Two

63 2 2
                                    

Jakarta, 10 Januari 1997.

"Untuk bisa kembali kepermukaan saat kita telah tenggelam sangat dalam oleh luka, memang dibutuhkan banyak keberanian. Maaf jika mungkin keberanian itu baru muncul sekarang"

~Putri Ramaanjani








"Ram... Halo... Ram... Lo dimana sih? Lo ditungguin sama bu Artika tuh. Kebiasaan mandi lama banget sih lo" Kata Ratna membabi buta. Dia tidak memberikan celah sedikitpun pada Rama untuk menjawabnya.
"Iya Ratna. Aku udah di parkiran kok. Sebentar lagi sampai"
"Cepetan. Ntar gue lagi yang dicari sama bu Artika"
"Iya"
Rama bergegas menuju ruang dosen paruh baya itu, sebelum Ratna menelponnya lagi yang entah sudah keberapa kalinya. Ya, sejak dua hari lalu Rama memang absen dari kelas bu Artika. Kelas yang menurut Rama sangat menyenangkan. Karna materi yang ada di kelas itu memang materi kesukaannya dan bu Artika adalah dosen yang sangat disanyanginya. Kini setelah dua hari absen dari kelasnya, mungkin bu Artika ingin membahas soal absenku itu. Atau mungkin hal yang lain. Entahlah.
"Permisi bu. Apakah ibu mencari saya?" Katanya sopan ketika sudah berada di depan meja dosen itu.
"Rama... Duduk dulu nak. Ibu ada urusan sebentar. Tidak masalah kan?"
"Sama sekali tidak bu. Kelas saya juga dimulai satu jam lagi"
"Baiklah" Katanya sambil berlalu meninggalkan Rama.
Sambil menunggu, Rama mengambil buku yang ada di dalam tasnya. Membaca materi yang akan didapatkannya sejam lagi. Tapi ia melihat cahaya dari ponselnya. Ada telepon masuk. Dari Ratna.
"Halo Rat, ada ap... "
"Lo dimana Ram? Pak Mudito majuin jam kelasnya. Lima menit lagi kelasnya mulai. Gue baru aja dikasi tau sama Gilang. Udah kelar kan urusan lo sama bu Artika?. Cepetan masuk. Emangnya lo mau materi lo ketinggalan lagi?" Cecar Ratna tanpa henti. Seperti orang yang hanya punya pulsa dua ratus perak dalam ponselnya. Tak ingin ada yang terpotong dalam kalimatnya dengan pulsa yang sangat sedikit.
Dengan sedikit terkejut aku menutup telponnya. "Bagaimana bisa pak Mudito memajukan jam kelasnya mendadak seperti ini" Batinku dalam hati. "Lalu bagaimana dengan bu Artika? Apakah aku harus menginggalkan tempat ini dan pergi ke kelas pak Mudito atau menunggu bu Artika?" Batinku lagi.
" Ah... Maaf nak Rama, ibu tadi lama. Ibu hanya ingin menanyakan kabarmu dan ada satu informasi di semester akhir ini. Tapi sepertinya kelas kamu dimajukan oleh pak Mudito. Segeralah masuk. Setelah itu baru temui saya lagi" Kata beliau dengan senyum hangat yang selalu aku sukai.
"Baik bu" Kataku membalas senyum dan mencium tangannya.
Bergegas aku meninggalkan ruangan itu. Menutup pintu, berbalik dan kemudian berlari untuk mempersingkat waktu menuju kelas. Itu yang aku bayangkan. Tapi belum sempurna aku membalikkan badan, sudah ada seseorang yang tidak sengaja aku tabrak. Tak ada yang terluka. Kejadiannya begitu cepat, dan aku hanya merasa sakit dibagian dahiku yang terkena bahu kokohnya itu.
"Kalo jalan jangan buru-buru. Disini nggak ada maling yang harus lo kejar. Santai aja" Suaranya pelan, namun terdengar dengan jelas. Sontak aku mendongak sambil memegang dahiku yang sakit.
"Maaf" Hanya itu yang keluar dari mulutku, lalu berlalu meninggalkannya disitu.

***

"Maaf bu saya mengganggu. Saya mau mengordinasikan masalah kepanitiaan yang belum selesai di rapat kita kemarin, ada beberapa orang mengundurkan diri dari kepanitiaan bu, jadi saya masih kekurangan 2 panitia P3K untuk kepanitiaan ini. Mengingat masih sedikit orang yang tau masalah pertolongan pertama dan kesehatan di kampus. Apakah ibu ada usul mahasiswa atau mahasiswi mungkin?" Kata Agas setelah tiba di meja bu Artika.
"Oh masalah itu, sudah. Sudah ibu carikan. Tapi perempuan. Tidak masalah kan?"
"Tidak masalah bu, perempuan lebih baik. Untuk proposal juga akan segera diajukan bu. Nanti jam 4 sore juga akan ada rapat kesiapan dari masing-masing bidang untuk acara kemah akhir tahun ini. Kalau ibu ada waktu, ibu juga bisa hadir untuk mendampingi"
"Baiklah, akan ibu usahakan. Terimakasih Agas, sudah mengurus acara akhir tahun ini dengan baik"
"Terimakasih kembali bu. Oh iya, untuk 2 orang panitia yang ibu calonkan, boleh saya lihat biodatanya? "
"Ah iya, hampir saja terlupa. Ini dua mahasiswi itu, Ramaanjani dan Ratna Dwita. Dua-duanya dari jurusan Ekonomi. Mohon tuntun mereka dalam kepanitiaan ya Agas"
"Tentu bu, terimakasih atas kepercayaan ibu. Saya permisi bu" Kata Agas setelah melihat sekilas isi dari biodata itu. "Putri Ramaanjani. Nama yang unik" Gumam Agas melewati pintu ruangan bu Artika.

***

"Baik. Kelas saya cukupkan sampai disini. Sampai bertemu dipertemuan selanjutnya"
Pernyataan pak Mudito menjadi akhir dalam perjuangan melawan kantuk bagi Ratna. Sungguh, dosen itu tak hentinya bercerita tentang dirinya yang sebenarnya sudah dia ceritakan pada pertemuan sebelumnya.
"Banyak materi sih, tapi basa basinya juga kebanyakan"
"Ya tangkep materinya aja lah. Yang nggak penting jangan diinget"
"Emang nyamuk ditangkep"
"Eh... Lo mau kantin nggak?"
"Bentaran aja sama gue gimana Rat? Makan dirumah. Gue masak banyak nih kebetulan. Mumpung nanti nggak ada kelas"
"Hm... Iya deh. Itung-itung makan gratis"
"Aah lo, makan gratis aja semangat. Cuci piring nggak pernah lo"
"Hahahhaaa.... Maafkanlah diriku ini wahai tuan rumah" Kata Ratna sambil mengatupkan kedua tangannya didepan dadanya sambil bergaya ala india abal-abal.
"Eh... Hampir aja lupa, gue kan disuruh keruangan bu Artika setelah kelasnya pak Mudito"
"Lah, yang tadi belum selesai emang?"
"Belum"
"Yaaah masih lama dong pulangnya, laper ni gue. Kenapa lo nggak bilang dari tadi sih?"
"Coba deh lo inget gimana cara lo ngomong tadi"
"Emang kenapa gue? "
"Kayak kereta. Nggak ngerem" Kata Rama sambil berlalu meninggalkan Ratna dengan wajah yang masih tidak mengerti.

***

"Ini kan ruang rapatnya?" Kata Ratna menyenggol lenganku.
"Iya kayaknya. Udah yuk masuk aja"
Bu Artika memang dosen yang penuh kejutan. Banyak kejutan yang iya berikan padaku. Mulai dari sikapnya yang malah mendukungku saat semua orang memilih untuk menjauh dan menghujat. Memberikan semangat yang selayaknya seorang ibu berikan kepada anaknya. Pelukan yang aku butuhkan saat aku menangis. Memang hal sederhana. Tapi begitu istimewa untukku. Maka dari itu tak berlebihan rasanya jika aku menghormati dia lebih dari yang lain dan menganggap dia lebih dari sekedar dosen biasa. Entahlah. Kini bu Artika memberikan kejutan lagi untukku. Sempat menarik diri, dan memilih tenggelam dalam lautan luka, membuatku enggan untuk bisa terbuka lagi. Entah itu pada teman yang lainnya maupun membuka potensi yang aku miliki pada lingkungan dan keluargaku. Dimasukkan dalam suatu kepanitiaan acara akhir tahun, bu Artika tahu, memang ini yang aku butuhkan untuk kembali kepermukaan. Meski mungkin sedikit terlambat.

"Eeh... Sorry. Ini bukan kelas lo. Nggak ada yang bakal ngajar disini. Jadi mending lo pulang aja"

***








Maaf atas berbagai kesalahan, baik itu sengaja atau tidak
Maaf juga karna kesalahan up waktu ini
Semoga suka❤️

Salamku
Angin😘

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 06, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sang Lilin. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang