Cerpen PILIHAN

8 1 0
                                    



"Rumah tangga macam apa yang kita jalani ini? Mau sampai kapan kita terus begini?"

Dadaku selalu sesak dan darahku mengalir deras setiap kali kalimat itu menggema di telingaku. Kepalaku ikutan pening seolah pasokan oksigen berhenti mendadak sehingga tak bisa kugunakan untuk berpikir. Lumpuh total. Seperti mati suri. Sekeras apapun aku berusaha menemukan jalan keluar, selalu saja kutemui jalan buntu.

"Dibuat sholat saja Key, minta petunjuk sama yang Di Atas."

Nani, teman satu kost-ku memberi saran. Kutepuk jidat saat mataku menangkap jam di dinding menunjuk angka 5 sore. Tak terasa sudah kulewatkan menit demi menit dengan bercerita sampai terlupakan kewajiban sholatku. Nani sedang halangan, jadi dia tak memburu waktu sepertiku. Cahaya senja matahari menerobos jendela kamarku yang sedikit terbuka. Memberikan bayangan sajadah yang kugelar di lantai ubin yang tertutupi karpet biru.

Astaghfirullahaladzim..... kuucap istighfar berkali-kali ketika untuk yang kesekian kalinya kuusap air mata yang tak henti-hentinya mengalir di pipiku. Kutarik nafas dalam-dalam berharap bisa menghentikan derasnya air mata yang tersamarkan oleh air wudhu. Nani menepuk punggungku lembut, membantuku mengatur nafas. lalu membiarkanku menutup tubuh dengan mukena putih. Dengan anggukan kepalanya, kucoba untuk mengkhusukkan diri tatkala tanganku mengangkat ke belakang telinga sambil mengucap takbir.

Ajaib.... setelah serangkain gerakan sholat yang aku jalani, sesak di dadaku mendadak berangsur-angsur pergi dan aliran darahku kembali normal. Di akhir sholat, kurasakan ketenangan batin yang luar biasa. Sensasi surgawi yang selalu aku rasakan setiap kali aku selesai mengerjakan kewajiban rukun imanku yang kedua ini. Namun kali ini berbeda. Entahlah, mungkin bisa dikatakan istimewa karena sensasi yang aku rasakan terasa merasuk di hati begitu dalam. Seolah jiwa dan ragaku menyatu menghadap Yang Kuasa. Mungkin karena air mata yang seakan bukan sekedar keluar dari kelopak mata ragaku saja, tapi juga keluar dari hatiku. Saat ini aku memang benar-benar menyerahkan segala gundahku pada Tuhan. Tempat aku mengadu segala hal. Aku tahu Nani ingin bersuara, tapi diurungkannya. Mungkin menjaga perasaanku yang sedang kacau saat ini. Maka aku yang akhirnya membuka kata.

"Makasih ya Ni sudah mau dengerin curhatku. Sebenarnya aku malu, tak seharusnya aku membuka aib keluarga."

"Menurutku itu bukan aib. Kalau pun iya, nggak benar kalau kamu pendam sendiri saja. Nanti bisa-bisa kamu kena scizofenia loh. Dapat bisikan – bisikan nggak jelas.”

Aku menelan ludah mendengar jawaban Nani. Meskipun baru mengenalnya setahun belakangan ini karena kami teman satu kost, tapi Nani seolah sudah sangat memahamiku melebihi diriku sendiri. Pandai sekali dia memancing suasana sampai akhirnya aku mau membuka cerita apapun kepadanya. Goyah sudah pertahanan diriku untuk berusaha tutup mulut. Mottoku 'My life for my self' sepertinya tak akan berlaku lagi.

"Aku terlalu egois ya karena menganggap selalu bisa menangani masalahku seorang diri." Tanyaku menyimpulkan.

"Nggak semua masalah bisa dihadapi sendirian dan nggak semua masalah bisa mudah diceritakan ke orang lain. Menurutku kamu sudah bisa bedain itu, Key. Aku senang akhirnya ada yang bisa aku bantu. Susah juga bikin manusia introvert macam kamu ini buka mulut." Nani tertawa garing. Tapi berhenti dengan sendirinya karena aku tak ikut tertawa.

Manusia introvert...

Aku tertawa sendiri pada akhirnya setelah tawa Nani berhenti sekian detik. Membayangkan anggapan Nani terhadapku terkadang membuatku geli sendiri. Sahabat kemaren soreku itu selalu minta nasehat apapun tentang masalahnya, meminta saran ini itu setiap kali ia ingin melakukan sesuatu dengan hidupnya. Menraktirku dengan segala macam panganan yang masih asing di mataku dengan alasan yang dibuat-buat. Yang aku yakini sebagai usahanya untuk mengorek cerita tentangku. tapi gagal. Aku selalu berhasil tutup mulut. Tapi pada akhirnya aku dikalahkan dengan pepatah lama. Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pasti baunya akan tercium juga.
Kebab turki. Tak pernah kusangka akan dikalahkan dengan sogokan kebab turki. Bukan karena aku tak pernah memakannya. Hampir tiap hari malah aku membeli jajanan itu. Macam roti maryam yang juga akhirnya jadi favoritku. Tapi kemaren sore, Nani berhasil membuatku tersentuh dengan kebab itu.

Panas bulan September ternyata makin menyengat dibandingkan bulan sebelumnya. Menurut berita di TV, hujan akan datang terlambat di bulan mendatang. Menjadikan musim kemarau akan diperpanjang beberapa pekan. Namun itu tak menyurutkan usaha Nani untuk membeli paket kebab dalam beberapa porsi.

Nadhar katanya. Setelah berita gembira yang dibawanya sore itu ia memaksaku untuk memakan sepuluh porsi kebab yang dibelinya khusus untukku.

"Mas Iyan melamarku. Benar-benar melamarku, Keyla. Aku benar-benar nggak nyangka karena sebulan yang lalu kami bertengkar hebat. Aku pikir dia mau mutusin aku setelah pertengkaran itu. karena dia menghilang tak ada kabar. Tapi kemaren lusa....." Nani mengatur nafasnya dalam-dalam, memejamkan mata untuk mengingat runtutan kisah indah yang baru saja dialaminya, kemudian membukanya dengan tatapan yang begitu menyegarkan. Aku belum pernah melihat Nani sebahagia itu semenjak kami berteman baik.

"Dia mengajakku ketemuan dan intinya dia memberikan cincin ini padaku." katanya sambil menunjukkan cincin emas putih melingkar di jari manisnya. "Beberapa bulan lagi kami menikah dan dia sudah setuju untuk tak membatasi karirku. Makasih Keyla. Semua berkat kamu."

"Aku? Apa jasaku?" tanyaku tak mengerti. Nani tak langsung menjawab, tapi memandangku dengan senyuman termanisnya.

"Sekarang aku percaya kalau orang baik tak pernah mau mengakui kebaikan yang pernah dilakukannya. Tapi selalu meminta maaf atas kesalahan orang lain atas namanya. Kamu pantas dapatin kebahagiaan yang setimpal, Key."

Kebahagiaan?

Kebahagiaan apa yang sedang dibicarakan Nani. Aku mengenal bentuk kebahagiaan dalam berbagai versi. Lulus kuliah dengan tepat waktu dan hasil terbaik, Mendapatkan pekerjaan dengan gaji "lumayan" untuk bisa hidup di Jakarta dengan status fresh graduate, punya pacar dan menikah di usia muda. &$##%^$#&^^@!##

Memoriku gagal merekam kebahagiaan lain setelah itu. Menikah adalah kebahagiaan hakiki yang seharusnya dimiliki pasangan kekasih. Lalu bagaimana dengan pernikahanku?

"Kalian hanya perlu bicara. Lupakan logika, coba pakai hati. Aku percaya kok cinta di atas segalanya."

Deg.... lagi-lagi perkataan Nani menyadarkan aku akan sesuatu hal. Cinta di atas segalanya. kalimat yang tak asing terdengar di telingaku. Diucapkan oleh orang yang mengaku sangat menyanyangiku. Orang yang rela menyisihkan waktunya demi mengantar jemputku ke kampus, menemaniku kemanapun aku pergi tanpa mengeluh, menjengukku ketika aku sakit, mendengarkan keluh kesahku tentang tugas kuliah yang menumpuk, tentang gagal ketemu dosen, tentang teman kuliah yang membosankan dan bikin ulah, tentang banyak hal. Amar, bahkan melarangku pulang sendiri dan memaksaku menunggunya yang sudah berjanji menjemputku di stasiun Arjosari. Dua jam aku menunggu dan dia tak kunjung datang. Hampir saja kuputuskan untuk naik taksi ketika motor bebeknya akhirnya muncul di depan gerbang stasiun. Aku marah padanya dan dia diam saja sambil bilang maaf. Ketika sampai di rumahku, aku baru menyadari kalau dia berjalan pincang. Tapi dia tetap tak mengatakan apa-apa selain selamat malam dan istirahat. Keesokan harinya baru aku tahu kalau semalam Amar jatuh dari motor dan hampir terseret truk. Badannya luka-luka dan kakinya berdarah. Sedikit retak kata dokter dan harus dirawat agar kembali pulih.

"Kenapa ngebut? Sudah tahu kan kalau jalanan licin karena hujan deras." kataku protes. Amar hanya tersenyum sambil memegang tanganku.

"Memburu waktu. Takut kamu nunggunya lama. Maaf ya, padahal aku sudah ijin dari kantor pulang sore."

Aku tak bisa menanggapi penjelasannya yang terdengar tulus. Demi menjemputku dia rela berhujan-hujanan sambil ngebut. Bahkan Amar menolak di bawa ke rumah sakit karena dia memikirkan aku dan aku justru marah kepadanya karena datang terlambat. Oh!

"Tak perlu pikirkan aku. Yang penting kamu bahagia."

Aku terlihat amat jahat setiap kali kuingat kalimat itu keluar dari mulutnya. Yang penting aku bahagia. Jadi itu yang akhirnya dia lakukan padaku. Mengijinkanku kembali ke Jakarta untuk melanjutkan karirku tepat sebulan setelah pernikahan kami, Tak membantahku ketika aku tak bisa pulang ke Malang selama 2 tahun karena tuntutan kerja. Rela cuti kerja demi bisa menjengukku di Jakarta tapi aku justru meninggalkannya di kost-an karena aku harus lembur. Pasrah saja ketika lagi-lagi karena tuntutan kerja aku tak bisa pulang ke Malang untuk menemaninya operasi usus buntu. Bahkan aku tak ada di dekatnya ketika kepalanya harus dijahit sebanyak 10 jahitan akibat kejatuhan mesin di pabrik tempatnya bekerja.

"Tempatnya istri itu ya di dekat suami. Untuk apa menikah kalau masih jauh-jauhan. Ini bukan pacaran lagi, tapi sudah suami istri." katanya pada akhirnya. Aku tahu suatu saat ia akan mengatakan hal itu. Sesuatu yang sebenarnya juga aku pikirkan dalam-dalam. Tapi aku endapkan begitu saja. Aku juga punya teman kampus yang bernasib sama denganku. Hubungan jarak jauh dengan istrinya setelah menikah. Temanku kerja di Riau dan istrinya di Malang. Tapi temanku masih pulang sebulan sekali. Dea, temanku yang lain lagi juga harus jarak jauh dengan suaminya yang kerja di Lampung sementara dia di Surabaya. Tapi suaminya juga pulang ketika Dea memintanya pulang. Bahkan Cahyo yang kerja di Blitar sementara istrinya di Jombang masih menyempatkan pulang dua minggu sekali untuk keluarganya. Sementara aku? Lebaran hari raya pun aku tak bisa pulang karena ada syuting di Bali.

"Pekerjaanmu itu menyita waktu keluarga. Kalau ingin berkarir, carilah yang masih menyisakan waktu untuk keluarga. Aku juga ingin kita punya anak seperti pasangan suami istri lain. Aku ingin keluarga yang sebenarnya keluarga."

Aku tahu maksud dari permintaannya. Dalam hatiku aku juga menginginkan hal yang sama. Tak bisa kupungkiri aku kadang juga jengkel dengan pekerjaan yang aku jalani. Tapi aku menikmatinya juga. Karena inilah hidupku. Tapi bagaimana dengan hidup orang lain. hidup Amar, hidup suamiku.

"Pilihan sesulit apapun tetap harus diputuskan. Karir atau keluarga masing - masing punya resiko. Tentukan sekarang dan lihat perubahan apa yang terjadi dalam hidupmu." kata Nani pada akhirnya. Aku mengiyakan dan menutup percakapan kami dengan menghabiskan sisa kebab yang masih berjumlah 6. Aku tak sanggup menghabiskan semua kebab sendirian, jadi aku paksa Nani ikut memakannya juga. Tapi dia tolak karena kebab itu ditujukan untukku bukan untuknya. Bisa timbilen matanya kalau barang yang sudah diberikan diminta lagi. begitu katanya.

**

"Untuk apa pulang kalau nanti kamu pergi lagi." Nada suara Amar masih terdengar kecewa, tapi aku yakin ada kelegaan di sana. Dia hanya tak mau mengakui. Mungkin gengsi karena tak mau terlihat terluka di depan pasangannya.

"Aku minta maaf." Hanya itu yang bisa aku katakan padanya.

"Lupakan. Sekarang istirahatlah, setelah itu makan. Aku sudah buatin nasi goreng untukmu." katanya lalu pergi meninggalkanku sendirian di kamar. Aku terlambat menyadari perkataannya yang terakhir. Nasi goreng. Apa artinya dia memasak sendiri untukku. Bukan hal yang mengagetkan sebenarnya karena sejak kami belum menikah pun dia sering masak masakan untuk kami berdua. Itu yang membuatku semakin tak berguna karena aku tak bisa masak. Sebenarnya bisa kalau hanya masak tumis atau sayur bening. Ah, pembendaharaan kulinerku tak sebanyak dia. Istri macam apa aku ini. Kenapa aku biarkan suamiku yang melayaniku?

"Makan saja. Aku sudah terbiasa kok mengurus diriku sendiri." cegahnya ketika aku berusaha menata meja makan. Aku tak bisa enak-enakan tidur sementara suamiku sibuk di dapur sendirian. Sejak tiba di rumah kontrakan kami tiga jam yang lalu, aku memang belum istirahat lagi. Perjalanan dengan pesawat terbang memang hanya memakan waktu satu jam dari bandara Soekarno-Hatta menuju Abdurrahman Saleh. Tapi persiapan pulang ke Malang dengan memborong oleh-oleh dan segala tetek bengeknya membuatku sibuk dari kemaren. Tak dipungkiri kalau aku belum tidur semalaman.

"Maafin aku. Harusnya aku yang menyediakan makan buat kita." Kataku sekali lagi. Tapi Amar hanya menanggapi dengan senyuman. Miris rasanya melihat sikapnya yang terus mengalah. Makan malam itu kami lewatkan dalam diam. Tak beda jauh dengan jam-jam berikutnya. Ingin rasanya aku menangis. Sikap suamiku yang terus menerus diam membuatku tersiksa. Kalau marah mengapa tidak teriak saja. Atau membentakku. Bukan dengan diam seribu bahasa begini.
Air mataku tumpah juga akhirnya. Pertahananku goyah dan Amar melihat itu. Tapi dia tak segera memelukku seperti pada awal pernikahan kami. Dia hanya memandangku dari jauh tanpa suara.

“Aku memang istri yang gak berguna. Apa kamu menyesal sudah menikah denganku?” Kataku sambil menatap matanya yang jauh nun di sana. Tapi Amar tak mengangguk maupun menggeleng. Tatapanya masih sama tajamnya seperti satu jam sebelumnya. Membuat tangisku semakin menderu biru.

“Aku harus bagaimana supaya kamu gak diemin aku seperti ini terus. Ngomong dong mas....”

“Kamu kan pintar. Kamu tahu kok apa yang seharusnya kamu lakuin. Nggak perlu nanya sama aku.” Akhirnya dia buka suara juga. Aku mengusap air mataku sendiri, lalu berjalan mendekatinya. Kuraih tangannya dan kucium  perlahan. Aku merasakan tangannya yang lain mengusap kepalaku dengan lembut. Tanda cinta masih tersisa banyak di hatinya untukku.

“Jangan pergi. Aku butuh istriku.” Bisiknya di telingaku. Aku mendongak memandangnya dan seketika aku terperanjat kaget. Matanya merah, seperti menahan tangis yang tak bisa tumpah. Aku melihat penderitaan di dalam sana. Jahatkah aku selama ini kepadanya. Inikah keinginan terbesarnya yang membuatnya marah tapi tak bisa melampiaskan kemarahannya.

“Kamu masih mencintaiku kan?” tanyaku ragu. Sungguh aku takut jika dia menggelengkan kepalanya. Tapi kepala itu tetap diam tak bergerak. Hanya bibirnya yang kemudian tersenyum penuh sayang.

“Cinta itu tak perlu diucapkan. Tapi dibuktikan dengan perbuatan.” Katanya akhirnya.

“Maksudnya?”

“Kamu tahu maksudku, Keyla. Kamu juga pasti bisa menilaiku dari apa yang sudah aku lakukan kepadamu. Kecuali kamu mengganggap semuanya hanya angin lalu.”

Memoriku langsung bergerak mundur dengan cepat. Apa yang sudah dilakukan Amar untukku. Ternyata banyak. Bahkan terlalu banyak untuk masuk ke otakku. Dia sudah mengorbankan banyak hal untukku, memberikan hidupnya untukku, bahkan setiap kali aku sakit dia selalu memelukku dan meminta agar sakit yang aku rasakan dipindahkan saja kepadanya. Lalu apa yang sudah aku lakukan untuknya. Nothing.

Aku memeluknya akhirnya. Menumpahkan segalanya ke pundaknya. Bahkan dia tak peduli jika aku mengaku belum bisa mencintainya di awal pertama kami jadian. Lima tahun yang lalu. Asalkan aku senang, asalkan aku bisa menerimanya jadi kekasih itu sudah lebih dari cukup baginya. Dia tak butuh balasan cinta dariku. Yang penting dia memberikan segala cinta dan hidupnya untukku. Tak peduli siapa aku, bagaimana aku, bahkan jika aku monster sekalipun tak akan mengubah cinta yang membara di hatinya untukku. Maka bukan hal yang besar jika dia mengetahui cintanya bertepuk sebelah tangan. Aku membalas cintanya atau pun tidak, cintanya kepadaku tak akan pernah berubah. Lalu apalagi yang aku ragukan dari laki-laki tulus seperti dia. Bukankah dia pangeran yang dikirimkan Tuhan untukku. Seperti doaku yang selama ini aku munajadkan hampir di setiap sepertiga malam.

“Maafin aku. Aku yang salah. Aku akan pulang. Tapi tidak bisa sekarang. Boleh kan kalau aku selesaikan kontrak kerjaku di sana. Setelah selesai masa kontrak, aku langsung resign. Aku janji.” Amar menatapku lama, lalu mengecup keningku dengan lembut.

“Tidak perlu janji kalau tidak bisa menepati. Kamu di sana selamanya juga tidak apa-apa.”

“Nggak.... aku hanya perlu nyelesaiin masa kontrak 6 bulan lagi. Setelah itu aku pulang. Aku mohon, aku juga mau kita hidup seperti suami istri pada umumnya. Punya anak, dan lain-lain.”

“Jadi kamu memikirkannya juga. Aku pikir kamu hanya peduli dengan karirmu saja.” Dia tertawa garing. Ada perih dari pita suaranya yang tertangkap gendang telingaku. Membuat hatiku makin sakit saja.

“Terserah kamu menganggapku apa. Tapi aku gak seegois yang kamu kira. Aku sayang sama kamu, aku mau memperbaiki semuanya.”

Amar kembali diam. Tatapannya tak beralih sedetikpun dari mataku. Seolah dia mencari pembenaran dari kata-kataku tadi.

“Senang dengernya. Thank you, I love you again.” Dia mendekatkan wajahnya dan mengecup bibirku lembut. Seluruh dunia rasanya runtuh di depanku oleh gejolak yang memburu di hatiku. Sungguh aku tak ingin jadi manusia jahat. Hari itu juga aku siapkan segala sesuatunya untuk menyelesaikan pekerjaan yang aku bawa pulang kampung. Seminggu lagi aku kembali ke Jakarta dan tekadku bulat ketika mataku menatap kertas yang sudah terketik rapi di depanku.

“Maafin aku pak bos. Aku senang dengan peningkatan karirku di kantor. Tapi aku lebih senang dengan peningkatan arti diriku di depan suamiku. Selamat tinggal Jakarta. Bismillah.... semoga pilihanku benar kali ini.” Keyla memandang penuh keyakinan ke arah kertas putih yang kini sudah dilipatnya rapi itu, lalu memasukkannya ke dalam amplop coklat kecil yang didepannya sudah dia tulis dengan rapi pula bertuliskan “Surat Pengunduran Diri”


The end.


Cerpen oleh Wahyu Indah
Penulis buku Hapus Gelisah Dengan Sedekah dan novel Nebula



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 01, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PILIHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang