A f e k s i

27 0 0
                                    


Afeksi

...

Malam kian larut memeluk ketika aku tiba di tempatnya. Desah angin malam semakin berhembus menusuk indera perasa. Walau tak mampu kurasa, sebab kecemasan dalam diriku masih berkuasa. Secepatnya aku hanya ingin menemuinya.

Sejenak kuamati pintu sewarna hazel itu dengan intuisi penuh. Ragu sesaat, sebelum akhirnya kuhimpun seluruh keberanian, 'tuk memutar gagang pintunya. Perlahan, sambil menahan napas.

Cklek..

Ada dingin yang menyapa saat pintu itu terbuka. Aku menarik napas lega sembari membaca doa. Agar ketakutanku tak menjadi realita. Lalu dengan langkah kecil yang sebisa mungkin tak menimbulkan suara, aku memasuki apartemennya yang dilingkupi oleh gelap ditiap sudutnya.

.

.

.

Yang pertama kali kutemukan adalah ia yang duduk dalam kediamannya. Pada tayangan televisi, fokusnya tertuju. Baiklah..sepertinya ia tak menyadari kedatanganku. Masih dengan langkah tanpa suara, aku mendekatinya.

Kemudian seperti tak pernah terjadi apa-apa, aku menjatuhkan punggung di sebelahnya. Melempar senyuman singkat padanya lalu memeluk lengannya. Aroma parfum khasnya membuatku ingin tidur dalam pelukannya.

"Gio~, maaf aku terlambat. Ada sedikit gangguan di jalan. " kataku lirih. Namun dia tak sedikitpun bereaksi. Sepertinya acara berita di televisi lebih menarik untuk dinikmati.

"Ketika aku sampai, kau sudah tak ada. Aku tau mungkin lebih dari tiga jam kau menungguku. Maafkan aku." lalu kemudian aku bercerita mengenai keterlambatanku.

"Padahal, kau sudah susah payah mengatur kencan kita kali ini. Tanpa ketahuan mereka lagi. Tapi, aku menggagalkannya. Maaf membuatmu kecewa."

"..."

"Maafkan aku~" kugenggam satu tangannya sembari melayangkan tatapan penuh penyesalan.

"..."

Aku menarik tanganku. Baiklah aku menyerah. Aku berputar beberapa derajat 'tuk menghadapnya. Dia masih bergeming. Enggan sekali berpaling. Aku mendesah dengan berat.

"Kau harus tau! Tadi di jalan benar-benar ada pengganggu!"

"..."

Ck! Anak ini memang menyebalkan.

Aku mengacak rambutku. Rasanya aku ingin berteriak sekarang. Melihatnya membisu membuat rasa kesal meracuniku. Sejenak kuamati penampilannya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku. Kulihat wajahnya keruh. Sorot matanya memang untuk tayangan televisi yang tengah bercerita itu. Namun aku tahu, fokusnya tak ada di sana. Telah melebur dalam kediamannya.

Ada apa denganmu? Apa kau benar-benar kecewa dan marah padaku?

"Gio...." kusentuh bahunya. Menariknya agar ia bersuara. "Kenapa diam saja?"

Pandangannya masih lurus ke depan. Sedikitpun tak berminat mengalihkan. Benar bukan? Dia marah!

Kami memang berjanji untuk dinner romantis malam ini. Janji yang sudah kami rencanakan jauh-jauh hari. Namun sepertinya dia marah sebab aku mengingkari. Tidak! Aku tidak pernah mengingkari. Hanya saja tepat ketika aku hendak pergi, ada pengganggu yang menghalangi. Aku pun tiba walau terlambat. Namun sayang tak lagi kudapati ia di tempat.

"Ayolah...katakan sesuatu," dengan nada sehalus mungkin aku kembali bertanya. Jika seperti ini biasanya dia akan luluh.

"..."

AfeksiWhere stories live. Discover now