Sang bulan kembali bersinar dengan bulat wajahnya, angin semilir, semerbak bau harum sang melati menyapa hidung, roman sang malam berbinar bersama kelip bintang.
Zainal masih terdiam memandangi indah malam, fikirannya melayang pada masa kecilnya dulu, masa dimana dia dan Aisyah yang merupakan anak dari kyainya masih bermain bersama, masa di mana pertama kali dia masuk kwdalam jajaran santri Ndalem dengan umur belia, masih jelas di ingatannya, tangis Iis kecil Saat dia melarang Ningnya untuk ikut kepondok putra, masih melekat di benaknya, kala Ningnya tertawa riang ketika mendapatkan kado darinya di hari ulang tahun, jelas terngiang manja suara Ningnya saat meminta di antar membeli buku padanya, kini semua telah berubah meski tidak sepenuhnya, Iis tumbuh sebagai gadis yang cerdas dan anggun, enam tahun berlalu tanpa terasa Zainal mengabdi di Ndalem, melewati hari bersama rutinitas padat dan menjalani dengan canda tawa para sahabat dan teman-temannya.
"Kang Zainal, koq ada bau ikan gosong, pean masak ikan ya?." Teriak ning Iis membuyarkan nostalgia Zainal.
"Waduh...!!! Iya lupa...!!!" Batin Zainal, Dia langsung mengarahkan pandangannya pada ikan yang sedang di gorengnya buat Ning Iis, dia segera membalik ikan yang di gorengnya, namun terlambat ikan telah gosong separuhnya.
"Hayooo... ketahuan, kebanyakan nglamun nich pean." Goda Ning Aisyah membuat rona wajah Zainal merah bagai tomat yang matang, Zainal hanya tersenyum.
"Dia tetaplah seperti dulu, suka menggodaku dan selalu tersenyum." Batin Zainal bergumam.
"Kang, Ntar sore anterin Aisayah yach." Pinta Aisyah seraya mengambil sayuran kangkung untuk di pilah.
"Pean ingin kemana Ning?" Tanya Zainal seraya berpindah mengambil bawang merah untuk di iris.
"Biar saya aja Kang," pinta Aisyah saat Zainal mulai mengiris bawang. Zainalpun mengalah dan kembali memilah kangkung.
"Pean mau kemana nanti sore? Hemm..." tanya Zainal pada Ningnya.
"Mau kerumah teman, ada yang harus Iis sampaikan pada ibunya."
"Siapa namanya?"
"Fellin"
"Oh, Fellin." Gumam Zainal lirih sambil tersenyum.
"Emang Kang Zainal kenal Fellin?" Tanya Aisyah saat mendapati Zainal tersenyum.
"Kenal dong..."
"Dari mana pean kenal?"
"Barusan dari pean, hehehehe" Zainal Nyengir senang.
"Iiiihh!!!... Kang Zainal!!!" Teriak Aisyah gemas, dia langsung menghampiri Zainal dan memukulnya, Zainal hanya tertawa menanggapi pukulan dari Ningnya, mereka tidak tahu kalau ada sepasang mata yang mengawasi gerak-gerik mereka dengan senyuman yang mengembang di bibirnya.******
Matahari menyapa senja, pohon-pohon bergoyang, angin menerbangkan daun-daun kering, Zainal memacu motornya dengan kecepatan enam puluh per KM. Aisyah memegang erat pinggang Zainal."Ahlan wa sahlan yaa badriyah, silahkan masuk, sayang." Sambut Fellin seraya tersenyum pada Aisyah, terlihat di mata Zainal keakraban antara mereka.
"Tumben kemari, ada apa?" Tanya Fellin.
"Nggak papa, cuman iseng ajah, pengen cari hiburan, jenuh di humz terus." Jelas Aisyah.Keduanya larut dengan cerita masing-masing, sementara Zainal terabaikan, Zainal menghela nafas pendek, Dia edarkan pandangannya keluar hingga dia temukan sesuatu yang menarik hatinya.
Zainalpun ngeloyor menghampiri jerami yang ada di samping rumah Fellin, dia tak meminta izin dulu pada Aisyah.
Detik berikutnya Zainal telah sibuk menganyam jerami, Dia abaikan pembicaraan antara Fellin dan Aisyah.
Setelah selesai dengan waktu yang agak lama, Zainal memasangnya di tangan kirinya.
"Ya allah, aku lupa, jam berapa sekarang?" Ujar batin Zainal, dia melirik jam tangan tuanya, terlihat di situ jarum menunnjukkan tepat di anggka lima, dia bergegas bangkit dari duduknya dan menghampiri pintu rumah.
Tapi sayang, Zainal hanya menemukan Fellin dan orang tuanya, sedangkan motor dan Ningnya telah sampai di rumah Kyainya.
Zainal menghela nafas, diapun pamit untuk pulang, Fellin menawarkan diri untuk mengantar, namun dengan halus Zainal menolaknya.