Bagian ke - 1

122 6 1
                                    

"Cinta memanglah selalu menjadi bahan pembicaraan yang mengasyikan sejak berabad-abad lamanya." Meskipun aku sendiri tidak terlalu menyukai hal-hal seperti itu, sebab terkadang cinta yang salah akan membawa tragedi bagi para penikmatnya. Seperti kisah menarik yang akan aku ceritakan ini.

Pukul 06.00 pagi, tepatnya pada awal februari lalu, saat sedang asyik menikmati berita lokal, suara ketukan pintu menggangguku. Aku mendekati pintu itu, kemudian sedikit membuka lubang kecil yang sengaja aku pasang di bagian tengah untuk melihat siapa yang ingin masuk ke kantorku.

Tampak di mataku seorang laki-laki paruh baya dengan wajah tertunduk di depan pintu. Ia memiliki rambut hitam ikal dan sedikit berwarna putih. Kulitnya yang hitam itu kontras dengan bajunya yang berwarna orange menyala, seperti batu hitam di atas selembar kertas putih. Dari pakaian yang ia kenakan, aku tidak terlalu sulit menebak bahwa orang itu merupakan pekerja parkir di pasar yang sering aku lihat setiap pagi. Tapi memang, berapa hari ini, aku jarang melihatnya.

Dari keningnya yang aku lihat sepintas, tampaklah tiga kerutan khas yang menandakan bahwa betapa kerasnya orang tersebut memikirkan berbagai permasalahan hidup selama ini. Lalu, apa yang membuatnya tiba-tiba datang ke tempatku sebelum jam buka?  Apa yang sebenarnya terjadi? Tidak seperti biasanya ia seperti itu?

Aku mulai membukakan pintu. Orang yang sudah aku kenal belum lama ini menyapaku dengan senyuman khas,

"Silakan masuk, Pak Ma'sum?" kataku mempersilakan.

"Terima kasih, Fariz," jawabnya sambil menundukan kepala, seperti kebiasaan orang-orang di Bandung.

Pak Ma'sum segera memasuki kantorku. Aku menyuruhnya menuju ke sebuah ruangan kecil di sebelah kanan yang berdekatan dengan pintu masuk. Ia berjalan dengan membungkuk, kesehariannya di pasar mengakibatkan hal itu. Terlebih karena ia terlalu sering menerima pesanan untuk mengangkut barang bawaan para pembeli di pasar.

"Duduklah, Pak?"

"Terimakasih,"

"Jadi, apa yang membuat bapak datang kesini pagi-pagi sekali, bukankah bapak sudah tau kalau kantorku selalu buka setiap pukul 08.00 pagi?" tanyaku, namun dengan nada menyesal.

Secara tiba-tiba, ia mengeluarkan sejumlah uang berwarna merah yang digulung dan diikat menggunakan karet gelang sebanyak 3 gulungan,

"Maafkan aku, Fariz. Ini mungkin semua sisa tabunganku selama ini. Tetapi aku harus jujur bahwa aku masih bisa makan dan tidur nyenyak selama aku bisa terbebas dari masalah ini. Uang bukanlah masalah, aku bisa mendapatkannya lebih cepat di pasar. Aku tahu bayaranku jauh dari cukup, tapi jika kau berhasil menangani masalahku ini, aku akan membayarkan sisaya," ungkapnya penuh permohonan.

Aku masih terdiam, pikiranku tiba-tiba penuh dengan tanda tanya besar pada orang ini, bukan karena uang yang ia sodorkan, melainkan kasus menarik  apa yang akan dia berikan sehingga berani-beraninya menyuapku dengan 3 gepok gulungan uang berwarna merah itu.

"Tolong jelaskan, apa maksud semua ini?" kataku dengan nada sinis.

"Aku baru baru saja datang dari luar kota. Aku telah menempuh perjalanan sekitar 8 jam menggunakan kereta, dan selama itu, aku terus memikirkan permasalahan yang sedang aku hadapi,"

Aku menyandarkan tubuhku dengan santai. Posisi seperti ini terkadang sangat nyaman bagiku, meskipun terkesan seperti orang yang tidak terlalu tertarik dengan lawan bicara, namun aku mengimbanginya dengan tatapan mata tajam terhadap Pak Ma'sum serta telinga yang siap menangkap setiap kejanggalan informasi.

"Aku ingin sekali menceritakannya langsung padamu, sehingga setelah keretaku berhenti, aku segera menuju kesini menggunakan ojek yang tidak bisa ditawar harganya itu," ketusnya, "aku ingin meminta saranmu atas apa yang sedang menimpaku saat ini dan itu sangat membuatku tidak bisa tidur nyenyak setiap malam,"

Secara naluriah aku mulai menggosok ke dua telapak tanganku. Aku seperti orang yang sedang mendapat kabar dari pengumuman di sebuah perlombaan. Karena aku yakin, akan ada kasus menarik dibalik kalimat-kalimatnya itu,

"silakan, Pak," kataku dengan tidak sabar.

"Baiklah! Sekitar dua minggu yang lalu tepatnya tanggal 20 januari,  aku sedang berlibur di kampung halaman di daerah Kroya, Cilacap. Saat itu, aku berencana ingin mengunjungi seorang teman yang tak jauh dari rumahku. Pada jam 12 siang, aku berangkat menuju rumah temanku itu menggunakan sepeda motor. Saat sampai di halaman depan rumahnya, aku melihat banyak sekali kerumunan orang yang sedang melihat ke arah rumah temanku ini dengan tingkah yang penasaran. Terlihat juga beberapa anggota kepolisian sedang memasang 'Police LIne' di sekitaran rumah temanku. Melihat itu, aku mulai tergerak untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di rumah itu?"

Pak Ma'sum berhenti, ia mengambil air mineral dalam gelas yang aku sediakan di atas meja, kemudian ia melanjutkan ceritanya,

"Setelah berada tepat di belakang kerumunan itu, aku mencoba menerobos masuk melewati beberapa orang di depanku. Dengan susah payah, akhrinya aku berhasil melewati mereka. Di antara kerumunan itu, aku mendengar secara sepintas bahwa seseorang telah meninggal karena keracunan, tapi aku menghiraukannya. Kemudian aku membuka batas polisi itu dan betapa kagetnya saat petugas dari kepolisian menegurku karena ingin menerobos masuk. Tapi aku segera diizinkan masuk setelah ibu temanku itu mengetahui kedatanganku."

Misteri Kotak Impian - Oleh Fariz Edgar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang