Bang Arman

23 1 0
                                    

Sudah dua puluh tahun lebih aku meninggalkan kampung ini. Semua sanak saudara telah aku kunjungi.
Tetapi ada seseorang yang penting yang belum kutemui, lantaran aku belum mengetahui keberadaannya.
Semua orang telah kutanya, dan semuanya tak mengetahui.
Aku berdiri memandang keluasan pantai, berharap akan bertemu dengannya.
Aroma garam ini mengingatkanku pada masa dulu. Suara ombak masih terdengar sama. Warna pasirnya masih seputih yang dulu. Tapi banyak perubahan pembangunan.
Aku melihat ada parik es balok di sana, warung-warung berjejer memamerkan kulinernya, dan di tempat aku berdiri ini terdapat keramaian orang-orang bertransaksi jual beli ikan dengan kapal yang baru datang.
***
Pada tahun pertama aku mengenanya. Tatkala itu aku yang tengah memegang seikat ikan jualanku berkeliling menawarkannya dari orang ke orang.
"Oi, Ahmad" sapanya bersorak di depan pintu rumahnya sambil melambaikan tangan ke arahku.
Aku segera berlari dan siap untuk tawar-menawa ikan dengannya.
"Ada ikan layang, gurigak, sama maco" aku menyodokan padanya.
"Bukan itu mauku". Aku heran. "Maukah kau berlayar denganku?" tawarnya sambil meliriku dari bawah hingga atas.
"Aku kasihan melihatmu berkeliling-keliling kian-kemari. Nanti kau akan dapat satu pertiga dari penghasilanku, bagaimana?" tambahnya. Aku kaget, mataku berbinar-binar, mulutku ternganga tebuka lebar. Dengan cepat aku mengangguk-angguk sambil berlompat senang.
Ingin segera aku memeluknya. Tapi dengan badan berbau garam dan anyir ini menghalangiku.
Oh tuhan, aku akan berlayar menjajah lautan Tiku bukan lagi daratannya.
"Kapan kita akan mulai?" tanyaku mantap.
"Langsung besok, jam empat siang langsung kau tunggu aku di TPI", jawabnya sambil mengacungkan telunjuk ke arahku. TPI singkatan dari Tempat Penaungan Ikan yang terletak di tepi pantai.
"Ep, jangan lupa bawa bekal!" tambahnya.
Aku berlari mengejar rumah yang hanya diam menetap. Sebenarnya bukan rumah yang aku kejar tapi amak.
"Assamualaikum mak!" aku berlari kegirangan mencari keberadaan amak. Tak sabar ingin melontarkan kebahagian ini padanya.
Oh ternya beliau ada di belakang rumah tengah meniup api tungku. "Mak besok pagi bangunkan aku jam empat, sekalian siapkan bekal!" pesanku senang.
"Untuk apa kau bangun pagi dan menyuruhku menyiapkan sarapan? Hendak kemana kau?" tayanya heran.
"mak," aku menatap sambil memegang pundaknya.
"Awaslah! Tangan kau hanyir". Aku melepaskan tangan dari bahunya.
"besok aku akan berlayar bersama bang Arman mak. Dengan perahu layarnya." Tuturku menjeaskan. "aku tak perlu lagi menjual ikan kian kemari, dan uangnya juga banyak. Yang jelas aku dapat sepertiga". Amak tersenyum lepas. Karena memang harus diakui kami sedang membutukkan banyak uang.
Aku kakak beradik delapan orang, semuanya sekolah terkecuali aku. Aku putus sekolah karena ingin menggantikan posisi mendiang ayah. Tak cukup hidup hanya mengandalkan uang jualan lepat pisang amak.
Teringat olehku, ketika amak hendak menanak nasi, selalu beliau kurangkan segenggam beras setiap liternya. Kata beliau itu untuk beras serap. Tapi beras serap yang dikumpul-kumpulkan pun mulai habis.
Melihat hal itu aku tak kuasa. Pada saat pagi-pagi hendak sekolah aku ke pantai dan bekerja dengan pak Radi penjual ikan. Dengan itu aku bisa membawa lima liter beras, beberapa ikan, dan sedikit uang.
Setiap pagi aku lakukan begitu hingga akhirnya sekolah mengeluarkanku. Hingga berumur dua puluh tahun pun aku masih berkerja degan pak Radi.
Telah sore begini, rumah yang tadinya penuh dengan adik-adik, kini telah lenyap menjujung talam besar yang bersikan lepat pisang jualan amak. Semuanya menyebar keberbagai arah. Ada yang ke timur sana, barat, selatan, utara dan arah lainnya selain ke atas langit dan kebawah bumi saja yang tidak mereka kunjungi.
"Mak, aku ke tempat bang Arman" teriakku dari luar umah". Aku makai selop dan pergi.
Dari kejauhan aku melihat bang Arman sibuk membuat membuat pancingan. Dia duduk bersila sambil menunduk di atas rerumputan dengan telanjang dada. Peluhnya membasahi tubuhnya. Sepertinya dia fokus sekali. Aku duduk di dekatnya memperhatikannya.
"Oi, jangan kau lihat-lihat saja? Bantu aku!" perintahnya selengeean. Aku tau pasti dia merasa punggung dan lehernya sakit karena menunduk sedari tadi membuat pancingan. "kau buat seratus aku buat seratus" ia membagi.
"Ha, seratus. Banyak sekali bang".
"Ondeh, ndak akan mungkin kita memakai satu pancing. Kalau bisa aku seribu, aku bikin seribu".
"Baiklah kalau begitu bang Arman, aku dengan senang hati akan membuatnya". Aku tersenyum. Aku meniru tangannya yang memasukkan nilon ke mata pancing.
Beres sudah pekerjaaan kami. Memeng memberatkan membuat pinggang dan kudukku pegal. Bang arman membuka kaleng kue, sepertinya dia akan memberiku sedikit makanan.
"Ini umpan". Dia meneluarkan isinya, perlihatkan umpan bulu-bulu plastik yang bewarna-warni. "dan ini timah sebagai pemberat", sambungnya. Ternyata isinya bukan kue melainkan umpan dan timah.
Bang Arman memberikan ku kaleng itu ditambah dengan satu buah karung yang berisikan pancingan yang telah telah kami siapkan tadi.
Tepat jam empat pagi aku berjalan menuju TPI. Di tangan kananku berisi karung dan kaleng roti bang Arman, sedangkan di tangan kiriku memegang pastik hitam yang berisi dua plastik kopi pekat dan empat pisang goreng dari Amak.
Ternyata suara ombak sangat kencang pada saat ini. kami bersiap-siap. Tali pengikat kapal kami lepas.
Kapal mulai kami dorong ke laut, hingga separuh badan kami kuyup. Bang Arman naik terlebih dahulu. Ia julukan tangannya dengan senyuman padaku. Aku meraih tangannya dan naik.
Layar dari kain perca tebal mulai digembangkan. Angin timur berhembus membawa kami menjauh dari bibir patani.
Aku menatap laut gelap mengerikan. Tak ada cahaya sedikit pun.
"Tuhan, ini baru pertama kalinya aku berlayar". Aku ngeri, apakah aku akan tenggelam atau bagaimana?
Selapis demi selapis kegelapan mulai pudar dibasuh oleh matahari yang muncul dari timur sana.
"Tarik layar", suara bang Arman mengagetkanku. Aku heran mengerutkan dahi.
"Tidakkah kita salat subuh?" tanyanya atas kerutan dahiku. Barulah aku mengerti, ternyta bang Arman ini rajin beribadah. Tak salah aku pegi dengannya.
"apa bisa bang, wuduk dengan air laut?" tanyaku pada bang Arman yang lagi menimba air luat.
"Asalkan kau tau, air laut ini bersih. Tak pernahkah kau perhatikan bangkai, sampah-sampah di laut selalu dimuntahkan ke pinggir pantai?" Benar juga katanya.
Tiga jam telah berlalu. Angin timur masih terus membawa kami. Semua bekal yang kubawa telah lenyap kami lahap. Kapan akan sampai? Aku udah tak sabar.
"Kau melihat dua gunug itu?" tanyanya sambil menunjuk gunung biru yang jauh disana. "Sebentar lagi kita akan sampai." Ujarnya pasti. Beberapa kemudian bang Aran kembali berdiri "Itu pulaunya, kita sampai". Aku ikut berdiri memerhatikan pulau itu.
Bang Arman membelokkan kapal dengan mengubah posisi layar. Yang kami datangi bukanlah pulau itu. Tetapi ada rumpun yang terbuat dari pelepah daun pisang yang berjarak satu setengah meter dan diikat menggunakan tali.
Di rumpun inilah kami akan memancing. Rumpun ini sengaja dibuat agar menjadi rumah-rumah ikan yang ingin bertelur.
Ribuan telur ikan itu akan menetas menjadi anak-anak ikan. Ikan-ikan besar lainnya akan mengunjungi rumpun ini untuk memakan ikan kecil.
Biasanya jadwal makan ikan besar itu pada saat pagi hari. Jika telah lewat tengah hari di jamin tak ada ikan yang mengunjungi rumpun ini.
Hal itulah yang kami akan manfaatkan.
Layar mulai digulung, kami berhenti di depan rumpun bang Arman ini.
"Ambil seratus pancing ini, dan aku seratusnya lagi. Turunkan satu persatu jangan sampai nilonnya berlilit-lilit." Aku dengan mantap dan bersemangat mengambilnya.
Aku mulai menjatuhkan satu persatu pancing ke dalam laut. Aku berdiri di ujung belakang kapal dan bang Arman berdiri di ujung depan kapal.
"goyang-goyangkan pancing Ahmad."
"beres bang." Aku mulai menggoyang-goyangkan pancing-pancing ini secara bergantian.
"Ahmad, kalau terasa pancingnya mulai ringan goyangkan lagi hingga diam kemudian angkat."
Pancingan akan dengan ringan terasa jika ikan itu memakan umpannya. Karena ada timah pemberat berdampingan dengan mata pancing.
Bang Arman mulai sibuk menarik pancingnya. Oh ternyata pancingku mulai terasa ringan. Bukan Cuma satu tapi banyak sekali rata-rata hampir semua.
Aku tatap keranjang ikan yang ternganga di tengah kapal ini yang telah bersiap menampung ikan di mulutnya.
Aku tarik talinya, lepaskan ikannya, lempar ikan ke keranjang, dan isi mata pancing dengan umpan baru, dan begitu terus gerakan yang aku lakukan.
Aku berteriak-teriak keasyikan main kegirangan. Sedangkan kak arman tertawa sekilas memerhatikanku. Lama-kelamaan makin sedikit ikan yang didapat.
Tiga keranjang telah terisi penuh dan aku puas dengan hal itu.
Kami harus menunggu angin barat datang untuk pulang. Hingga panas matahari telah dijunjung tepat di atas kepala.
Aku kehausan, telah tiga botol air bang arman yang aku habiskan.
"Kau harusnya membawa air minum lebih, bukan hanya membawa sekedar pisang goreng dan kopi saja" ujarnya. Aku merasa bersalah telah menghabiskan airnya.
"Bang, tiga keranjang terisi penuh".
"Paling harganya kira-kira enam ratus ribuan" jelasnya.
"Kalau aku dapat sepertiga berarti aku dapat ..." aku berhenti untuk berfikir "dua ratus ribu. Ha, dua ratus ribu ?",ujarku bahagia. Wah,aku bisa beli baju baru, sandal baru, makanan enak, dan yang terpenting untuk amak dan adik-adikku.
Kami berkemas angin barat mulai berhembus. Kami kembali mengulur layar dan pulang.
Sesampai di pantai, Bang arman mulai melakukan tawar-menawar dengan pedagang ikan. Kak Arman memberikan bagianku dengan tunai.
Hidupku berubah sejak bertemu bang Arman. Aku tak megambil ikan ladi dengan pak Radi. Aku mengetahui banyak hal, mulai dari ilmu kelautan sampai ke ilmu agama bersama kak Arman.Terkadang badai pun sering kami jumpai. Lama-kalamaan aku sangat akrab dengan bang Arman. Aku bahkan sering tidur di rumahnya. Sampai masalah asmaraku pun aku ceritakan padanya. Uang tabunganku telah bertambah hingga aku bisa menikahi perempuan yang kudambakan dan merantau ke tanah Jawa bersama istriku. Meninggalkan lautan Tiku dan bang Arman.
***
Kali ini aku menhirup kopi hitam diwarung dekat pantai ini.
"darimana dek, orang baru ya? Atau orang rantau?" tanya bapak yang duduk di sebelahku. Ia berkulit hitam dan berambut botak. Muka dan kepalanya yang berminyak mengkilau karena pantulan sinar matahari pagi. Giginya kuning, mingkin keseringan merokok dan minum kopi.
"Ya bang, saya orang rantau. Sudah dua puluh tahun baru pulang" jawabku. "Bang, abang kenal dengan bang Arman, dia punya kapal layar". Aku berharap dia mengenalnya.
"Mana ada orang yang memakai kapal layar sekarang dek. Yang ada orang memakai mesin" dia tertawa sambil memamerkan gigi jeleknya itu. Suara tawanya diringi dengan beberapa batuk.
Aku memendang lurus ke depan, tepat menyorot lautan yang diparkiri oleh oleh kapal-kapal besar bermesin. Aku sadar kapal-kapal layar telah lenyap oleh waktu.
Apakah bang Arman juga begitu? Aku masih ingin bertemu dengannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 07, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BaganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang