik sendiri, he,, he." Andini menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan cengiran.
"Sudah biasa kalau kamu bersikap seperti itu, Dini." celetuk Rani dan menepuk punggung Andini.
Andini mengambil tempat duduk di lantai bawah yang ada di ruang keluarga ini, minuman hangat beserta cemilan tersedia di meja. Frans dan Radit duduk di sofa di ruang keluarga itu, ikut turun kebawah dan duduk di lantai yang beralaskan karpet empuk sehingga dingin lantai tidak langsung menusuk ke dalam tubuh.
Mereka bagaikan keluarga kecil yang begitu akrab. Berbincang bersama, saling bertukar pikiran, dan mendengar segala keluh kesah yang ada di dalam diri mereka.
Tak terasa hari makin gelap, jam dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam.
"Maaf Om, Tante. Radit harus pulang sekarang soalnya sudah malam." kata Radit kikuk tatapan matanya melihat ke wajah Rani dan Frans secara bergantian.
"Waduh, udah jam segini, maaf ya jadi nahan kamu sampai malam begini." Rani melirik jam dinding sekilas dan wajahnya menunjukkan rasa tidak enak.
"Yaudah, kamu biar Om antar ya pulangnya biar selamat sampai tujuan." sambung Frans.
"Tapi Om, saya bawa motor kesini."
"Bawa saja motornya, biar Om juga bawa motor sendiri."
"Jangan Om, Radit gak enak jadinya kalo begitu. Biar Radit pulang sendiri saja, aku kan sudah besar Om."
Frans berpikir sejenak, mengingat potongan masa lalu dimana saat Radit kecil berkunjung ke rumah Andini bersama dengan pengasuhnya dan lupa waktu saat bermain. Frans akhirnya mengantar pulang Radit dan pengasuhnya yang ditemani oleh Andini.
"Baiklah, kamu memang sudah besar tentu saja kamu masih ingat jalan pulang ke rumahmu. Berhati-hatilah." Frans berdiri dan menyudahi aksinya sendiri untuk mengingat masa lalu dan pergi begitu saja, masuk ke dalam kamar.
"Tuh, kan, ngambek." Andini menepuk dahinya pelan, Rani pun hanya menggelengkan kepala lemah. Andini dengan cepat menyusul Frans ke kamar, membujuknya supaya mau keluar kamar dan membiarkan Radit berpamitan dengannya.
"Pa, jangan ngambek gitu dong, biarin aja Radit pulang sendiri. Ayo ke depan Radit udah mau pulang, kalau kelamaan ntar tambah malam dia pulangnya." kata Andini mengikuti Frans masuk ke dalam kamar.
Frans tak menanggapi Andini, dia lebih sibuk mengotak-atik ponselnya, menghubungi seseorang yang jauh disana.
"Selamat malam, bagaimana kabarmu disana?"
"Tentu saja baik, kenapa kamu menghubungiku malam begini?"
"Maaf ya kalau aku mengganggu waktu tidurmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Honesty Of Heart
Teen FictionJujur itu memang tak mudah. Ketakutan untuk kehilangan jikalau berkata jujur. "Melihatmu tersenyum dipagi hari, selalu bersama denganmu sudah cukup bagiku. Tapi, apa boleh aku meminta lebih?" Andini, gadis belia yang polos dan belum mengerti akan k...