Jilid 1

1.6K 18 0
                                    

Sinar bulan purnama raya terang benderang bagaikan siang.

Di jalan pegunungan yang sepi dan gersang itu sama sekali tiada nampak jejak manusia.

Semuanya serba sunyi, seolah-olah jagat raya ini hanya terdapat bulan purnama dan pegunungan gersang ini dan tiada benda lain lagi.

Angin pegunungan meniup pelahan dan silir semilir

Benarkah di pegunungan gersang ini tiada terdapat jejak manusia?

Tidak benar!

Itu dia, di puncak gunung yang datar sana berduduk tegak tujuh orang. Tiada seorang pun yang bersuara, semuanya bungkam dan tiada yang bergerak, mirip tujuh buah patung.

Ke tujuh orang ini, duduk terpisah di kedua sisi. Yang satu sisi berduduk enam orang dan sisi lain, kira-kira berjarak satu tumbak, hanya berduduk satu orang.

Lama... dan lama sekali... baru kelihatan orang yang duduk sendirian itu mendahului bergerak sedikit.

Rupanya ke tujuh orang sama-sama kehabisan tenaga, Orang yang duduk sendirian itu meski dapat bergerak, tapi juga belum kuat untuk berbangkit. Pelahan dia membuka matanya dan menghela napas.

Wajah orang ini sangat putih, di bawah sinar bulan tampaknya bertambah pucat pasi. Usianya antara 70-an, dari kerut mukanya yang penuh keriput itu dapat diketahui pasti sudah kenyang makan asam-garam dan gemblengan kehidupan Anehnya, usia selanjutnya ini, mukanya ternyata. kelimis, tiada jenggot sedikit pun.

Padahal umumnya orang jaman dahulu, bilamana sudah cukup umur, lazimnya mesti piara jenggot (yang dimaksudkan cukup umur adalah 50 tahun ke atas, di bawah 50 dianggap Yau-siu atau cekak umur - Gan KL).

Ke enam orang lalunya justeru kebalikannya daripada kakek bermuka bersih ini, air muka mereka berwarna sawo matang seperti kulit muka orang tua umumnya, di bawah janggut juga tumbuh jenggot berwarna putih kelabu.

Selang sejenak pula, kakek bermuka kelimis itu berkata, "Bagaimana perasaan kalian sekarang?"

Sampai sekian lama lagi barulah lima di antara ke enam kakek yang lain itu membuka mata, seorang kakek yang tidak membuka mata itu berkata, "Aku Bu-bok-soh (Kakek Tanpa Mata) hari ini mengaku menyerah padamu."

Seorang kakek lagi yang kelihatan bungkuk, tapi dengan berduduk pun masih lebih tinggi daripada rekan-rekannya menukas, "Mengapa mesti menyerah? Akhirnya kan sama terluka parah?"

"Sama terluka parah, memang betul kedua pihak sama-sama terluka," ucap si kakek muka kelimis sambil tersenyum getir, "Sebenarnya apa gunanya kita bertempur mati-matian begini?"

Mendadak angin pegunungan meniup santer sehingga lengan baju kanan seorang kakek tampak bergoyang tertiup angin, sekali pandang segera diketahui kakek ini buntung lengan kanannya, makanya lengan bajunya yang kosong itu berkibar tertiup angin.

Dia tertawa dan berseru, "Haha, kalau sekarang merasa menyesal, mengapa dahulu mesti berbuat? Bilamana sejak 20 tahun yang lalu jurus pedangmu itu kau katakan secara terbuka, kan segala nya sudah menjadi beres?"

Kulit daging muka si kakek kelimis itu, sampai berkerut-kerut, ucapnya kemudian. ""Apa yang telah kukatakan 20 tahun yang lalu itu masih tetap berlaku untuk sekarang, Apabila kalian dapat mengalahkan diriku, tentu jurus pedangku ini akan kukatakan secara terbuka. Cuma sayang, selama 20 tahun ini kalian sendiri yang tidak becus dan tetap tidak mampu mengalahkan diriku. Hm, kukira biarpun lewat 20 tahun lagi kalian juga tetap bukan tandinganku."

Seorang kakek lain mendadak berdiri, terlihat dia berdiri dengan kaki kanan melulu, kaki kiri sudah buntung. Ketika berdiri dia tergeliat dua-tiga kali dulu baru kemudian dapat berdiri tegak.

Pendekar KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang