kali ini aku menyerah (lagi). entah aku harus sembuh ke berapa kali lagi. aku benar-benar putus asa entah sudah ke berapa kali.
Dimas cemas. Nadia tak membalas lagi chat terakhir darinya. Hanya centang dua berwarna biru, Nadia membaca tapi tak membalas.
Pekerjaan yang ditargetkan selesai malam ini, mungkin harus tertunda. Dimas kacau dengan perasaannya sendiri.
Nadia ... Nadia ... Nadia ...
Nama itu terus berputar-putar di kepalanya. Ingin rasanya ia membuang kecemasan itu, tapi tetap saja ia cemas. Nadia baik-baik saja?
Kejadian tadi siang kembali memenuhi ruang otaknya yang hampir saja meluap keluar saking penuhnya. Seharusnya tadi siang ia tak mengiyakan makan siang dengan Nadia. Nadia mengajaknya makan siang seperti biasa. Dalam seminggu perjumpaan rutin mereka terjadi minimal 2 kali walaupun hanya sekedar makan siang tanpa jalan-jalan atau nonton.
Dimas senang menghabiskan waktunya dengan Nadia, selalu seperti itu. Dengan Nadia, ia seperti menemukan jati dirinya. Ia bisa menjadi apapun yang ia mau. Tak perlu jaim, tak perlu gengsi dan tak perlu menjadi dewasa. Karena dengan Nadia, ia bisa menjadi sangat kekanak-kanakan dan Nadia selalu menerima sikapnya. Sesekali Nadia hanya mengingatkan jika sikap Dimas sudah sangat keterlaluan.
Pernah suatu kali Dimas bertanya kenapa Nadia tidak pernah bisa marah padanya lebih dari satu hari. Alasan simple, "aku gak pernah bisa marah sama kamu lama-lama".
Dan dari situ, Dimas tak pernah menanyakan lagi. Dimas memang tau Nadia selalu baik pada orang lain.
Tadi siang Nadia kembali mempertanyakan hubungan mereka. Padahal dari dulu yang Dimas tau mereka hanya bersahabat, tidak lebih dari itu. Dimas sayang Nadia, tapi hanya sebatas sahabat, tak lebih.
Berapa kali juga Dimas menjelaskan bahwa perasaannya hanya sebagai sahabat. Dimas hanya menganggap Nadia sahabat.
Setelahnya, Nadia menghilang tanpa jejak, tak terendus oleh Dimas. Seperti malam ini.
Dimas mengecek kembali handphonenya. Mungkin kali ini akan ada yang berubah. Oh Nadia.
Dimas mengucek rambutnya beberapa kali, putus asa. Nadia terkadang seperti angin, datang dan pergi tiba-tiba, tiba-tiba marah, tiba-tiba baik.
Dimas tau, Nadia akan kembali baik padanya. Tapi tetap saja Dimas cemas. "Nadia, aku harus bagaimana?"
***
Sudah 2 hari Nadia benar-benar hilang. Dimas benar-benar tak bisa menghubunginya. Chat terakhir Dimas tak lagi diterima Nadia, tak ada centang dua di chat WA mereka.
Dimas rindu Nadia.
Jam istirahat kantor seperti detik-detik tak bergerak bagi Dimas, begitu lama padahal ia sudah sangat frustasi menunggu kapan istirahat. Dia benar-benar kebingungan dan rindu Nadia.
Dimas cemas. Apakah ia harus masuk ke halaman rumah Nadia, memencet bel, ketika pintu terbuka jika itu Nadia ia akan langsung memeluknya seperti biasa atau jika bukan Nadia, ia hanya perlu menanyakan "Nadia ada?".
Gampang sebenarnya tapi kali ini langkah Dimas tak seyakin biasanya, antara ia harus mengalahkan ketakutannya atau menarik langkahnya kembali ke kantor.
10 menit Dimas masih ditempatnya, berdiri di samping mobil sedan civic miliknya dengan perasaan cemas. Lalu tiba-tiba pintu rumah Nadia terbuka. Nadia muncul dari balik pintu bercat orange itu. Nadia cantik, selalu cantik.
Ketakutan Dimas meningkat 2 kali begitupun rindunya. Ah, rasanya ingin memeluk Nadia saat ini juga. Dimas benar-benar rindu aroma Nadia.
Mata Nadia terpaku pada Dimas, tak berkedip. Hanya tatapan seolah mengatakan "ngapain kamu disini Dim?"
Langkah Nadia tanpa ragu menuju pagar rumahnya yang berwarna abu-abu, warna kesukaan Dimas.
Dimas ingin langsung memeluk Nadia tapi nyalinya hanya mampu berucap "Hai Na" dengan intonasi hampir tak terdengar.
"Ngapain kamu disini?" Nadia ketus.
"Kangen kamu" Dimas tak pernah basa-basi mengungkapkan perasaannya.
"Oh." Nadia itu perempuan. Dan perempuan selalu begitu. Oh dengan sejuta makna yang tak pernah bisa di mengerti oleh laki-laki.
"maksudnya oh?" Dimas bertanya. Dimas juga sudah hafal dengan kebiasaan Nadia yang ini. Setiap Nadia marah padanya, Kata 'Oh' seolah menjadi bomerang ampuh untuk menyerang Dimas. Karena pada akhirnya Dimas akan bertanya mau Nadia apa lalu dengan kekuatan super yang entah dari planet mana Nadia yang dingin bagai es akan meledak bagai bom waktu. Nadia selalu seperti itu.
"masih nanya?" Sedikit pun Nadia tak menatap wajah Dimas yang seperti anak kehilangan ibunya.
"aku minta maaf." akhirnya harus Dimas lagi yang minta maaf.
"kamu gak salah kok, aku yang salah." Kenapa sih perempuan itu susah banget di mengerti maunya apa?
"iyaa, kita baikan lagi ya Na. Jangan marah lagi dong. Aku frustasi kalo kamu kayak gini." Dimas memohon.
"Dim, kayaknya kita gak bisa terus kayak gini." Kali ini mata Nadia fokus menatap wajah Dimas. Nadia merindukan Dimas, ingin sekali ia mencubit pipi Dimas yang selalu menggemaskan itu.
"maksud kamu?" Dimas meminta penjelasan lebih.
"kita ga bisa terus bersahabat kayak gini. Kamu gak mau kan aku terus tanya sebenarnya hubungan kita ini apa?" Nadia mencerca.
"iya kita sahabat kan Na?" Dimas mencoba meyakinkan kembali apa yang di yakininya selama ini. Mereka sahabat.
"kamu gampang bilang kita sahabat kan Na, iya kan Na. tapi buat aku Dim, kedekatan kita bukan sahabat biasa, lebih dari itu." Mata Nadia ber air.
"Na, tolong jangan mulai lagi." Dimas memohon. Ia tau sebentar lagi tangis Nadia pasti pecah, Dimas takut Nadia menangis lagi karenanya.
"yaudah kita selesai. Jangan hubungi aku lagi." Nadia berlari kembali ke rumahnya. Air matanya jatuh, pipinya basah. Dimas selalu bisa membuatnya menangis. Rasa ini sudah terlalu membuncah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangkar
RomanceDua orang sahabat yang memiliki perasaan berbeda. Kisah ini sederhana. Sesederhana kamu bangun pagi lalu mengucap syukur pada Tuhan karena kebaikan-Nya hari ini.