Petani Kecil

791 12 9
                                    


Aku Kembali, kembali memijakkan kedua kaki disini. Suasana yang sama, nyaman dan asri masih ku rasakan. Desa ini, desa yang menjadi Ibu kedua ku. Aku tumbuh disini, dengan sejuta kenangan yang aku alami. Aku sampai di Gapura desa terpencilku,  Memori otakku menembus masa kanak-kanak itu.

“Anto, kemari nak! Bantu Ibu!”, kata ibuku memanggilku.

“Iya Bu”, aku yang sedang bermain dengan Endah langsung berlari menemui Ibu.

“Apa yang harus ku kerjakan?”, tanyaku setelah sampai dihadapan Ibu.

Ibu menyuruhku membajak sawah, dengan satu-satunya Kerbau milik kami.

Dulu, aku sering melakukan ini bersama Bapak. Bapakku adalah seorang  petani, dia selalu mengajakku ke sawah untuk membajak atau memanen padi. Sebelum Tuhan mengambilnya dari Aku, Ibu dan Endah, adik kecilku.
Adikku berusia 1 tahun saat Bapak kami meninggalkan kami setahun yang lalu.

Perhatian yang seharusnya dia dapatkan dari Bapak seperti anak-anak pada umumya tidak bisa dia dapatkan lagi, sekarang dia hanya mendapat perhatian dari Ibu dan Aku sebagai kakaknya. Tapi, baik aku maupun ibu selalu mengusahakan agar dia tidak kekurangan perhatian, meski kami harus bekerja di Sawah peninggalan Bapak satu-satunya.

Menjelang Sore, seperti biasa kami pulang ke gubuk sederhana kami, dan pagi harinya aku berangkat sekolah sementara Ibu pergi ke Sawah bersama Endah, lalu Siangnya setelah pulang Sekolah, aku menyusul mereka ke Sawah.

Saat ini aku duduk di bangku kelas 5 SD di daerahku. Aku bukan murid dengan prestasi cemerlang namun bukan pula dengan prestasi yang memprihatinkan. Nilai ku selalu stabil, tidak tinggi tapi juga tidak rendah.

Suatu Malam, Ibuku demam. Suhu badannya panas sekali. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Untuk membawanya ke Rumah Sakit memerlukan biaya, sementara uang  kami menipis karena hasil panen beberapa bulan lalu yang tidak sesuai harapan, sehingga kami harus pandai-pandai  mengatur pengeluaran.
“Ibu sebaiknya tidur”, kataku pada Ibu yang enggan menutup matanya, sambil mengompres dengan air seadanya.

Ibu meraih kepalaku, mengelusnya dengan lembut, elusan Ibu selalu membuat aku dan Endah nyaman.

“Endah mana?”, tanyanya dengan lirih, karena suaranya mulai menghilang.

“Sudah tidur bu”, jawabku.

Aku memeluk Ibu, tak terasa beberapa menit sudah berlalu kemudian, aku mendengar nafas ibu yang mulai teratur. Aku bangkit,ku pandangi wajah ibu yang semakin menua. Kulitnya sudah mulai keriput, tapi Ibu masih saja terlihat cantik, ku selimuti Ibu dan menuju kamar Endah untuk menemaninya.

Pagi harinya, panasIbu belum turun. Terpaksa aku bolos sekolah untuk merawat Ibu hari ini dan menjaga Endah tentunya. Sebenarnya Ibu tidak mengizinkan, namun aku beralasan bahwa hari ini tidak ada Ulangan, dan soal pelajaran aku bisa bertanya kepada temanku.

Uhukk... Uhukk…

“Bu, sebaiknya kita ke Puskesmas”, ucapku yang mulai tidak kuasa melihat ibu yang terbatuk-batuk.

“Sudahlah, ini hanya Batuk biasa. Besok juga sembuh sendiri”, kata Ibuku.
Biarkan Ibu berusaha mengatakan bahwa dia baik-baik saja, tetap aku tak bisa tenang. Kemarin demam dan sekarang demam disertai batuk.

Siang hari, aku dan Endah pergi ke sawah untuk menjaga tanaman Padi kami. Sebentar lagi kami akan Panen, dari hasil panen aku bisa membawa Ibu ke Puskesmas ataupun Rumah Sakit.

Kami mempunyai dua petak Sawah, satu petak sebentar lagi akan panen, sementara satu petak lainnya baru akan aku  tanami benih padi.
Malam hari Ibu batuk terus-menerus, aku semakin was-was dan khawatir dengan keadaan Ibu. Aku memutar otak, bagaimana agar ibu bisa dibawa ke Rumah Sakit malam ini juga, sementara kami tidak ada uang. Aku berniat meminjam Uang pada tetangga kami, Bu Kasim. Tetapi beliau baru saja mendapat musibah anaknya kecelakaan di Kota. Kalau begitu besok aku harus mencari cara agar mendapatkan uang.

Pagi ini sesuai rencanaku semalam, aku akan mencari pekerjaan. Aku bertanya pada sebagian orang di Pasar, tetapi mereka merendahkan ku dan menyuruhku untuk pulang, bahkan ada yang ragu karena aku masih terlalu belia untuk bekerja.

Aku pulang dengan tangan kosong. Mungkin menunggu waktu panen adalah hal yang terbaik, Lagi pula, sebentar lagi juga musim panen, tapi apakah ibu bisa bertahan sampai waktu itu tiba.

Seminggu kemudian, musim panen telah tiba. Aku sesegera mungkin menjual hasil panen ke pasar. Meski untungnya tak seberapa karena aku membutuhkan uang itu segera untuk membawa Ibu berobat.

Sesampainya aku dirumah, aku mebawa ibu ke Puskesmas terdekat, di bantu tetangga kami, Bu Kasim. Kami menuju Puskesmas dengan berjalan, karena kendaraan yang jarang masuk desa terpencilku. Di perjalanan menuju Puskesmas kondisi Ibu semakin memburuk. Hal itu mengingatkanku pada sosok Bapak.

“Ya Tuhan, aku mohon jangan ambil Ibuku”, doa ku dalam Hati menahan air mata agar tidak keluar.

Ibu semakin melemah,

“Jaga adik kamu, jangan nakal”, kata Ibu sambil tersenyum padaku.

Aku dan Endah langsung memeluk Ibu, namun sesaat kemudia aku menyadari Ibu sudah menutup matanya. Jantungnya tak lagi berdetak.

“Ibu”, Kataku lirih. Air mataku tak lagi dapat aku tahan.

Bu Kasim dan Endah sudah menangis meraung-raung. Adik kecilku tidak seberuntung aku yang bisa mendapat kasih sayang kedua orang tua kami sampai usiaku saat ini. Di usianya yang masih balita dia sudah menjadi yatim piatu.

Beberapa bulan kemudian, aku tetap menjadi seorang petani. Hidup dengan Adik kecilku, dan merelakan kepergian orang tua kami. Hingga aku lulus SMA dan merantau ke Jakarta, karena ada tawaran kerjasama dari Bos anaknya Bu Kasim. Di Jakarta aku  hanya menjual hasil panen dari desa, setelah itu aku kembali lagi ke desa.

Lama kelamaan hal itu selalu ku tekuni, hingga sampai sekarang ini aku mempunyai banyak sawah, pegawaiku bukan hanya satu atau dua.

Aku tersenyum ketika melihat anak berusia sekitar 10 tahun yang membatu Ibunya di Sawah. Mata dan Cara dia tersenyum mengingatkanku pada diriku waktu kecil yang menjadi seorang Petani. Dia Putraku, Si Petani Kecil.

~Tamat~

CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang