2

1 1 0
                                    

"Frenda Winteright Johannson. Nama yang indah. Frenda dari keluarga Johannson generasi ke-5 yang lahir di malam musim dingin."

Insomnia membuatku harus melangkahkan kaki dari kamarku menuju dapur. Beruntunglah kamarku tidak terlalu jauh dari dapur. Di jam 2 dini hari ini, aku membuat susu coklat panas dan mencari beberapa biskuit. Sekolahku dimulai esok hari, bukan 5 jam lagi.
Ya Tuhan, bagaimana aku bisa tidur kalau pikiranku tidak bisa berhenti memikirkan segala hal di tingkat Segnor?

"Tidak bisa tidur?"
"Iya, aku terlalu bersemangat dan tidak bisa membuat diam pikiranku akan tingkat Segnor."
"Boleh bergabung?"
Tidak kujawab pun, dia akan duduk.

Memang benar.

"Hei," sapanya.
Aku hanya tersenyum. Terdengar suara hembusan nafas yang berat, seperti kelelahan sepanjang hari.
"Kenapa?" tanyaku.
"Bukan pikiran berat."
"Jawablah," pintaku.

Akhirnya dia berbicara, "Kau tahu, Frenda, aku agak sedikit tidak enak untuk berpura-pura menjadi formal saat kita tidak berdua seperti sekarang ini."
Aku langsung teringat akan kejadian 2 hari yang lalu. "Ah, iya, maafkan. Waktu itu aku-"
Seperti peramal, dia langsung memotong pembicaraan, "Nggak apa-apa, lagian aku juga nggak terlalu tertarik sama badanmu. Jadi, nggak usah khawatir," sembari tertawa.

Mungkin wajahku merah saat ini, aku tidak tahu. Aku marah manja padanya. Aku mencubit lengannya, kemudian dia mengerang kesakitan, namun tetap tertawa.

"Iya, iya, maafkan," katanya. Dia mendekapku dalam pelukannya. Hebat sekali, amarahku langsung teredam. Dia memang pantas merangkap menjadi, ayah, kakak.

Pacar?

Aku juga memeluknya, kemudian menghembuskan nafas seperti yang dia lakukan sebelumnya. Dia membelai kepalaku, dan rasanya memang menenangkan.

"Sudah, apalagi sih yang kamu pikirin?"
"Ga ada."
"Bagus. Cepat habiskan susu dan kuenya."
"Iya."

Setelah susu dan kuenya habis, gelas dan piringnya aku taruh pada bak cuci. Ketika aku berniat untuk menyalakan keran air, dia datang dari arah belakang, mengambil tanganku dan berbisik, "Sudah malam, Fren, jangan main air."
Aku sudah setengah sadar karena susu coklat panas itu membuatku mengantuk sekali. Susu coklat panas memang efektif menurunkan brainwave otakku dari Beta menuju Alpha. Hebat.
Dia mengangkat tubuhku dan menggendongku, membawaku ke kamarku dan menempatkan diriku di atas kasur. Menyelimutiku, mematikan lampu kamar dan menutup pintu.

"Andai kau tahu, Frenda."

*****

Aku bangun dan mendapati diriku terbangun diatas tempat tidurku. Aneh, rasanya semalam aku berada di dapur dan berbicara dengan Arthur. Kurasa tidak mungkin Arthur dengan beraninya berlaku seperti itu kepadaku. Ya, walaupun sebenarnya kami diam-diam melepaskan diri kami dari formalitas di belakang umum. Namun, tetap saja. Kau tahu, kan, risih?

Para Maid mengeluarkan seragamku untuk dirapikan dan disiapkan agar esok hari aku telah siap dengan segala hal secara mendetail. Marie-lah yang mengatur semuanya.

"Cepat licinkan seragamnya, jangan ada kerut sedikitpun."

Marie sangat sigap dalam segala hal. Dia sangat terampil dan cekatan. Aku tidak tahu apakah dia lebih tua daripada ibuku atau tidak. Namun, aku tahu dia memiliki seorang anak laki-laki yang masih bersekolah di tingkat Primore. Jelas terlihat dia selalu menampakkan rasa keibuannya, kepadaku, kepada Maid yang lain, kepada semuanya.

Di malam hari, aku mengetuk pintu kamarnya, karena aku ingin berbicara dengannya.

"Marie, apakah kau ada waktu?" berharap ada jawaban.
"Miss Frenda? Ada apa? Mengapa miss belum tidur?"
Seperti kataku tadi, Marie sangat cekatan.
"Ah, tidak perlu menggunakan sandangan itu, lagi pula ini sudah malam. Aku tidak keberatan."
"Baiklah, ada apa Frenda?"
"Apakah aku boleh masuk ke ruanganmu?"
"Suatu kehormatan."

Aku duduk di kursi dan melihatnya duduk di kasurnya yang lebih rendah. Sungguh sangat canggung, maka aku ikut duduk di dekatnya.

"Aku tidak bisa tidur. Entah karena terlalu bersemangat akan esok hari, atau karena ketakutan, rasa penasaran? Aku tidak tahu."
"Apa yang kamu takutkan? Apa yang membuatmu merasa penasaran?"

"Aku teringat akan segala kejadian yang pernah terjadi di jenjang sebelumnya, dan aku takut itu akan terjadi lagi dalam bentuk yang lain di tingkat Segnor ini."
Ya, setidaknya itulah yang ingin aku katakan. Tetapi, 'memori' tersebut sangat menyakitkan, membuatku ingin mengurungkan diri setiap kali mengingat kejadian itu. Seperti saat itu. Hanyalah Arthur dan sesekali Marie yang menemaniku. Aku tidak berkontak dengan yang lain.

Lamunanku buyar ketika Marie mulai berbicara.
"Frenda, Frenda. Anak yang manis. Tidak ada yang perlu kamu takutkan, dan taklukanlah rasa penasaranmu. Terkadang kamu sangat mudah ditebak, namun jauhnya pandanganmu tidak terbataskan oleh jalan pikiranmu yang rumit."
Aku melihatnya.
"Nak, tidurlah. Besok adalah hari besar untukmu," katanya sambil membelai rambutku.

Iya, kuharap begitu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 04, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Big Love, Can't ChooseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang