0.

18 1 0
                                    

please kindly listen to the media while you reading this

***

Yogyakarta, 2022

Angin berhembus melalui jendela mobil angkutan umum yang terbuka dan mengacak-acak rambut ikal sebahu milik gadis itu. Terik matahari menerpa langsung wajahnya, menyisakan rona merah padam di kedua pipinya. Namun sang gadis tetap bergeming tanpa ada niatan untuk menutup jendela.

Angkutan umum masih melaju, tidak terlalu cepat juga tidak terlalu lambat. Membuat gadis itu betah mengamati penjuru kota dengan saksama. Sesekali ia memicingkan mata akibat sinar matahari yang terlalu silau.

Taman dan perpustakaan kota itu,
sekolah itu,
toserba itu,
satu demi persatu potongan peristiwa di tempat-tempat tersebut menyeruak keluar memenuhi benaknya seperti rangkaian roll film yang berputar cepat.
Kota yang ditinggalkannya selama lima tahun itu telah banyak berubah. Namun hal-hal terbaik dan terburuk yang telah ia lalui di sana selamanya tidak akan pernah berubah.

Padahal, dulu ia sangat membenci kota ini.
Padahal, dulu ini adalah mimpi terburuknya.
Dan sekarang kota ini menjadi hal yang paling ia nanti untuk dapat secepatnya kembali.

Riuh perbincangan penumpang lain membuat perhatian gadis yang duduk di pojok kanan belakang dekat jendela itu teralih pada mereka. Hampir semua penumpang wanita sibuk mengipasi dirinya sendiri akibat gerah. Sang supir juga sibuk menyeka butir-butir keringat di wajah dengan sehelai handuk kecil. Cuaca di Yogyakarta menurut pemberitaan memang sedang panas-panasnya. Mengenakan setelan kemeja putih dibalut cardingan denim dan rok lipit hitam sebawah lutut dengan ransel menempel di punggung, gadis itu menghiraukan hawa gerah yang ia turut rasakan.

Kemudian matanya beralih pada seorang wanita paruh baya di dekat pintu telah bersiap untuk turun bersamaan dengan melambatnya laju roda hingga akhirnya berhenti. Sang gadis mengamati dengan jeli suasana luar selagi supir memberi kembalian uang pada wanita tadi. Tidak asing lagi. Sedikit lagi ia sampai pada tujuannya.

"Kiri Pak!"

Belum ada seratus meter dari pemberhentian wanita paruh baya tadi, angkutan tersebut kembali berhenti. Kali ini posisinya di depan sebuah gang yang kira-kira cukup dilewati oleh satu mobil dan satu sepeda motor jika secara bersamaan. Sembari menapakkan kaki ke pinggiran aspal, ia mengucapkan terima kasih dan membayar ongkos pada sang supir.

Mobil angkutan umum telah pergi jauh meninggalkan gadis yang kini tengah berdiri selama sepuluh detik di depan gang itu. Tidak ada perubahan, hanya warna cat yang berganti. Gambaran dirinya sewaktu pertama kali memasuki gang itu muncul.

Tersenyum, sang gadis mulai melangkahkan kaki menyusuri jalan beraspal di dalam gang itu. Ia senang mengetahui dirinya pernah mengalami masa berat dan justru itulah yang membawa langkah kakinya ke sini.

Tak lama, langkah kakinya terhenti di depan sebuah rumah berdinding putih kusam akibat debu. Pintu rumahnya terbuka lebar, namun bagian dalamnya terlalu gelap sehingga tidak terlihat. Membuat gadis itu ragu-ragu.

"Lho, Luna?"

Gadis itu menoleh. Melihat lelaki bertubuh tinggi mengenakan kaus oblong, celana bahan panjang, dan kacamata yang sangat familiar, ia tersenyum lebar. Terlebih ketika melihat ke bawah—pria itu menggandeng anak perempuan kecil.

"Om Rizal!" seru sang gadis yang kemudian berjalan mendekat dan berjongkok di depan anak kecil itu. "Ini pasti Chila!"

"Iya, halo Tante Luna, namaku Chila! Aku princess-nya Papa Rizal!" sahut pria itu dengan suara yang dibuat imut kemudian diikuti gelak tawa dan seruan cringe dari Luna.

"Aku nyaris lupa kalo tempatnya di sini Om. Abis plang Taman Bacaan 'Space'-nya udah nggak ada," Luna bangkit berdiri.

"Iya, plang 'Space' tiang besinya udah keropos parah. Daripada nanti jadi masalah kalo ambruk ke jalan kan, dicopot sekalian," terang Om Rizal. Luna hanya ber-oh panjang seraya manggut-manggut. Gadis itu kembali mengamati seluruh sudut rumah di depannya.

"Kamu tuh dari SMP sampe sekarang nggak ada beda ya, tetep pendek. Tadi dari jauh keliatan banget kalo ini Luna,"

"Jahat banget!" gerutu Luna diikuti tawa pria itu.

"Ya udah masuk yuk, udah ada Eona, Dhan, Alwin, sama Inna di dalem. Lagi pada bantuin Mamanya Chila bikin makanan,"

"Waaa aku juga mau bantu!" seru gadis itu riang sembari melepas sepatu sneakers-nya cepat-cepat, ingin bergegas masuk dan menemui mereka semua. Om Rizal dan Chila telah mendahuluinya masuk.

Sebelum benar-benar melewati pintu untuk masuk, Luna mendengar suara derap langkah kaki tergesa. Siapa lagi yang akan datang di acara reuni mereka ini? Ia penasaran.

Baru saja Luna membalikkan badan, tubuhnya segera mematung ketika mendapati sosok lelaki yang berdiri di hadapannya.

Lelaki itu.
Hadirnya bak fajar menepis sisa gelap malam.
Yang selalu ia tunggu untuk terbit dan berharap untuk tidak pernah terbenam.
Yang dengan sinar hangatnya membuat bermimpi terasa lebih mudah.
Yang saat ini juga sedang tertegun melihat keberadaan gadis itu.

Lengkap sudah seluruh potongan cerita mereka semua.

***

Thanks for reading this first chapter!💖
Please always feel free to comment and give suggestions because your comment is important to me to improve my writing🙏
I hope you'll like it!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 30, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SpaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang