-Dua Puluh Lima-

7.8K 1K 108
                                    

Dering ponsel di ujung ranjang mengusik tidur Aaditya. Mulanya, ia tak sanggup membuka mata. Tidur yang ia rasa baru sekejap membuatnya enggan bangkit untuk meraih ponsel yang terus memanggil sang pemilik. Belum lagi, laki-laki dengan rambut acak-acakan itu belum puas menikmati kenyamanan tertidur sembari memeluk tubuh beraroma manis khas wangi strawberry.

Namun, ketika sebelah tangan Aaditya menggapai samping kanan sisi ranjang kosong, matanya mendadak membuka. Luna ... tidak ada di sisinya lagi. Aaditya bangkit seketika, menelisik setiap sudut kamar bahkan berusaha mencuri dengar ke arah kamar mandi. Barangkali wanita itu tengah mandi. Namun, ia mendesah kecewa saat ternyata tak terdengar suara gemericik air dari shower.

Mungkin ia sudah di lantai bawah, menyeduh kopi sembari menyiapkan pancake untuk sarapan. Aaditya menggigit bibir seraya berkacak pinggang. Ia tampak berpikir sejenak. Sedetik kemudian, bibir Aaditya menyunggingkan senyum saat wangi aroma makanan bercampur wangi seduhan kopi menyeruak dari arah lantai bawah. Dugaannya tepat, bukan?

Dengan sigap ia meraih handuk dan bergegas menyejukkan tubuh dengan air shower sebelum ke lantai bawah. Bahkan ia mengabaikan panggilan dari Lianti—sekretarisnya—melalui ponsel di sisi ranjang.

Sayangnya, Aaditya hampir lupa bahwa wanita yang semalam bersamanya sudah bukan istrinya lagi. Sehingga, saat ia selesai menuntaskan mandi dan berpakaian rapi, keterkejutan itu justru muncul begitu saja. Bukan Luna yang tengah sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Akan tetapi, wanita berwajah keibuaan yang sebentar lagi menyandang sebagai tunangannya.

"Pagi, Sayang! Habiskan sarapanmu segera. Aku membuatkanmu pancake madu dan kopi," sapanya dengan lengkungan sempurna menampakkan deretan Mutiara di balik bibir.

Aaditya mendesah, mendudukkan diri dengan lesu menemukan keadaan yang tak ingin ia temui di pagi ini. Dengan sikap canggung, Aaditya mengusap tengkuknya. Sungguh ia tak ada maksud menyakiti Maya. Wajah Maya saat ini memang terlihat biasa saja, sengaja terus menyunggingkan senyum. Tapi percayalah, Aaditya bisa melihat kesedihan di matanya. Saat itu juga, keyakinan itu muncul bahwa saat Maya datang sepagi ini ke sini, calon tunangannya itu sempat bertemu dengan mantan istrinya.

Dan lagi, bagaimana dengan Luna? Aaditya yakin, Luna memilih mengalah dengan pergi sebelum dirinya terbangun.

"May—"

"Jangan bahas apa pun tentang kebahagiaan kalian berdua semalam," potong Maya seraya menghentikan adukan adonan pancake dalam sebuah mangkuk. Ia terlihat menegang meski saat ini Aaditya hanya bisa melihat punggungnya.

Sebelah tangan Maya menghapus sudut mata, kemudian dengan tergesa meletakkan mangkuk berisi adonan ke meja dapur. Ia tak sempat mengucap pamit, hanya bergerak cepat meraih handbag di kursi pantry.

Aaditya mengusap kasar wajahnya begitu melihat Maya pergi berlari keluar rumah. Ia harus mengucapkan maaf sekarang juga. Sebelum Maya sempat menuju mobilnya yang terparkir di halaman rumah, Aaditya melangkah lebar, menghentikan Maya dengan meraih lengannya.

Maya yang hampir di ambang pintu menyentakkan cekalan tangan Aaditya. "Kamu mau mengatakan maaf?" cecarnya dengan bibir bergetar menahan ledakan isak tangis.

"Please, May. Sudah saatnya kita menyudahi semua ini. Aku—"

"Masih pantaskah Luna mendapatkan posisi itu?! Masih pantaskah kalian merasakan hangatnya ranjang dalam semalam berdua di atas keseriusan hubungan kita?!" Emosi Maya membeludak, berbicara penuh penekanan, dan hampir terdengar layaknya bentakan.

"Biarkan aku menjelaskan semuanya, May," desis Aaditya setengah putus asa.

"Aku terima semua sakit ini, Aaditya! Tapi aku tidak akan pernah membatalkan pertunangan kita hanya karena jalang itu!"

Luna (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang