Part :: 01

55 9 27
                                    

"Mampus lo!"

Cewek itu langsung terbahak begitu melihat ekspresi cowok di hadapannya yang terlihat menciut. Cowok itu baru saja menggoda dirinya yang sedang berjalan sendirian, lalu Ares-pacarnya-datang tiba-tiba dan langsung memberi peringatan diiringi tatapan tajam pada cowok itu.

Ares menatap pacarnya sambil tersenyum tipis. Ia sangat menikmati pemandangan di depannya, dimana pacarnya sedang tertawa lepas. Siera Renika namanya. Salah satu orang yang sangat berarti di kehidupan Ares.

Begitu menyadari Ares menatapnya dengan intens, Siera langsung berhenti tertawa dan malah berdiri dengan canggung. Ia bahkan membenarkan kepala ikat pinggangnya yang sama sekali tidak miring. Gerakan itu lantas membuat bibir Ares melengkung kian lebar. Ia tahu jika Siera sedang salah tingkah.

"Kenapa sih, Res?" tanya Siera sembari menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga.

Ares hanya menggeleng tanpa menjawab apa-apa, membuat Siera mencebikkan bibirnya.

"Gue ke kelas dulu kalo gitu," ucap Siera yang dengan sengaja memakai kata 'gue'. Ares langsung mendengkus karena tahu Siera sedang kesal padanya. Langsung saja ia membalikkan tubuh Siera agar menghadap padanya.

"Jangan cemberut dong, nanti cantiknya hilang."

Siera malah memukul pundak Ares dan berlalu dari sana. Namun, Ares tahu Siera sudah tidak kesal lagi padanya saat melihat wajah cewek itu yang tersenyum tipis.

***

Siera sedang berdiri di koridor lantai atas sembari menatap ke satu titik yang ada di lapangan. Ares. Cowok itu sedang bermain basket bersama teman-temannya. Ares selalu punya cara tersendiri agar terlihat keren dan mencolok. Siera terkesima sekaligus kesal. Ia terkesima melihat Ares bermain basket dengan lincah dan kesal karena cewek-cewek di pinggir lapangan yang kecentilan pada pacarnya.

"Kenapa sih, Ra?" tanya Mirna yang baru datang dan melihat wajah kesal Siera.

"Itu, tuh lihat! Itu kakak-kakak kelas ganjen banget sih!"

Mirna tertawa melihat kakak kelas mereka-teman sekelas Ares-berteriak histeris begitu Ares berhasil mencetak poin. Karena terlampau senang, Ares membiarkan salah satu temannya memeluk dirinya. Dan Siera bertambah kesal dibuatnya.

"Tuh kan, Mir!" Ingin rasanya Siera menyusul ke lapangan, tapi apa daya sebentar lagi guru yang mengajar di kelasnya akan segera datang.

"Udah, yuk. Ayo, masuk." Mirna menarik lengan Siera agar segera masuk ke dalam kelas. Lagi pula guru yang akan mengajar mereka sudah terlihat batang hidungnya di ujung koridor.

***

"Dia kenapa?" gumam Ares saat melihat Siera yang berbalik arah.

"Ngambek kali, Res." kata Dirga sembari menyeringai.

"Seneng kan, lo?" Ares mendengkus sekilas. "Dasar kampret kamu, mas."

Dirga tertawa. Dulu ia sempat mempunyai perasaan pada pacarnya Ares itu. Namun, Siera menolaknya dan secara gamblang mengatakan jika dirinya lebih menyukai Ares ketimbang Dirga. Setelah itu ia pun tahu bahwa Ares juga menyukai cewek itu. Apa yang bisa Dirga lakukan selain merelakan?

"Kejar, goblok! Itu orangnya." kata Dirga begitu kembali melihat Siera. Sebenarnya cewek itu tidak jadi berbalik arah.

Sebelum berlalu, Ares sempat-sempatnya menendang kaki Dirga. Bukannya marah, Dirga malah terbahak.

Mata Siera melotot saat Ares menghadang jalannya. Ia bergeser, Ares pun ikut bergeser. Sampai beberapa kali, berulah Siera menyerah.

"Apa-apaan sih?" Siera melipat lengannya di depan dada. "Minggir, gak?"

"Gak."

Siera mendengkus sembari menatap Ares dengan sebal.

"Kenapa lagi, hmm?"

"Gak apa-apa."

"Mau kemana?"

"Kantin, Res." ucap Siera dengan gemas. "Laper nih."

"Ya udah, ayo." Ares langsung menggandeng lengan Siera. Tadinya Siera ingin menolak, tapi tidak tega.

Setelah Siera puas mengisi perutnya dengan berbagai macam makanan yang dijual di kantin, barulah Ares bertanya serius perihal kelakuan janggal yang dilakukan oleh Siera tadi.

"Kamu sih!"

"Lah, emang aku kenapa?" tanya Ares dengan mengerutkan keningnya. Ia bingung kenapa Siera menyalahkan dirinya.

Tanpa aba-aba Siera mencubiti perut Ares dengan cubitan kecil-kecil. Ia sedang melampiaskan rasa kesalnya. Ares mengerang pelan, demi apa pun cubitan Siera benar-benar terasa sakit. Sekuat tenaga Ares meredam suaranya karena ia ingat jika saat ini mereka masih duduk di kantin.

"Udah, ya." Ares mengusap-usap perutnya dari luar pakaian.

"Udah, Ra." Ares kembali berucap begitu melihat Siera yang mengambil ancang-ancang ingin mencubitnya lagi.

"Udah, 'kan? Sekarang cerita kenapa kamu kesal sama aku?"

Siera mendelik, lalu berucap, "Kamu sih mau-mau aja dipeluk-peluk sama Kelly."

"Kelly?" tanya Ares. Ia hanya memastikan jika ia tidak salah dengar.

Siera mengangguk.

"Kelly ... peluk .... Maksudnya?" Ares menggaruk kepalanya yang entah kenapa tiba-tiba terasa gatal.

"Masa gak inget? Tadi aku lihat kamu diem aja pas dipeluk sama Kelly."

"Aku gak ngerasa pelukan sama Kelly."

"Ish, tadi aku lihat jelas! Kamu dipeluk Kelly, pas pelajaran olahraga. Masa gak inget?" Siera mencubit gemas bahu Ares. Karena wajah cowok itu masih terlihat bingung.

"Yang mana sih?"

"Pas kamu berhasil masukin bola," jawab Siera sembari memutar bola mata. Lama-lama ia bertambah kesal karena Ares terus bertanya.

"Oh itu, kan dia yang meluk aku. Bukan aku yang meluk dia." kata Ares dengan santai.

"Sama aja!" tukas Siera.

"Beda. Kalau aku yang meluk itu gini," ucap Ares sembari memeluk Siera dari arah samping. Hanya sebentar, tapi mampu membuat jantung Siera nyaris copot jika saja Ares tidak cepat-cepat menarik kembali tangannya.

Ares tertawa melihat Siera yang terdiam. Ekspresi Siera benar-benar terlihat lucu.

"Dasar modus!" Siera langsung berdiri dan meninggalkan kantin secepat mungkin. Ia tidak ingin terus-menerus ditertawakan oleh pacarnya sendiri. Sepanjang perjalanan Siera malah tersenyum malu-malu. Ia yakin saat ini pipinya sudah bersemu. Dan ini gara-gara Ares.

***

Setelah Ares mengantarkannya pulang, Siera segera memasuki rumah. Seperti biasa, rumahnya sangat sepi. Ibunya sudah lama pergi meninggalkan rumah dan tentu saja meninggalkan dirinya. Ayahnya bekerja dan kadang pulang larut. Siera juga anak tunggal. Tidak ada orang yang menyambutnya, tidak ada orang yang menyiapkan makanan, tidak ada orang yang akan memarahinya karena pulang kesorean. Karena sekarang, semuanya tidak lagi sama.

"Untuk apa menahan orang yang bersikeras ingin pergi? Tidak ada gunanya." ucapan ayahnya kala itu terus terngiang-ngiang. Saat itu Siera menyuruh ayahnya agar menahan sang ibu yang akan pergi. Namun, ayahnya malah membiarkan ibunya pergi begitu saja.

Tanpa terasa Siera merasa jika matanya memanas. Ia segera berlari ke lantai atas; kamarnya. Jika sedang berada di sekolah, ia biasa saja. Tapi jika berada di rumah, rasa sedih yang dirasa begitu kentara.

Andai saja .... Siera menggelengkan kepalanya, kata 'andai' hanya sebuah kata semu yang tidak akan bisa terwujud.

***

Senin, 5 Maret 2018

SerpihanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang