"Perempuan adalah objek," anak itu melontarkan di tengah perbincangan kita. Kelompok kita mendadak hening. Dua perempuan di hadapannya menggerutkan alis dan menyipitkan mata. Anak itu tidak goyah, ekspresinya masih sama seperti sebelum ia membuka mulutnya.
"Eh ... maksudmu?" aku memotong kecanggungan. Aku meneliti netranya, mencari tanda-tanda penghinaan. Tidak ada. Yang tertanam dalam tatapannya hanyalah kepolosan seorang anak yang duduk di bangku SMA kelas dua.
"Itu, tadi Bu Ratih membahas keseteraan gender, bukan? Bagaimana bisa setara kalau lelaki adalah manusia, sedangkan perempuan adalah objek, barang," ia menjelaskan dengan amat tak berdosa. Betul, katanya, tadi Bu Ratih membahas itu. Selama bahasan, anak itu tidak mengeluarkan sepatah kata. "Baru kupikirkan," ia bilang.
"Sepertinya kau cukup dewasa untuk mengerti bahwa perempuan juga manusia," lawan satu perempuan di seberang mejanya. Kedua lengannya ia lipat di depannya.
"Sepertinya kau yang tidak mengerti," pada saat anak laki-laki itu membalas, bel istirahat berbunyi. Ibu Ratih meninggalkan kelas, juga hampir seisi kelas, kecuali aku, anak itu, dan beberapa siswa lain.
Udara di antara kita canggung tak terhingga. Aku mengisi kekosongan dengan mengetuk jari-jari pada meja, sembari menopang kepalaku yang mengancam jatuh karena kantuk.
"Eh, kau jadi ke rumahku, kah?" anak itu bilang, tiba-tiba. Posturku menjadi lebih tegak, dan manikku yang tadi memperhatikan goresan-goresan abstrak di mejaku sekarang menatap matanya. Ada tugas yang belum kita kerjakan, kuingat.
"Oh, iya. Jadi."
Jadi, sore itu, aku berjalan bersama anak itu menuju rumahnya yang katanya tidak terlalu jauh. Jauh, ternyata, untuk pejalan kaki. Aku pikir, anak itu memiliki persepsi sedikit ganjil mengenai beberapa hal. Perempuan, contohnya. Jarak, juga.
Kita sampai di rumahnya setelah berjalan sekitar tiga puluh menit lamanya. Kemejaku telah dibasahi keringat yang menyucur tanpa henti dari kening, dada, leher, dan ketiak.
Dalam perjalanan, kami tidak banyak bicara. Namun, sebelum membuka pintu rumahnya (yang, harus kuakui, cukup mewah), dia sempat berkata, "Ah, lepas sepatumu di sini, nanti di dalam kuberi sendal." Kebiasaan orang kaya, kukira. Aku melepas sepatuku dan menggesekkan kaki pada keset yang terdapat di depan pintu. Teksturnya sedikit aneh, tapi kuabaikan. 'Aku bukan orang kaya, mana kutahu tentang yang begini!' kukata dalam benak.
"Oh, aku tadi juga bukan bermaksud menyinggung. Sepertinya tadi kalian tersinggung oleh perkataanku."
"Hah? Yang mana?"
"Yang kubilang soal perempuan."
"Oh, sebetulnya aku ingin bertanya," aku menjawab sambil menunggu pintu dibuka. Ia sudah memencet bel beberapa kali. "Mengapa kau berpikir begitu?" Aku mencari-cari lagi dalam kerutan wajahnya dan maniknya tanda-tanda bahwa dia hanyalah orang jahat. Mungkin saja, dia hanyalah produk maskulinitas berlebihan, seperti majoritas lelaki yang kukenal.
Tapi, sekali lagi, tidak ada. Alisnya menggerut, dan ia mengedipkan mata beberapa kali, seakan bingung. Ia membuka mulutnya untuk berbicara, tapi seorang lelaki tua membuka pintunya. Hanya membuka, lalu pergi.
"Ah, abaikan tingkah Ayahku yang apatis." Aku mengangguk.
Saat aku memasuki rumah itu, langsung kusadar akan sebuah kejanggalan—segala sesuatu di rumah itu berwarna krem dan merah.
"Ah, Ayahmu punya selera cukup ... unik?" aku lebih bertanya pada diri sendiri.
"Kau suka?"
Pada saat itu juga, aku melihatnya. Di atas dinding di sebelah kananku: sebuah pajangan kepala seorang wanita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stories of Those Around Us
Short Storykumpulan cerita pendek, tentang mereka yang kurang dimengerti. *** disclaimer: cerita-cerita yang ada dalam buku ini mengandung dan menyinggung pembahasan dengan unsur sara, seks, kekerasan, gangguan mental, seksualitas, dsb. mohon dibaca dengan bij...