Diary

39 2 0
                                    

Diary

Bolak balik Fajar memutar buku bersampul tebal itu. Bagian belakang lalu lanjut ke depan, begitu terus dengan mata sedikit memicing. Keningnya sudah mengkerut di ikuti tarikan napas berkali-kali.

"Tak ada"

Ia menutup bukunya, sedikit kesal. Masih tidak menemukan nama yang jelas di sana. Ia menarik napas lagi, lantas meyedekapkan buku pada dada bidangnya. Sepasang matanya, kini mengarah pada gedung lantai atas. Kepalanya sedikit tengadah. Menelusuri tiap pandangan yang tetangkap ke dua netranya. Hanya ada kaca jendela dan tembok sederhana di sana. Bangku yang merupakan bagian dari bangunan itupun tidak terlihat, tentu saja karena jaraknya lumayan tinggi dari keberadaannya.

"Ah, apakah dia?" Kali ini matanya berhenti tepat pada satu titik, gadis berseragam putih abu-abu, bersender dekat jendela. Mengedar pandangan pada halaman tapi seperti tidak melihat Fajar. Itu bagus, karena Fajar memang tak ingin terlihat untuk saat ini. Tanpa sadar Fajar semakin menengadahkan kepala, ekor matanya lekat memperhatikan gadis itu. Dugaannya sudah mengarah lagi, bahwa dialah pemilik buku dalam dekapannya. Buku kecil, tapi seolah menyimpan banyak luka di dalamnya. Berwarnah hitam, kelam seperti gambaran hati pemiliknya yang sempat ia baca pada beberapa bagian kalimat.

Hitam itu gelap, kelam, sunyi dan tidak mengenakkan. Itu pendapat mereka, tapi aku tetap suka. Warna itu sudah sangat cocok dengan gambaran hatiku. Sebuah ruang yang tidak pernah ada titik cahaya sedikitpun, selain kelam, gelap dan sunyi. Itulah duniaku!

Kalimat yang cukup singkat, tapi jelas menggambarkan pemiliknya memiliki luka yang tak berkesudahan.

"Hey Faj, kenapa selalu di sini?" Arkan teman sekelasnya mendadak muncul, melambaikan tangan, senyum tersungging sangat manis di bibirnya. Tapi ..., ah entah apa Fajar mala teringat lagi kata-kata dalam Diary.

Bibirku tak semerah buah delima, warnanya terkesan kecoklatan bahkan sering pecah-pecah. Apakah lantas ini yang juga jadi penilaian berikutnya setelah kakiku. Lalu apa salahnya? Ia hidup sendiri, tidak pernah memintamu untuk memolesinya lipstik sampai harus merepotkanmu. Tak pernah memintamu menuntunnya hanya sekedar untuk berjalan, ia sudah terbiasa, lantas masihkah kau terusik? Ataukah kedua matamu terlalu sakit bila menjumpaiku? Adakah karena aku merusak pemandangan meski sekedar berjalan di sampingmu? Apa yang salah? Ini takdirnya, akupun tak ingin. Tapi sudahlah, itu Tuhan yang menghendaki. Dan pakaianku cukup kesabaran saja.

"Hey, kenapa? Akhir-akhir ini ku lihat kau sering melamun. Masih belum menemukannya?"

Arkan sudah menarik lengan Fajar, lantas mengajaknya duduk di atas kursi panjang yang di teduhi pohon cemara. Fajar biarkan saja, tak menolak lalu meletakkan buku di tengah mereka. Sepasang matanya sempat menatap malas pada siswi berkaca mata tebal yang bersembunyi di belakang temannya. Jilbabnya menutupi sebagian bajunya dengan rok lebar dan terkesan kurang rapi. Apalagi dengan kacamatanya itu. Aduh, jujur Fajar paling tak senang dengan penampilannya!

"Kau masih terpikir pada pemilik buku itu?"

Arkan menunjuk dengan dagunya pada buku di tangan Fajar. Fajar diam, seolah tak menanggapi. Jelas memang itu alasannya. Pekan lalu, ia tanpa sengaja menemukan buku itu di halaman sekolah, tepat di bawah jendela lantai atas. Barangkali saja pemiliknya tak sadar telah menjatuhkan bukunya dari atas. Itu praduga Fajar dan ia sudah cukup lama mencari siapa sosok itu. Isinya hanya curhatan penuh. Tak ada puisi dan kata-kata romantis seperti kegemarannya. Tapi Fajar suka, ia suka kesedernahaan kalimatnya yang seperti mengajarkan sejuta makna. Dan semuanya cukup berhasil menarik perhatian Fajar beberapa hari ini, lebih-lebih bila membacanya secara terurut. Ia akan seperti menemukan kehidupan seseorang, penuh sangkar luka dan kesedihan, tapi di jalani hanya dengan kata inilah dunianya, dan cukuplah ia jadi kesehariannya bila memang luka itu tak akan mampu terlepas. Biarlah, menghirup udara kehinaan dalam hari-harinya, itu sudah lebih dari cukup selama ada yang masih bisa membuatnya bernapas. Ya, hanya kata itu dan sungguh kata-kata yang langsung membuat Fajar makin yakin, pemiliknya adalah gadis pendiam, pintar, tapi cacat dalam segala hal fisik.
Mendapati kata cacat, tanpa sadar kali ini matanya sudah beralih pada siswi di samping sahabatnya yang tersenyum ramah pada Fajar. Sebenarnya bisa saja jika ia pemiliknya, tapi bagi Fajar itu sangat tidak mungkin. Keluguannya tak pernah tampak dalam catatan Diary, meski ya sesekali ia bisa mendapati kata-kata si buruk rupa. Tapi bukankah itu hanya tampilan fisik dan bukan keluguan? Jelas, pasti bukan dia! Fajar mendadak berpaling, tak suka ia pada senyum terkesan buruk di bibir bermata empat itu. Warna bibirnya yang cukup hitam, di tambah lagi terlalu lebar. Seperti menampilakan bibir badut. Jelek!

DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang