Mereka pun pergi ke sekolah untuk mengambil tas Kaori.
“Wah! Gelap sekali! Seramnya!” Ujar Kaori.
“Merepotkan saja, meninggalkan tasmu di sekolah.” Ucap Arima.Ketika sampai di ruang kelas.
“Tasmu mana?” Tanya Arima.
“Apa disebelah situ ya? Tidak, apa disebelah situ ya.” Jawab Kaori dengan wajah kebingungan.
“Kau berbohong! Kau berbohong padaku!” Ucap Arima.
“Tasku tidak di sekolah.” Jawab Kaori.
“Kalau dipikir-pikir tadi siang dia tak membawa tas juga.” Ucap Arima dalam hati.
“Hari ini kau masuk sekolah, kan?” Tanya Arima.
“Untuk hari ini saja mereka membiarkanku keluar. Maaf. Apa pun yang terjadi, aku ingin ke sini. Karena aku mulai melupakannya.” Jawab Kaori.
“Aku yang seharusnya minta maaf. Seharusnya kau bersama Watari, bukan pengganti sepertiku. Padahal hanya hari ini kau dibolehkan keluar.” Ucap Arima.
“Apa kau akan lupa, pada gadis yang diam-diam keluar rumah sakit dan menunggumu. Apa kau akan lupa padanya?” Jawab Kaori.
“Aku takkan lupa. Sampai mati pun, aku takkan lupa.” Ucap Arima.
“Iya, syukurlah aku bersamamu.” Jawab Kaori dengan tubuh yang hampir jatuh.
“Apa kau baik-baik saja?” Tanya Arima sambil menahan tubuh Kaori yang hampir jatuh.
“Aku hanya sedikit kelelahan.” Jawab Kaori.Kemudian Arima mengantarkan Kaori ke rumah sakit menggunakan sepedanya.
“Seharusnya tidak boleh berboncengan menggunakan sepeda sekolah.” Ucap Kaori.
“Kalau ketahuan, kita akan dapat masalah.” Jawab Arima.
“Ini bukanlah hari yang tak berarti. Aku harap waktu berhenti saja, ini hari yang indah. Terima kasih. Menemaniku belanja, mengitari sekolah di malam hari, diantar pulang oleh lelaki, bintang pun terlihat berkelap-kelip.” Ucap Kaori lalu mengeluarkan air mata.
“Apa karena dingin ya? Kata-katamu terasa hangat. Rasanya kau seperti semakin dekat saja denganku. Mau jadi pengganti Watari atau apa pun itu tak masalah. Aku ingin selamanya seperti ini. Aku tak bisa tanya kenapa dia menangis.” Ucap Arima dalam hati.Ketika sampai di ruangan Kaori.
“Aku hanya ingin mengatakan. Aku tak cukup baik untuk menutupinya.” Ucap Kaori sambil duduk di kasurnya
“Ini bohong. Ini bohong.” Ucap Arima sambil membayangkan yang ia lihat sama seperti ibunya.
“Maaf ya. Aku membuatmu mengingat hal yang tak ingin kau ingat. Kalau begini, lebih baik kita tak usah pernah betemu.” Ucap Kaori.Keesokan harinya ketika Arima keluar dari kelas.
“Aku mau menjenguk Kaori di rumah sakit. Ikutlah denganku.” Ucap Watari.
“Aku tidak ikut.” Jawab Arima.
“Tak perlu memikirkan kami. Ikutlah saja.” Ucap Watari.
“Sudah kubilang aku tak ikut!” Jawab Arima.
“Kau kenapa sih? Padahal Kaori sudah banyak melakukan hal untukmu. Kenapa kau menghindarinya?” Tanya Watari.
“Watari, apa yang harus kulakukan? Aku tak bisa mengatakan apa-apa. Harus bersikap apa saat aku menemuinya?” Tanya Arima sambil menahan tangis.
“Ini hanya pendapatku, tapi kurasa kau memang harus menemui Kaori. Kalau aku yang dibutuhkannya, akan kulakukan apa saja. Jika itu untuk gadis yang kusukai, meminum air lumpur pun akan kulakukan. Tapi, kurasa yang dibutuhkan Kaori bukanlah aku. Orang yang dia butuhkan itu adalah kau Arima.” Jawab Watari.Lalu Arima sendiri yang menjenguk Kaori, dan sampai ke rumah sakit dan ke ruangan Kaori.
“Kukira kau takkan datang lagi.” Ucap Kaori.
“Karena aku sudah janji akan membawakan kue caneles.” Jawab Arima sambil menyerahkan kue caneles.
“Semuanya sehat-sehat saja, kan?” Tanya Kaori
“Yah, begitulah.” Jawab Arima.
“Aku tak tahu apa yang akan kukatakan.” Ucap Arima.
“Kembali seperti dulu saja. Kau cukup melupakan segalanya, sama seperti menekan tombol reset. Tap tap gitu. Kalau begitu, hatimu akan bebas. Tak ada artinya kau mengingatku. Apalagi mengingat violinis yang tak bisa memegang busurnya lagi. Itu tak ada artinya.” Jawab Kaori dengan mata berkaca-kaca.
“Kenapa.. kenapa kau mengatakan hal seperti itu? Setelah berteriak dan memukulku berulang kali. Setelah memaksaku untuk naik ke atas panggung lagi. Setelah membuat kenangan bersama yang tak ingin kulupakan.” Ucap Arima dalam hati.
“Kau tak bertanggung jawab!” Ucap Arima sambil memakan kue canelesnya.
“Kenapa kau makan kuenya! Aku sudah memintanya, kan.” Ucap Kaori dengan marahnya.
“Tapi aku yang membawanya. Aku tak kenal orang sepertimu!” Ucap Arima sambil memakan kuenya dan keluar dari ruangan Kaori.
“Tunggu. Kau sungguh orang yang aneh.” Ucap Kaori sambil tertawa.Setelah keluar dari rumah sakit.
“Menyebalkan, menyebalkan, tapi ini tetap menyedihkan. Padahal kau sudah banyak melakukan hal untukku. Apa tak ada yang bisa kulakukan padamu?” Ucap Arima dalam hati.
Lalu Arima terus latihan piano untuk mengekspresikan kesedihan dia dan kekesalan dia. Setelah berhari-hari ia pun sudah dapat mendengar suara dari suara pianonya tersebut. Ia bermain dengan begitu indahnya dan ada satu juri pun yang mengundang Arima untuk bersekolah musik di luar negeri nantinya. Ia pun menolak tawaran tersebut, karena masih ada sahabatnya dan dia sudah berjanji kalau Kaori nanti sudah sembuh ia akan bermain bersama lagi. Saat di ruang dokter Kaori ingin meminta untuk dioperasi. Walaupun kemungkinannya kecil.
“Saya ingin melakukan operasi. Meskipun itu hanya memberiku sedikit tambahan waktu, meskipun hanya ada sedikit harapan, saya rela untuk melakukan apa saja. Saya bertemu dengan seorang anak laki-laki di bulan April. Dia menangis, marah dan berusaha sangat keras, tapi di atas panggung, dia bersinar seperti bintang, dan hidupnya seperti melody yang indah. Saya sudah berjanji akan bermain musik dengannya. Karena itulah saya juga ingin berjuang sekeras mungkin. Meskipun ini hanya sia-sia dan tak berarti, saya akan berjuang, berjuang dan berjuang lebih keras lagi! Jika aku terus menyerah. Saya takkan bisa melihat wajah orang tua saya yang sudah melahirkan dan membesarkan saya. Karena ini adalah hidupku. Jika saya menyerah sekarang, saya ini menyedihkan sekali.” Ucap Kaori sambil meneteskan air mata
Dan Kaori ingin Arima menjenguknya setiap hari. Lalu Arima pun pergi ke rumah sakit.
“Dia tidak ada.” Ucap Arima dan melihat kamar Kaori yang kosong.
“Apa-apaan sih dia. Padahal dia yang menyuruhku untuk menjenguk setiap hari. Mungkinkah kondisinya memburuk.” Ucap Arima sambil berjalan keluar rumah sakit.
“Kau kan Arima!” Ujar Ayah Kaori.
“Ayah dan Ibunya Kaori, lama tak bertemu.” Ucap Arima.
“Apa kamu menjenguk Kaori?” Tanya Ayah Kaori.
“Iya, tapi aku tak menemukannya di mana-mana.” Jawab Arima.Lalu mereka pergi ke ruang rehabilitas.
“Ini semua berkatmu, Arima. Kaori yang sudah menyerah dan menjadi malas, sekarang mulai berjalan lagi. Selangkah demi selangkah” Ucap Ibu Kaori sambil melihat Kaori yang berusaha sedang berjalan.
“Aku tak melakukan apapun.” Jawab Arima.
“Iya benar. Yang kamu lakukan hanyalah berjuang sekeras mungkin. Dan perjuangan yang sudah kamu perlihatkan, telah menggetarkan hati Kaori. Karena perjuangan yang kau perlihatkan, Kamu telah memberikan warna pada hati Kaori yang abu-abu, jadi terima kasih Arima.” Ucap Ayah Kaori.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shigatsu Wa Kimi No Uso
General FictionCerita ini diadopsi dari anime yah guys, tetap pada alur yang ada pada anime, namun ada adegan yang tidak ditulis disini. karena banyak banget jadi capek. Selamat Membaca, semoga suka, Referensi by google