Case 3: Masa Lalu

39 1 0
                                    


Maaf ya udah 2 bulan gak update
Soalnya author masih mencoba untuk mencari alur pas untuk cerita ini.
Oh, iya author juga update my sketch book loh.

Jangan lupa vomentnya ya👌🏻

Happy reading!!

。。。

  何で? Why?Okey,mungkin ini terdengar sedikit lebay. Mari kita jabarkan ulang. Mengapa ya? Aku selalu mendapatkan tugas dari kakek di saat sedang menikmati liburan. Eh. Ralat, bukan liburan juga sih. Buktinya aku masih tetap mendapatkan pekerjaan dari perusahaan ku sendiri.

  Kemarin aku baru saja mendapatkan pesan dari kakek melalui e- mail mama.

Dear my little detective blue ribbon,

こんにちは〜。Sarah 元気だったかしら。Mama hanya akan menyampaikan pesan dari kakek tentang'dendam masa lalu'. Kamu sudah tahu ini tugas,bukan? Informasi selengkapnya sudah mama kirimkan ke Elif dan Fatih.

Salam sayang dari mama.

  Aduh, kakekku tercinta bisa tidak ya. Memberi ku waktu berlibur barang satu,dua bulan? Dan tidak bisa kah mama memberikan informasi yang lebih spesifik? Kenapa harus melalui Fatih atau Elif dulu?

Wait, jangan - jangan, aku iri pada mereka? Tidak mungkin!

  Ehm, dendam masa lalu. Dendam masa lalu. Sepertinya aku ingat sesuatu di masa lalu.

。。。

  "Sakit. Tolong lepaskan!" Rintih seorang gadis kecil ketika rambut caramel nya yang panjang ditarik secara paksa oleh senior nya.

  "Heh, gitu aja sakit. Dasar cengeng. Tenang aja ini baru permulaan. Sil, ambilin gunting dong!" Perintahnya.

  "Jangan, tolong hentikan!" Teriak gadis kecil itu ketika melihat Sisil memberikan gunting kepada Nana seniornya.

  "Salah lo sendiri kecentilan banget sih jadi cewek. Sekarang nggak akan ada yang datang nolongin lo, [smirk]. Ucap Nana, sementara tangannya sibuk menggerakkan gunting.

Srek,srek,srek.

  "Hentikan,hiks hiks. Tolong jangan potong rambutku!" Tangis gadis kecil itu. Namun hal itu sama sekali tidak membuat Nana berhenti.

  "Coba lihat diri lo di cermin, cantik kan. Lo kayaknya lebih cocok model rambut bob deh karena mirip badut." Nana menarik gadis kecil itu ke arah cermin.

  "Hiks hiks hiks, kenapa kakak jahat sama aku. Aku salah apa? Huah."

Plak

  Tamparan mendarat di pipi gadis kecil itu. Ya, Nana yang menamparnya. Dia menampar gadis kecil yang tak bersalah itu.

  "Gue kan udah peringatkan, jangan nangis. Kalau lo nangis sekali lagi, gue akan tampar lo lagi." Ucapnya memperingatkan.

  "Bos, gimana kalau kita jadiin dia badut beneran."

  "Bagus juga ide mu Sil." Pujinya kepada  Sisil.

  "Step one kita dandani dia kayak badut, step two kita tumpahin dia tepung, step three baru deh kita pecahan telur diatas kepalanya sebagai finishing. Setuju nggak?" Tanya Nana kepada mereka semua.

  "Se-tuju bos." Jawab mereka patah-patah, karena tidak setuju dengan ide itu. Bagaimana pun juga mereka masih memiliki hati nurani.

  "Kok nggak semangat sih, ulangi!" Serunya kepada anak satu geng nya.

 
  "Setuju, bos!"

Nana menoleh ke arah gadis kecil itu. "Sini deh lo!" Menariknya mendekat.

"Sil, tugas pertama biar lo yang kerjain. Karena lo yang paling pandai make up disini." Nana menggerakkan tangannya menyuruh Sisil segera melakukan tugas darinya.

Dan dibalas anggukan oleh Sisil.

Saat tangan Sisil hendak mulai mendandani gadis itu, Nana berucap. "Dandani dia secantik mungkin sampai dia bahkan gak sanggup ngelihat mukanya sendiri di cermin."

"Dan kalian-" Nana menoleh kepada anak-anak lainnya. "Siapin telur dan tepung sekarang juga."

"Baik, bos!"

"Selesai." Ucap Sisil, berhasil membuat perhatian Nana teralihkan.

Nana menilai dandanan Sisil dari bawah sampai atas. "Hmm, lumayan juga hasil dandanan lo, Sil."

"Kalian cepat serahkan tepung dan telur." Senyuman jahat terukir di wajah Nana. "Biar gue yang finishing."


"Hee~, sekarang masih ada ya orang yang hobi ngebully di sekolah." Suara itu seketika membuat semua orang menoleh, termasuk Nana sendiri.

"Ini kira-kira kalau ku serahkan ke guru BP gimana ya?" Tangannya menggoyang-goyangkan HP nya di udara.

"Eh, tunggu dulu kayaknya lebih baik ku upload di medsos deh. Pasti akan jadi lebih menarik."

"Psst, gimana ini bos sepertinya Albert akan melaporkan kita." Sisil berbisik kepada Nana, namun suaranya terdengar jelas oleh semua orang di sana.

"Oke, hari gue akan biarkan lo pergi, but kalau ketemu lo lagi gue gak akan segan-segan." Nana mengibaskan rambutnya dan pergi dari toilet itu diikuti teman-temannya.

Albert mendekat dan bertanya. "Kau gak apa-apa?"

Gadis kecil itu mengangguk.

Albert yang paham akan situasi memutuskan untuk memberi gadis kecil itu waktu untuk menyendiri.

"Makasih." Lirih gadis itu.

Mendengar ucapan terima kasih darinya, Albert tersenyum dengan memamerkan sederetan gigi putih miliknya.

Dan dengan riang membalas. "Sama-sama."

。。。

"Sar..., Sarah!!!" Elif mengguncang bahu Sarah, mencoba menyadarkan ia dari lamunannya.

"Ah.., Elif. Sejak kapan kau disini?"

Elif menghembuskan napas berat, mungkin Sarah teringat masa lalunya. "10 menit yang lalu, kamu bahkan tidak membukakan pintu. Aku sampai terpaksa menggunakan kunci cadangan."

"Maaf." Lirihnya. Elif hanya tersenyum.

"Baiklah, sepertinya semuanya sudah berkumpul di sini." Mereka menoleh ternyata Fatih yang membuka suara.

"Emangnya kasus kali ini apa?" Albert bertanya.

Jari-jari Fatih bergerak lincah membuka sebuah folder yang ada di dalam Tab miliknya.

"Kasus kali ini adalah tragedi hilangnya lukisan Mona Lisa."

empat sekawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang