Chapter 1.1 - A Bad Day

24.9K 1.9K 256
                                    

This my first update of colab story by DramaQueens. Enjoy reading, and mimi hope you like it.

Dalam suasana kemacetan sepanjang jalan 6th Avenue Manhattan, seorang pria terduduk gelisah di kursi penumpang mobil mewahnya. Kakinya tak berhenti bergerak, sedang jari tangannya terlihat sibuk menscroll layar ponselnya yang terkesan menjemukan. Hingga pada akhirnya kesabaran yang telah habis membuatnya berteriak kesal, di susul umpatan yang membuat sopirnya bergidik ngeri menghindari tatapan bosnya.

"Aku tidak bisa berdiam di sini lebih lama lagi, Tom. Lakukan sesuatu supaya mobil ini lekas bergerak."

"Mohon maaf, Tuan Aldric. Ada kecelakaan beruntun di depan sana, yang membuat kita terjebak di sini karena tidak ada akses jalan lain."

Pria dengan sikap tempramental tersebut bernama lengkap Aldric Brave Stark. Seorang pemuda usia dua puluh delapan tahun, dengan surai berwarna hitam sedang manik matanya terlihat gelap tak memancarkan keceriaan.

Tubuhnya tinggi dan kekar, serta terkesan proporsional. Wajahnya berahang tegas, yang tampak kasar serta jantan. Dan saat ini dirinya sedang mengenakan kemeja berwarna maron yang lengannya digulung hingga siku, dengan bawahan celana bahan berwarna gelap, sedang sepatunya berwarna hitam di semir mengkilap.

Aura kekesalannya belum mereda, sampai dering panggilan di ponselnya membuat Aldric menghela napas panjang kemudian menerima telepon dan menyapa, "Halo, Mom."

"Sayang, kau di mana? Ayahmu sedang mencarimu karena kau akan diperkenalkannya pada para kolega di acara ulang tahun perusahaan malam ini."

Aldric mendengus, memeriksa kondisi kemacetan yang menjebaknya, lalu berkata memberi penjelasan pada ibunya. "Aku masih terjebak macet sejak 30 menit yang lalu."

"Kau bisa..."

Aldric menyela, "Don't. Jangan menyuruhku menggunakan transportasi umum. Aku sangat membencinya."

"Apa kira-kira masih lama? Kau bisa memastikan sampai di tempat acara sebelum waktunya, bukan?"

"Aku tidak tahu. Yang perlu ku lakukan sekarang adalah membunuh kebosanan ini. Aku sudah mulai mual memikirkannya."

Di seberang sambungan telepon terdengar gelak tawa dari ibu Aldric yang akhirnya berkata mencandai putranya, "Kita perlu menjadwalkan terapi untukmu di psikiater, Sayang. Mommy rasa ada masalah pada kepribadianmu."

Aldric mendengus menanggapinya, "Mom, please. Aku sedang tidak dalam mood untuk bercanda."

"Maafkan Mommy. Lebih baik kau turun dari mobil untuk mencari tempat bersantai. Karena bagaimanapun, kau tidak akan pernah mau untuk naik kendaraan umum, bukan?"

"Kenapa Mommy tidak memberikan solusi dengan menyuruh seseorang untuk menjemputku?"

"Kau pikir, bagaimana caranya mobil datang untuk menjemputmu jika kondisinya macet total? Kau bersedia mengendarai sepeda motor?"

Aldric menggeleng keras, "Tidak, terima kasih. Aku akan mencari tempat bersantai untuk membunuh rasa bosanku. Bye, Mom. Kita harus mengakhiri pembicaraan ini." lalu sambungan telepon benar-benar terputus sepihak olehnya.

Aldric kembali mengantongi ponsel disakunya, mengedarkan pandangan ke sekeliling luar mobilnya, lalu ketika melihat sebuah coffe shop yang terkesan nyaman, pada akhirnya ia memutuskan, "Tom, aku akan beristirahat sejenak di cafe sana. Jika kemacetan sudah mereda, tolong jemput aku segera." Seraya menunjuk cafe yang dimaksudnya, lalu keluar mobil setelah memberikan titah pada sopirnya.

Dirinya berjalan di tengah hiruk pikuk klakson kendaraan yang terasa memekakan telinga. Hingga pada akhirnya Aldric memasuki coffe shop yang menjadi tujuannya, dan bunyi lonceng pintu yang dibuka membuat setiap pasang mata mengalihkan pandangan menatapnya.

Antrian tidak terlalu panjang, namun sikap arogan seorang Aldric Stark membuat mayoritas remaja yang memenuhi tempat tersebut hanya bisa geleng kepala karena sungkan menegurnya. Dengan mata masih berfokus pada pesan singkat di ponselnya, Aldric mengatakan pesanannya pada barista, "Caramel Macchiato panas ukuran sedang."

"Sorry, Sir. Seharusnya Anda mengantri seperti yang lainnya." ucap Barista.

Seketika itu, ucapan berani yang baru pernah didengarnya membuat seorang Aldric Stark segera mendongakkan wajah memastikan pendengarannya. "Sorry?"

Barista perempuan yang berusaha bersabar hanya bisa menghela napas panjang, lalu kembali mengulang kalimatnya. "Seharusnya Anda mengantri seperti yang pembeli lainnya lakukan."

Aldric memicingkan mata mengeja name tag sang barista perempuan. "Annabelle? Apa kau punya televisi di rumahmu?" tanya Aldric dengan tatapan mengejek.

Si barista perempuan bernama lengkap Annabelle Jones dengan panggilan Elle hanya bisa mendengus kesal tanpa berniat menanggapinya. Tampaknya dia seorang wanita penyabar, dengan kisaran usia dua puluh lima tahunan. Wajahnya menarik dan bisa dikatakan cantik. Ia memiliki surai panjang berwarna pirang, manik mata berwarna biru, bibir tipis memerah natural, serta hidung mancung yang membuat proporsi kecantikannya pas di pandang mata. Dan yang pasti, setiap orang yang mengenalnya tak akan mudah melupakannya.

Terkecuali untuk seorang Aldric Stark. Wanita di hadapannya sama sekali tak membuatnya tertarik, karena sikap pembangkang dan penampilan yang terkesan asal-asalan. Dengan tatapan menilai ia kembali berbicara memancing kediaman sang barista. "Para pengantri di belakangku bahkan tidak keberatan dengan sikapku. Mereka sangat tahu siapa aku, sehingga tidak berani mencari masalah denganku. Dan kau..." tunjuknya tepat di wajah Elle, "...berani-beraninya menambah kadar kekesalanku hari ini. Cepat panggil bosmu!"

"Aku tidak akan..." Elle berniat menjawabnya, namun seorang pria yang tak kalah tampan dari Aldric mencegahnya, "Biarkan aku berbicara dengannya, Elle." Lalu menghadap Aldric sepenuhnya dan berkata, "Maaf, Tuan Stark. Ada yang bisa saya bantu? Perkenalkan saya Alvin pemilik dari cafe ini." mengulurkan tangan bermaksud menjabatnya.

Aldric tak menjawabnya, dan hanya sekilas memandang tangan Alvin yang pada akhirnya di tariknya kembali. Dengan nada suara tak bersahabat Aldric berkata, "Aku tidak banyak waktu untuk mengurusi hal semacam ini. Aku hanya mau pesananku segera dibuatkan."

"Tapi Anda perlu mengantri seperti yang lainnya, Tuan. Lihatlah, antrian menjadi tersendat karena kekukuhan Anda yang sangat tidak patut dibanggakan."

Seketika mendengar kalimat terakhirnya, mata Aldric mendelik menatap tajam Alvin seraya berkata, "Apa kau bilang? Kau juga... berani menantangku?"

"Saya hanya berusaha memecahkan permasalahan ini supaya pesanan Anda segera di buatkan."

Dengan rahang mengetat menahan marah, Aldric berkata dengan geramannya yang cukup mampu didengar orang disekitarnya. "Kau... semakin menambah daftar kesialanku hari ini, Brengsek. Aku benar-benar akan memberikan perhitungan denganmu." Menatap Elle tajam sebelum membalikan badan mengurungkan niat untuk sekedar bersantai dan menikmati kopi yang diinginkannya.

TO BE CONTINUED

Drive Me Crazy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang