1

2 1 0
                                    


"Siapakah dia, bermata anggun berwarna biru seperti samudra yang dalam dan luas? Berkulit putih seperti hamparan pasir di pantai?"

Frenda Winteright Johannson. Itulah nama lengkapku. Sebenarnya belum ditambah dengan nama lainnya yang akan menjadikan namaku panjang sekali dan sulit untuk disebutkan. Tetapi, kurasa cukuplah orang lain mengetahui aku sebagai Frenda Winteright Johannson. Aku lahir di malam musim dingin yang benar-benar dingin pada tahun 1995. Karenanya, aku dinamakan 'Winteright', singkatan dari 'Winter' dan 'Night'. Setidaknya begitu kata ibuku saat aku berumur 5 tahun. Tidak sedikit orang yang salah mengira bahwa nama 'Winteright' adalah nama belakangku. Padahal, sudah jelas nama belakangku turun dari ayahku, 'Johannson'.

Aku tinggal di sebuah mansion kepunyaan orangtuaku. Mansion ini sungguh besar! Namun, aku tinggal di mansion ini sendirian, tanpa orangtuaku. Sendirian, maksudku bersama dengan para Maid dan Butler yang selalu mengurus mansion ini sedari dulu. Aku tidak memiliki saudara kandung, hanya saja sepupuku banyak. Tetapi, sepupuku tinggal sangat jauh dari kota di mana aku tinggal. Maka dari itu, setiap adanya kedatangan mereka, mansion ini harus disiapkan dengan baik dan aku harus menyambut kedatangan mereka, sendirian.

Sekarang aku berumur 15 tahun. Usia yang kurasa cukup umum untuk menginjak tingkat Segnor. Banyak orang berkata bahwa umurku terlalu tua untuk tahun ini, tetapi terlalu muda untuk tahun sebelumnya. Aku tidak peduli, apalah artinya umur? Aku mampu lulus tingkat Jugnor dengan hasil yang memuaskan dan sekarang aku masih dapat diterima di Yayasan Vandoe. Sebenarnya, Yayasan Vandoe ini adalah institusi pendidikan terkemuka, terfavorit, dan 'ter' lainnya. Jadi, aku tetap bersyukur walau umurku tanggung seperti ini, aku masih bisa mengikuti pelajaran dengan baik.

Di hari-hari terakhir aku berlibur kenaikan jenjang, aku memikirkan senangnya dan bangganya bersekolah di tingkat Segnor. Seragamnya jauh lebih gagah daripada seragam tingkat Jugnor. Aku membuka lemari gantung pakaianku. Melihat seragam Segnor yang sudah kubeli beberapa minggu yang lalu. Kemudian, mengeluarkan seragam beserta lencananya. Aku melepaskan pakaian yang sedang kukenakan, kemudian mulai memakai seragam itu. Aku mengenakan kemeja putih berlengan pendek, rok berlipat-lipat dan menggantung di atas lutut, rompi berkancing 3, dan jas dengan emblem Yayasan Vandoe pada saku dadanya. Semuanya berwarna biru gelap. Ditambah dengan dasi seperti pita yang berwarna merah. Lencana perisai Yayasan Vandoe kusematkan di kerah kemejaku bagian kanan. Terakhir, aku mengenakan kaus kaki putih sepanjang tulang kering dan sepatu hitam seperti pantofel (sepatunya memiliki sol dan selalu berbunyi seberapapun besarnya usahaku untuk berjalan mengendap-endap).

Sebenarnya, ada pula aksesoris yang tidak wajib digunakan. Ada ikat rambut dan bando berwarna merah biru seperti warna dominan pada seragam. Aku mencoba memakai bando tersebut, kemudian melihat diriku sendiri di cermin.

Aku berdeham.

"Halo! Namaku Frenda. Aku 16 tahun. Salam kenal!"
Tidak, itu terlalu klise.
"Hei! Aku Frenda. Salam kenal!"
Hah?
"Oh, iya. Frenda."
Hahaha! Ayolah, itu terlalu dingin.

Ditengah merasakan gagahnya aku memakai seragam tingkat Segnor, seseorang mengetuk pintu kamarku dan terdengarlah suara dari luar.
"Miss Frenda, makan malam sudah siap."
Arthur.
"Oh, baiklah Arthur, terima kasih."

Oh iya, dia adalah Arthur. Dia adalah salah satu Butler yang sangat setia, karena dia sudah bekerja untuk mansion ini sedari aku lahir.

Aku mengganti pakaianku lagi, karena pasti Arthur akan marah padaku. "Frenda, ini kan seragam untuk nanti sekolah. Masa kamu pakai sekarang, di rumah ini?". Selalu seperti itu. Apakah dia tidak tahu banggaku memakai seragam ini?

Aku sangat kaget ketika Arthur sudah berada di dalam kamarku. Aneh sekali, aku tidak mendengar pintu terbuka. Dia memang sangat lincah dan mahir dalam segala hal. Tunggu..

Aku sekarang hanya menggunakan satu set dalaman pink.

"Arthur!" pekikku sembari langsung menutupi diriku dengan selimut.
"Lama sekali kamu, Frenda," katanya dengan nada mengejek.
"Yah, maafkan aku, aku-"
Belum sempat menyelesaikan kalimatku, dia sudah mengganti mimik wajahnya ketika melihat seragamku masih tergeletak di kursi panjang dekat kasurku.
"Jadi, ini yang dinamakan kesibukan?" tanyanya.

Aku menelan ludah.

Dia mendekatiku dengan wajahnya yang (pada saat ini) menyeramkan untuk dilihat. Aku hanya bisa menutup mataku erat-erat dan berlindung dengan menggunakan selimut seperti perisaiku. Aku kira dia akan menjitak kepalaku seperti biasa. Kali ini tidak.

"Frenda," dia memanggil sembari berusaha menyingkirkan selimut yang menutupi wajahku agar bisa terlihat.
Aku menurunkan selimutku. Aku melihat mimik wajahnya yang kembali berubah, seperti seorang ayah: menenangkan hati, memberikan perlindungan, merasa aman.

"Frenda, aku tahu kamu sangat senang sekarang sekolah di tingkat Segnor. Tapi sebentar lagi kan masuk sekolah, aku tidak mau seragamnya kotor," jelasnya. Dia memegang tanganku. Aku hanya bisa mengangguk.

Dia berdiri dan meninggalkan ruanganku. Ketika berada di pintu, dia berkata, "Cepat, Miss Frenda, makanannya akan menjadi dingin."

Memang, ketika hanya ada kami berdua, kami melepaskan aturan formal, dan aku menerima itu. Tetapi, dengan perasaan heran, aku berganti pakaian dan meninggalkan ruanganku, menuju ruang makan.

Big Love, Can't ChooseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang