Big Men Cry

447 54 32
                                    

Bagaimana hari ini? Menyenangkan?
From: In Sung-ah
06.32 PM

Hei, kenapa belum balas juga?
From: In Sung-ah
06.42 PM

Jangan bilang kau sedang dalam perjalanan menemui ibumu.
From: In Sung-ah
07.01 PM


Jangan sok tahu. Kapan aku akan menemui ibuku, itu urusanku.
Sent: In Sung-ah
07.02 PM

Semoga saat kita bertemu nanti, kau tidak akan ketus seperti ini.
From: In Sung-ah
07.03 PM

Jangan terlalu percaya diri. Tidak akan ada pertemuan.
Sent: In Sung-ah
07.03 PM

Kenapa? Kenapa kau selalu mengelak?
From: In Sung-ah
07.04 PM

Sehun mengeratkan pegangannya pada handphone, membuat jemari jenjangnya ditinggali gurat-gurat kemerahan. Dia benci mendengar pertanyaan itu. Dia benci mengakui bahwa dirinya memang pecundang kelas berat yang senang mengelak. Hal itu tidak perlu dipertegas lagi, apalagi oleh seseorang yang dia anggap sebagai satu-satunya teman. Iya, teman, meski sekali pun dia tak pernah melihat temannya. Hanya saja, Sehun tak bisa berbohong akan satu hal. Kekosongan yang sudah lama menetap di hatinya akan bertambah mekar setiap kali melihat layar handphone-nya yang bersih dari notifikasi.

Apa masih kurang selama ini kita berbagi? Kau bukan satu-satunya yang pernah terluka. Dan lagi, apa salahnya dua orang yang pernah terluka saling bertemu? Itu bukan berarti kita akan saling melukai, kan?
From: In Sung-ah
07.08 PM

Sehun terperenyak, kartunya sudah dibuka. Di antara mereka, berbagi memang masih terasa kurang. Atau setidaknya, begitulah bagi Sehun. Masih ada satu-dua hal yang dia sembunyikan. Sakitnya belum sempurna dia bagi, sedangkan dia rasa temannya sudah berbagi begitu banyak. Sehun masih berat mengakui bahwa bukan hidupnya saja yang cacat, tapi juga fisiknya. Dan Sehun ..., belum sanggup mengutarakan maaf pada temannya atas ketidakadilannya. Satu lagi, Sehun baru saja menambah satu kebohongannya, dia memang habis menemui ibunya setelah sekian tahun membiarkan egonya menang.

"Permisi, boleh bergeser sedikit?"

Sehun tak menyahut apa pun, tapi dia memiringkan kaki jenjangnya yang tertutupi jeans biru tua panjang, membiarkan seorang pria lewat dan menempati kursi di sebelahnya.

"Terima kasih."

Pria itu bicara lagi, tapi Sehun hanya menyahutinya dengan suara seperti gumaman. Lantas, mereka menjadi dua orang yang saling diam, yang kebetulan melakukan perjalanan menuju Seoul dengan kursi yang bersebelahan.

"Udaranya dingin sekali."

Handphone Sehun nyaris melompat kalau saja tidak segera dia tahan kembali. Suara pria itu cukup mengejutkannya, berat dan tak terduga. Buru-buru Sehun menarik tudung hoodie biru gelapnya, bersikap terang-terangan ingin menghindar dari tatapan pria itu. Tapi nyatanya, wajah pria itu tak beranjak sejengkal pun dari sampingnya.

Sehun melirik sekilas pria di sampingnya, hanya untuk mengetahui bahwa pria itu jauh lebih tua daripada dirinya. Sehun terka, pria itu berusia empat puluh tahunan. Namun, punggungnya yang tegap dan rambutnya yang masih segelap arang membuatnya tampak segar dan muda.

Memilih tak terlalu memedulikan, Sehun hanya menunjukkan sekilas senyum yang mengintip dari tudung hoodie-nya. Sekedipan mata berikutnya, Sehun memejamkan mata, membiarkan dirinya ditarik gelap selagi roda bus memulai putaran pertama. Di dalam gelap sana, Sehun merasakan sepi yang lebih intim lagi, seolah itu adalah nilai mutlak untuknya, hidupnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 08, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Big Men CryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang