Angin bergulung-gulung membawa rintikan hujan. Rintik itu menghujam tanah, seakan memiliki dendam yang tak berujung. Rintik itu semakin menjadi, seusai petir menghajar bumi menyisakan suara yang menyayat hati. Pohon mangga arumanis di depan rumah menjadi ketakutan, terlihat begitu ringkih diterpa derasnya hujan. Air mulai menggenang, tak memberikan kesempatan bahkan pada sehelai rumput untuk menyampaikan salam perpisahan. Anak burung gereja mencicit dari celah atap, mencoba mengalahkan gemuruh petir, berharap-harap cemas sang induk akan kembali. Seekor kucing menggigit anak semata wayangnya menerjang badai malam itu.
Aku, menyandang nama Andien yang tengah berjalan menyusuri kepala empat menjadi saksi siksa malam badai itu. Kubawa kursi jatiku ke teras, duduk di bawah kanopi tanpa sehelai penghangat. Hari yang teramat kelam. Aku layak disamakan dengan anak burung gereja, berharap-harap cemas menunggu kepulangan Mas Ridwan di hari pernikahan kami yang ke 15.
...
Pagi-pagi buta, janur kuning sudah tertancap. Dalam kamar rias aku berlinangan air mata, menyadari betapa sulitnya pernikahan kami. Tak ada sinar dari melatiku. Tak ada sorot ratu dari alis yang bercabang. Rarengganku hanya seperti goresan, karena digambar tanpa doa ibu. Penunggul ku nyaris tak berjiwa. Cithakku tak lagi disumpahi perkataan manis dari mulut sang ibu.
Sesekali masih terisak menatap ibu di seberang sana. Tak ada raut bahagia dari setiap guratan wajahnya yang menua. Ibu tak lagi mengecup dahiku. Kami tak lagi bertegur sapa. Hanya sesekali waktu ibu bercakap, pedih dan menusuk ia mengutukku dan Mas Ridwan. Kutuk itu menghantuiku, menyergap seluruh kebahagian hatiku. Aku disumpahi takkan pernah beranak. Ibu berujar aku tak boleh lari dari malu ibu. Pernikahan kami pernikahan terlarang. Pernikahan dari darah daging yang sama, satu ayah beda ibu.
...
Vespa hijau menderu dari kejauhan, bangkit aku membuka pagar. Aku hancur dalam dekapan Mas Ridwan. Hujan kian deras mengguyur kami, mencabik-cabik malam ulang tahun pernikahan kami.
"Mas, aku pengen punya anak."
...
Mas Ridwan membawaku kemari. Aku dimintanya minta maaf, bodohnya aku tak pernah memikirkan dua kata ini. Kata-kataku kini hanya memantul pada sebuah nissan, tapi kuharap ibu tak menutup telinga. Ibu ,pedihnya kutukanmu sampai membuat anakmu tak bersungguh hati saat sungkem dulu. Lihatlah aku dalam pakaian hitamku kini.
"Bu, Andien sama Mas Ridwan minta maaf."
Tak ada kembang apapun yang kutabur, tapi sekelebat bau wangi melintas. Kali pertama ibu menyapaku kembali dari perang dingin sampai hari kematiannya. Kurasakan kembali tentramnya dekapan sang ibu yang sekian tahun telah memudar. Mas Ridwan memegang pundakku. Perutku bergetar seiring dengan senyumku yang mengembang. Ibu merestui kami.
YOU ARE READING
Sayap-Sayap Cerita
Short StoryDunia tempatku berbagi cerita. Dalam berbagai sudut pandang kamu akan belajar apa itu hidup.