Halilintar POV
.
.
Kosong. Itu yang kurasakan sejak beberapa menit yang lalu. Sejak mataku dengan kurang ajarnya menyaksikan kejadian yang sama sekali tidak ingin kulihat. Sebuah sandiwara pengkhianatan, kebohongan, pembodohan. Dan aku merasa tak lebih baik dari pecundang.
Berjalan di trotoar kota dengan rasa hampa sehampa mayat hidup yang jiwanya sudah mati. Gelap. Tanpa warna. Mengubah seluruh kenangan berharagaku bersama Yaya menjadi sepercuma sampah. Aku tidak tahu kemana tujuanku, tapi aku sama sekali tidak protes ketika langkah kaki membawaku pergi dari tempat terkutuk itu, kalau bisa sejauh-jauhnya.
Lima agustus. Hari ini adalah hari Halilintar patah hati untuk pertama kalinya. Dan hentikan pikiran bodohmu yang menyangka aku depresi. Aku sama sekali tidak akan kalah. Aku tidak akan menangis. Harga diriku terlalu tinggi untuk ditukar dengan setetes air mata. Sekalipun aku sangat terpukul, haram bagiku untuk berlarut-larut meratapi sebuah kisah cinta.
Aku menghentikan langkah tepat ketika kakiku menyentuh kaki lampu jalan di trotoar. Orang-orang berlalu lalang begitu saja layaknya manusia yang tak tercipta dengan hati. Angin senja berhembus menyentuh leherku yang telanjang, seolah menertawakan diriku dalam sebuah bisikan jahat. Dan aku hanya bisa menatap langit yang perlahan berubah warna menjadi jingga. Tidakkah ia kasihan padaku? Tidakkah ia berniat menyiramku dengan ribuan tetes air milik-Nya supaya aku tak perlu lagi mempertahankan harga diriku?
Idiot. Menjijikkan. Rasanya ingin sekali aku menertawakan diriku yang benar-benar menyedihkan. Bagaimana aku bisa mengemis kepada langit seperti itu? Bagaimana bisa aku bersikap cengeng dan melupakan jati diriku hanya karena aku benar-benar terluka?
Tapi, bukankah aku juga manusia biasa? Bukankah aku juga memiliki hati yang diciptakan bersamaku ketika aku menjejak bumi? Bukankah wajar bagi manusia untuk menangis di kala sedih? Jadi, kenapa aku harus begitu keras pada diriku sendiri yang bahkan untuk meminta penjelasan saja, aku memilih pergi?
Barangkali semua kenyataan itu terlalu menyakitkan sehingga aku tak sanggup bertahan. Sudah jelas. Aku sudah kalah. Aku termakan dengan pikiran delusionalku sendiri. Semua pikiranku tentang Yaya hanya tercipta di pikiranku sendiri. Aku yang merasa tatapan Yaya berbeda ketika melihatku. Aku yang merasa semua tingkah laku Yaya padaku begitu spesial. Aku yang merasa bahwa telah terjadi sesuatu dalam kedekatan kita. Semua perasaanku pada Yaya telah membuatku buta sepenuhnya dengan kenyataan.
Aku menganggapnya sebuah gesture yang lebih hanya karena aku menginginkan hubungan yang lebih dari teman. Kepribadian Yaya yang kupikir cocok dengan kepribadian milikku, membuat kepercayaan diriku meningkat dan menyimpulkannya sebagai alasan mengapa aku menyukainya.
Aku bodoh karena aku tak bisa melihat lebih jelas. Aku bodoh karena tak menyadari lebih cepat apa arti kata-kata kiasan Taufan selama ini. Aku bodoh karena aku terlalu buta dengan perasaanku sehingga aku tak bisa mencerna mengapa selama ini Taufan selalu berusaha membuatku mati gaya di depan Yaya. Berusaha membuatku dan Yaya semakin jauh, dan bersikap sebagai mak comblang untukku dan Ying.
Ah sial! Kenapa bisa aku setolol ini?!
"Hali!" Sebuah suara yang sangat aku kenal datang dari belakang punggungku. "Tunggu aku!"
Aku memutar mata. Bertemu dengan Ying sekarang, bukanlah waktu yang tepat. Aku bisa tahu gadis itu sedang berlari dari heel yang menghentak-hentak keras jalanan aspal. Mau apa gadis dungu itu disini? Menertawakanku setelah melihat betapa menyedihkannya aku yang harus tersingkirkan dalam kisah cintaku sendiri?
YOU ARE READING
Unexpected!
RomanceSaat pindahan rumah, Halilintar bertemu Ying kembali. Seorang gadis yang selalu bisa menyulut emosinya setiap mereka bertemu. Tapi, pertemuan mereka justru menghadirkan sebuah alur yang sama sekali tidak diinginkan, baik oleh Halilintar maupun Ying...