t i g a

600 113 23
                                    





Matahari bertengger manis di tengah langit dan lonceng bergema ke seluruh penjuru Goryeo, menandakan bahwa sudah saatnya santap siang dimulai. Putera Mahkota Yoongi masih duduk di bangku perpustakaan kerajaan di mana ia dan tiga saudaranya itu baru saja menyelesaikan pelajaran yang dipandu oleh salah seorang menteri kerajaan.


Sudah berjam-jam mereka terkurung di ruangan ini dan tidak ada yang lebih menggiurkan dibanding melenyapkan diri dari ribuan buku yang terjaga di sini dan menghambur ke ruang makan. Sang koki istana selalu menyanggupkan apa saja yang mereka inginkan. Ingin steak dipadu saus ceri? Koki selalu siap dengan daging tersegar. Ingin sayur sup ala Rakyat Benteng? Koki akan menyajikannya dengan bahan terbaik namun dipadu dengan rasa yang memang merakyat.


(Seokjin ingin sekali berguru padanya dua puluh empat jam sehari, tapi tentu saja ayahnya akan mendumal panjang lebar jika ia tak berada di perpustakaan untuk belajar atau istal untuk berkuda.)


Yoongi bersandar pada kursinya dan menghela napas panjang, memijat area di tengah alisnya pelan. Sungguh ia lebih suka diskusi dengan Namjoon tentang apa yang dibahas oleh Tutor Istana dibanding harus mendengarnya beroceh soal apa makna kerajaan dan asal usulnya. Namjoon jauh lebih berwawasan dibanding Tutor Istana, lebih terbuka akan ide baru. Yoongi benci kekunoan semua tata krama istana. Menurutnya, jika itu hanya itu alasan mengapa ia tak diizinkan untuk pergi berkuda atau tidur sepanjang hari saat ia lelah, semua itu hanyalah sampah.


Seperti omongan Taehyung. Ya, mirip sedikit. Taehyung setidaknya memiliki suara yang enak didengar. Tutor Istana terdengar seperti kodok terhimpit saat marah. Lucu, memang.


Hah, rasanya ingin ia pergi jauh dan hidup sebagaimana yang ia mau: tenang dan damai. Rasanya kebahagiaan itu sederhana. Ia tak perlu harta berlimpah untuk hidup bahagia. Kebahagiaan hanya sesuatu yang sederhana dan mudah. Ia hanya ingin bebas seperti awan yang berayak terhembus angin pelan.


Awan.


Langit.


Biru.


Ia teringat biru.


Yoongi tahu biru. Biru itu cerah, cemerlang, cerdas. Ia tahu biru yang bersinar saat terkena cahaya, biru yang lembut saat tertutup bayangan rindang. Ia tahu biru....


"...Wan," ia berbisik di bawah nafasnya, halus layaknya doa.


Saat Wan memperkenalkan dirinya, Yoongi hanya bisa diam terpana. Apa yang harus ia lakukan saat makhluk yang paling memesona dirinya ternyata nyata? Suara duyung itu seperti alunan musik yang mengubah sanubarinya. Aksennya aneh dan sangat kuno, hampir seperti setiap suku kata adalah balokan kayu yang disusun menjadi satu bangun yang utuh.


"Nama? An... Anda. Nama?" Wan bertanya saat itu, matanya terbuka sedikit lebih lebar dengan kepala yang tertoleh sedikit, seakan ia baru pertama kalinya menanyakan hal itu. Seperti ia baru saja belajar berbicara dengan cara menyambung semua kata yang ia tahu.

L A G U N A   [myg + ssw]Where stories live. Discover now