Prolog

52 9 1
                                    

"Beberapa orang mungkin berpikir kalau ucapan hanyalah sekadar ucapan. Mereka tidak pernah berpikir tentang bagaimana perasaan orang lain terhadap ucapan yang mereka lontarkan. Tentu saja karena mereka tidak berada di posisi itu. Tunggu sampai mereka berada di posisi yang sama barulah mereka tersadar. Iyap, kebanyakan orang berlomba-lomba mengujarkan kebencian akan tetapi mereka tidak ingin dibenci. Lalu, apa yang harus kita lakukan?"

Aku menatap para audiens yang tengah hadir di aula sekolah pagi ini untuk mendengarkan pidato dariku. Kebanyakan orang mungkin akan merasa gugup kalau harus menatap para audiens. Dengan jantung yang berdebar-debar, mereka akan merasakan tekanan dari tatapan para audiens yang tampak mengintimasi. Itu tak berlaku bagiku. Aku justru merasakan yang sebaliknya. Mungkin terdengar aneh, tetapi aku malah merasa tersemangati begitu tahu banyak yang memperhatikanku dan mendengarkan ucapanku. Aku pun memejamkan mata lalu menghela napas sebelum akhirnya melanjutkan pidatoku.

"Kita tak akan pernah bisa mengontrol perasaan orang lain terhadap perkataan juga perlakuan kita. Hanya satu yang bisa kita lakukan. Kita hanya bisa mengontrol perkataan kita dan perlakuan kita terhadap orang lain. Hidup ini terlalu singkat untuk saling menebarkan kebencian dan menyimpan dendam. Di luar sana mungkin ada banyak perasaan yang terluka atas perkataan kita dari hari-hari kemarin. Di luar sana mungkin ada banyak perasaan dendam yang tersimpan atas perlakuan kita tempo hari. Sudah berapa lama kita hidup seperti ini? sudahkah kita meminta maaf? meminta maaflah sebelum semuanya terlambat. Kita tidak akan pernah tahu ada apa dengan hari esok."

Aku melirik jam tanganku, memastikan masih ada waktu yang tersisa.

"Baiklah. Sekian yang bisa saya sampaikan. Terima kasih," ucapku yang ternyata disambut oleh tepuk tangan meriah oleh para audiens.

"Pidato yang bagus, Kezra."

Kezra Variel. Itulah namaku. Murid kelas dua belas di SMA Negeri 154. Aku ingin menjadi pembawa berita atau terjun ke dunia jurnalistik. Itulah mengapa aku juga melatih public speakingku. Ohiya, mungkin kalau berbicara tentang kelas dua belas, kalian akan berpikir tentang ujian beruntun dan kesibukan yang teramat sangat dalam mempersiapkan diri untuk memasuki perguruan tinggi. Benar, 'kan?

Not gonna lie. Aku pun sangat kaget begitu dihadapkan dengan tugas-tugas yang herannya semakin bertambah. Lalu, bimbel intensif untuk persiapan ujian sekolah dan tes masuk perguruan tinggi yang waktunya mepet dengan pendalaman materi di sekolah. Belum lagi jadwal pemotretan untuk buku tahunan yang kadang harus menyesuaikan dengan teman sekelas atau bahkan satu angkatan. Ugh, rasanya dua puluh empat jam terlalu sedikit untuk hitungan hari. Aku butuh tambahan waktu, seandainya bisa.

Hari-hari yang berat di bangku kelas dua belas mungkin sudah biasa. Akan tetapi, bagaimana jika harimu yang sudah sangat berat perlahan mulai mencekam?



﹉﹉﹉﹉﹉﹉﹉﹉




Hello guys, Finally...
Setelah sekian lama akhirnya aku mengumpulkan tekad untuk mulai nulis lagi. Yaampun udah berapa tahun ya.
Ohiya, ini pertama kali aku nulis thriller and mystery dan ini project bareng temen pas masih sekolah kemarin. Eh udah lulus tapi ceritanya belum kelar-kelar wkwk.

Ohiya, untuk masukan dan saran silakan komen aja ya. Terima kasih.
See you di chapter selanjutnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MessagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang