Surabaya, 12 Agustus 2017
Sekali lagi, Pitha membolak balikkan buku berwarna coklat lusuh itu. Meresapi setiap kata yang ada didalamnya. Matanya terpejam. Menikmati bagaimana hayalannya berjalan. Membayangkan apa yang dirasakan sang penulis waktu itu.
"Thaa... Mana sihh. Cepet dong"
Suara berisik itu datang dari luar kamarnya. Sudah bisa dipastikan itu suara sang kakak. Aka. Lebih tepatnya Baskara Wiratmaja.
"Pithaa... Lo jadi tanding nggak sih hari ini?, entar telat nggak bisa tanding, nangis lo" kini seruannya tak bisa terbendung. Mungkin lebih besar dari pada suara speaker rusak yang ada di sekolah.
"Ck. Iya bentar knapa. Bawel banget"
"Ohh lo jadi tanding, gue kira lo bakal ngumpet kamar mandi seharian"
"Gila, lo kira gue kodok suka dalem kamar mandi? Mandi tu seperlunya. Bukan semaunya. Nggak kayak lo, cowok mandi sejam"
"Gue di kamar mandi sambil pup oon. Makanya lama. Gimana jadi pergi nggk nih?"
"Iya jadi"
"Udah sembahyang kan lo?"
"Udah"
"Nih makan. Minum juga. Jangan sampe lo malu-maluin gue disana. Pingsan karna nggak sarapan. Nggak lucu tau nggak"
"Sumpah ya, bawel banget kayak mbak-mbak IndoApril lu"
"Udah. Susul gue setelah lo selesai"
"Iya"Menjengkelkan. Aka memang selalu seperti itu. Setiap pagi. Tapi jika ada ayah, dia diam seperti orang bisu. Tak ada seruan, tak ada olokan di pagi hari. Berbicara seperlunya saja denganku. Tapi berbincang panjang dengan Ayah. Apa dia tidak tau, aku juga ingin berbicara banyak dengan Ayah. Tapi selalu saja dia yang berbincang dengan Ayah. Bukannya Ayah tak mau berbincang denganku, tapi memang tak ada kesempatan untuk itu. Namun, bukan Agastya Wiratmaja namanya kalau dia tidak bisa bertukar kisah dengan putri kecilnya ketika dia datang sepulang bekerja.
"Siap kalah hari ini Putri Pithaloka?" Seringai orang yang sangat tidak disukai Pitha.
"Tentu siap untuk mendapat piala utamanya" Senyum Pitha membalas wanita yang ada dihadapannya ini. Putri dari wanita yang pernah menjalin kisah bersama Ayah. Yang pernah menjadi kerikil dalam hubungan Ayah dengan Mama. Tapi berkat wanita itu juga, mama mendapat kebahagiaannya hingga saat ini.Karate. Bela diri yang aku setujui untuk masuk dalam kehidupanku. Menjadi ilmu yang aku gunakan untuk membela diriku saat aku membutuhkannya. Dan menjadi prestasi dalam membuktikan kemampuanku. Selangkah lagi untuk mendapatkan piala utamanya.
"Lo pasti bisa. Gue tau itu. Bawa piala itu ke rumah dan buktiin apa yang pingin banget lo buktiin sebagai seotang wanita" Katanya sambil mengacak rambutku lembut.
"Thanks kak. Doain ya"
"Pasti"Entah sudah berapa jurus yang aku keluarkan untuk mengalahkan lawan terakhirku ini. Kurasan tenaga yang tak kecil membuatku sedikit terengah. Sekali lagi. Dan "Buugg..."
Lawanku jatuh dihadapanku. Wasit mengangkat tanganku sebagai tanda aku juranya. Tepuk tangan riuh kudengar dari semua penjuru ruang tertutup ini. Terimakasihku yang utama aku ucapkan pada yang kuasa."Ma, ak menang ma. Mama lihat, piala besar ini. Huaaa... Bagus kan ma?" Kataku tak hentinya didepan makam mama. "Aku udah nepatin janjiku kan ma?? Mama liat kan aku sekuat apa? Mama tadi liat aku ngadepin semua lawanku?? Aku hebat kan ma?"
"Ma maaf ya Aka nggak bisa bilangin Pitha buat nggk bawel, sama aja kayak putri kecil mama dulu. Bawelnya nggk ketulungan"
"Iihh... Biarin"
"Hahaha" Kami tertawa lepas hari ini bersama mama. Hal yang belakangan ini jarang kami lakukan bersama. Namun hari ini semuanya terwujud. Juaranya dan bersama mama.Semoga suka😊
Salamku,
Angin
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Lilin.
RandomTidak ada seorang pun yang ingin mengenang masa Lalunya yang kelam. Menutup rapat dan membatasi diri, menjadi salah satu dampak dari sebuah masa lalu kelam. Hingga yang terparah, tak mungkin ada senyum untuk masa depan. Namun percayalah, tuhan akan...