GAME

8 2 6
                                    

'Cekrek'

Aku mendengar suara jepretan kamera. Kepalaku menoleh ke kiri dan menemukan pelaku yang membuat suara tersebut.

Ya, dia Aira. Temanku semenjak aku menyandang gelar mahasiswa 2 bulan lalu.

Aira memang sangat menyukai dunia fotografi. Ia pernah bercerita bahwa fotografi adalah sebagian dari hidupnya. Setiap waktu ia selalu memotret hal-hal yang ada disekitarnya.

“Aku selalu merasa tenang jika berkunjung kesini.” Ujar Aira sambil merentangkan tangannya menikmati udara sejuk ditaman ini yang dipenuhi dengan tumbuhan hijau.

Aku terkadang masih bingung, apa yang membuatku bisa berteman dengannya. Kami memiliki perbedaan yang sangat banyak di berbagai hal.

Ia yang kaku, dan aku yang slengean. Ia yang pendiam, aku yang urakan. Ia yang selalu menggunakan bahasa yang baik dan benar sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, sementara aku memilah kata yang pantas diucapkan atau tidak saja belum khatam. Dan masih banyak perbedaan lain yang membuat kami sangat bertolak belakang, berlawanan arah, seperti langit dan bumi, seperti kutub utara dan selatan, seperti bawang merah dan bawang putih, seperti mata dan telinga.

Tapi buktinya kami bisa berteman tanpa ada cekcok. Aku tidak tau apa yang membuat kami bisa berteman, namun aku merasa aku nyaman jika berbicara dengannya meskipun percakapan kami tidak sepanjang sepanjang rel kereta api dan tidak serumit alur sinetron apalagi semenggebu ibu-ibu arisan yang sedang menggosipkan teman arisannya yang sedang berhalangan hadir saat itu.

Kesamaan kami hanya satu, kami tidak punya banyak teman. Aku sering mendengar gosip dari mahasiswa lain yang mengatakan bahwa Aira adalah orang yang aneh, misterius dan berbahaya.

Aku sangat muak dengan orang yang hanya berkomentar tanpa menyelidiki lebih lanjut. Bukan berarti aku ingin mereka menyelidiki Airi dengan menguntit atau menjadi stalker, aku hanya tidak suka orang yang suka menjelekkan orang lain tanpa ia tahu yang sebenarnya. Toh aku selama ini aman-aman saja berteman dengan Airi, dan itu artinya mereka hanya mengandalkan ketajaman lidah mereka tanpa menggunakan kendali otak untuk rem.

Namun, ada satu hal yang membuatku sedikit ragu dan merasa aneh. Aku penasaran apa yang sebenarnya yang ia foto selama ini.

Aku tidak pernah melihat atau bahkan menanyakannya karena aku pikir itu tidak terlalu penting dan itu adalah hak dia untuk menyalurkan hobinya dan itu bukan urusanku. Dan Aira tidak pernah mengijinkan siapapun menyentuh dan membuka isi kameranya. 

Dan itu yang membuat rasa penasaran ini semakin menumpuk.

"Ra, apa sih yang sebenarnya jadi objek foto kamu? Aku nggak pernah tau hal apa yang menarik bagimu sampai buat kamu memutuskan untuk memfotonya?"

Ia tersenyum tipis. "Bukan hal yang penting, hanya mengabadikan moment yang ada disekitarku." Ujarnya sambil kembali mengalihkan perhatiannya kepada kamera ditangannya.

Aku mendekat kearahnya. "Aku boleh lihat nggak?"

Ia terlonjak kaget menyadari aku yang berjarak lebih dekat dengannya sehingga hampir dapat melihat tampilan foto dikameranya. Ia seketika bergerak menjauh.

"Kamu mengagetkanku saja. Sudah ku bilang ini bukan hal yang penting. Ehm..bagaimana kalau kamu ku foto saja? Nanti akan ku cetakkan sekaligus jika hasilnya bagus."

Ia beranjak semakin memperlebar jarakku dengannya sambil mengambil ancang-ancang untuk memfoto diriku. Aku yang memang gemar berfotopun segera memasang pose andalanku.

***

"Woy!"

Ia terlonjak kaget mendengar seruanku. Ini sudah keempat--atau kelima atau keberapapun aku lupa--aku menangkap basah dia tengah melamun dan memandangiku. Aku tidak terlalu memusingkan hal itu sebenarnya namun tatapannya terlalu intens sehingga membuat bulu kudukku merinding.

GAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang