Goodbye Memories

102 7 6
                                    

"Aku mencoba memanggil, aku mencoba berpegangan, genggam aku, meskipun aku tidak memiliki apapun. Aku tidak punya siapapun untuk disalahkan selain diriku sendiri. Dalam pelukanmu yang melindungiku, Aku merasa terperangkap dalam hidupku seumpama anak kecil dan lemah. Disisiku..." -Stand By Me

Merelakan seseorang? Terdengar mudah namun sangat sulit. Hingga rasanya membuat dada merasa sesak.

Kata 'Mengikhlaskan' terdengar ringan jika kita tidak pernah tahu apa yang dirasakan seseorang jika hatinya sudah terkurung. Seperti dalam jeratan yang sangat sulit kita selamat. Sedalam itu juga kau jatuh hingga tak berdasar.

Aku pernah mendengar jika rasa cinta hanya bisa hilang jika kita mempunyai sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian kita. Namun, rasanya aku mengutuk pernyataan itu. Buktinya, aku akan kembali mengingat'nya' saat di malam hari.

Di siang hari aku akan di sibukkan dengan berbagai tugas sekolah. Lalu di lanjut dengan diriku yang bekerja paruh waktu.

Pekerja paruh waktu? Aku bukan seorang anak yang kaya raya seperti anak konglomerat lainnya. Aku hanya seorang anak yang terlahir dari keluarga sederhana. Ayahku pegawai sipil sementara Ibu ku sudah pergi dengan pria lain dan meninggalkan ku serta ayah.

Miris...

Lebih miris lagi....

Kali ini aku ditinggal seseorang yang sangat aku cintai.

Tepat dua hari lagi aku akan resmi menjadi seorang alumnus di sekolah. Masa sekolah menengah atasku akan segera berakhir dan tergantikan menjadi seorang mahasiswa di luar negeri dengan menggunakan jalur study loan.

Ayah sempat menentang keputusanku yang dengan percaya dirinya ingin melanjutkan study di London. Tempat Nenekku dulu tinggal.

Menurutku, Oxford tidak terlalu buruk untukku.

Menurut Ayah, gaji yang ia peroleh tidak akan cukup untuk membiayaiku melanjutkan study diluar negeri. Namun, dengan penuh keyakinan, aku tetap membujuk ayah agar mengizinkanku.

Bukan maksudku ingin meninggalkan Ayah. Aku hanya ingin membuktikan pada semua orang yang sudah menghinaku dan Ayah bahwa kami mampu untuk menjadi seseorang yang sukses. Sekaligus untuk menutup kenanganku bersama pemuda yang amat ku cintai, Kim Min Kyu.

Aku tersenyum miris sambil meremas sebuah surat pernyataan bahwa aku telah resmi menjadi seorang mahasiswa di Oxford dengan jurusan hukum. Rasanya kecut sekali kembali mengingat kenanganku bersamanya.

"Ji A. Apa yang lebih indah dari sekedar melihat sunset?"

"Em... Sunrise?"

Min Kyu menggeleng seraya tersenyum kecil. "Bukan,"

"Bintang?"

Min Kyu kembali menggeleng. "Bukan. Kenapa kau terus menjawab tentang langit?"

"Lalu apa jawabannya?"

"Kau, Ji A. Kau..."

Kata-katanya yang manis selalu terngiang-ngiang dalam pendengaranku. Dimana saat pria itu masih tersenyum hangat padaku dan selalu berada disampingku. Sungguh aku merindukannya...

Stand By MeWhere stories live. Discover now