1. Harta Berharga Ayah

46 4 3
                                    

Di depan sana, cakrawala terbentang luas menatapku yang termangu membalas tatapannya. Hamparan air asin berbawarna biru dengan semburat hijau nampak tenang berdampingan dengan langit. Ketika semilir angin mulai berhembus, deburan ombak mulai terdengar manakala ia menghantam karang.

Aku melangkahkan kaki lebih dekat, mengangkat gaun hijauku yang mulai sedikit basah. Gemericik air menggelitik kaki – kaki telanjangku. Seperti menari – nari, butiran pasir berputar – putar di dalam air asin yang membawanya sedikit menjauh dari bibir pantai. Aku melangkah lebih dekat lagi, membiarkan si air asin mengubur kedua kakiku lebih dalam lagi.

Kupejamkan mataku, menghirup segarnya aroma laut, mendengarkan nyanyian angin dan geretakan ombak terhadap karang. Damai. Aku membiarkan sang angin membelai rambut hitamku, mengecup kulit putihku.

Masih terbuai dengan suasana yang menghipnotis, tiba – tiba terdengar derap langkah kaki kuda yang berlari di sepanjang bibir pantai, menciptakan cipratan air asin pada setiap langkah kuda tersebut. Derap langkah bak melodi indah yang tercipta dari hentakan kaki yang beradu dengan air itu semakin terdengar jelas, sampai aku mendengar ringikan kuda yang berhenti di dekatku.

“Ane,” terdengar suara lembut memanggilku, tetapi aku tetap terdiam.

“Ane,” panggil suara itu lagi. Tapi aku masih tak mau membuka mataku dan melepaskan diri dari sihir penghipnotis alam laut.

“Anemone Hepatica! Apa kau tidak mendengarku, huh?!” kini suara itu menyeru, memanggilku dengan nada geram. Kedua tangan kokoh mengguncang – guncangkan tubuhku.

Merasa terganggu dengan guncangan kasar itu, aku membuka kedua mataku. Di hadapanku, berdiri seorang pemuda bersurai kelabu dengan sorot mata violetnya yang menatapku dalam. Namanya Coniferae. Pemuda itu menatapku dengan wajah yang tampak cemas.

“Ane, bisakah kau tidak melamun seperti itu? Kau terlihat mengerikan.Kadang – kadang aku khawatir kalau roh jahat merasukimu.” Katanya lembut.

“Ifera,” begitulah aku biasa memanggilnya. “Kau tahu, kebiasaanku kan? Aku baik saja.” Kataku menurunkan kedua tangan pemuda itu dari bahuku.

“Baiklah, tapi jangan terlalu sering melakukannya.” Kata Ifera. “Fajar sudah terbit, sebaiknya kita segera menelusuri hutan. Hari ini hari peringatan kematian ayah, ibu meminta kita untuk kembali sebelum matahari terbenam.” Aku mengangguk.

Pemuda itu mengulurkan tangannya, meraih jemari mungilku dan menaikanku pada pelana yang terpasang kencang pada punggung Canaden, kuda jantan berbulu cokelat miliknya. Segera setelah aku duduk, pemuda itu segera naik. Ia melingkarkan kedua lengannya mengitari pinggulku, mencengkeram tali kekang dan segera memacu Canaden dengan kecepatan tinggi. Kami melesat menuju hutan dengan pohon – pohon cemara di sisi kanan dan kiri. Pandanganku beredar, menyisir setiap sudut hutan untuk menemukan harta berharga peninggalan ayah Ifera.

Ifera mempercepat laju kudanya, membiarkan angin kencang menerbangkan rambut kami. Di tengah suara derap kaki Canaden yang kian mengeras, aku dapat merasakan hembusan nafas hangat Ifera di tengkukku. Pemuda itu sedikit membungkuk ke arah depan ketika Canaden semakin melesat kencang. Dada bidangnya bertemu dengan punggung mungilku, membuatku dapat merasakan degupan jantungya yang semakin lama semakin berpacu. Sesekali, aku menoleh ke arah wajah rupawannya yang tak menunjukan senyuman. Manik violetnya menatap tajam ke arah depan, surai kelabunya terhempas angin, pemuda itu hanya ingin menemukan harta berharga ayahnya, lalu menghentikan pencariannya selama ini.

Suasana ini, angin kencang ini, derap langkah kuda ini, semua ini menarikku pada kenangan kelam di masa lalu. Pada saat itu, tepat tujuh tahun yang lalu, saat itu aku baru berusia sebelas tahun.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 24, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Heart BeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang