1

17 1 6
                                    

Saat siang adalah waktu yang sangat aku sukai. Kalian pasti heran kan, kenapa aku suka sekali siang?

Yaelah, anggap saja kalian penasaran gitu. Bahasa gaulnya sih kepo, hehe.

Kalo kalian gak kepo, aku tonjok satu-satu nih!

Oke, kembali lagi ya.

Hampir semua orang pasti membenci waktu siang. Karena siang itu panas dan sinar matahari sangat terik. Namun bagiku tidak. Karena siang adalah waktu terbaik untuk....

Makan siang. Apalagi makan soto legendaris Mang Hendra.

Untungnya warung Mang Hendra buka cabang. Cabang dimana? Di kantin sekolah nih. Mantap kan?

Yang bikin soto Mang Hendra melegenda adalah serbuk koya yang dipadukan dengan kuah soto yang entah bahan-bahan magis apakah yanh dimasukkan kedalamnya. Magis disini bukanlah sesuatu hal yang gaib, melainkan itu hanyalah sebuah perumpamaan karena soto Mang Hendra ini muaknyus sekali. Dagangan Mang Hendra selalu laku keras.

Eh, kok ngomongin soto sih.

Satu kisah yang membuat hari ini berbeda adalah kejadian yang tidak kusengaja.

Aku menabrak seorang makhluk ganas bernama Mas Tejo. Eiits, dia itu sebenarnya kakak kelasku. Dia terkenal garang di sekolahku.

Lebih garang lagi kalau dia menemukan seseorang yang membuang sampah sembarangan.

"WOI KAMPRET! BUNGKUS CIKI LO KENA MUKA GUE!"

Sebenarnya aku merasa kasihan sama Mas Tejo. Tapi aku lebih kasihan sama orang yang membuang sampah sembarangan dan kini dia terkena murka dari sang senior yang ditakuti.

Kini aku mengerti perasaan orang itu.

"Woi."

Aku terkejut mendengar suara serak Mas Tejo yang kini memasang wajah super duper garang andalannya. Menabrak saja sih tidak masalah, hanya saja aku menabraknya dengan semangkok penuh soto yang barusaja kupesan.

Aw, panas tuh badan terkena kuah soto.

Aku merasakan berpasang-pasang mata yang menatap kami berdua. Aku bisa merasakan rasa iba yang dipancarkan dari orang sekitarku.

"Lo jalan pake mata."

"Masa mata dipake jalan. Anak tk aja tahu kalo jalan pake kaki, Mas."

Terdengar sorakan heboh yang keluar dari mulut beberapa siswa. Aku menutup rapat-rapat mulutku ini. Sial, aku tidak bisa menyimpan pikiranku sendiri.

"Oh, bagus. Sini lo ikut gue."

Dia menarik kerah bajuku dengan kasar. Kalian berpikir bagaimana nasib sotoku kan? Aku masih membawa mangkuk berisi soto namun kuahnya sudah tumpah dan tersisa setengahnya. Aku merasa bersalah sama Mas Arifin, petugas kebersihan yang ada di sekolahku. Nanti aku kasih apem lima deh buat pengganti bersih-bersihnya.

Aku dibawa ke sebuah ruangan yang berada di pojok gedung sekolah lantai tiga. Aku sering mendengar rumor kalau ruangan itu banyak penunggunya. Sudah di lantai tiga, pojokan lagi.

"Dan kenapa lo masih aja bawa mangkok soto." Mas Tejo menatapku dengan pandangan aneh. Tentu saja tangannya masih memegang erat kerahku, mungkin biar aku nggak kabur kali ya.

"Eh anu Mas, kan sayang sotonya aku tinggal di kantin. Lagipula aku sudah bayar sotonya. Mas mau?" Aku menatapnya sambil menyodorkan semangkuk soto yang ada di tanganku.

"G."

Euh, singkat banget jawabannya kayak cewek pms saja.

Entah keajaiban apa yang telah dia miliki sehingga bisa membuka ruang yang terlihat suram dari penampakan luarnya.

Kami berdua masuk ke dalam ruang keramat ini dan Mas Tejo mengunci ruangan ini dari dalam

What. The. Fish.

"Astaga, Mas mau ngapain?" Aku berkata dengan nada yang sedikit meninggi sambil berlindung dibalik mangkuk soto yang sudah tidak ada panas-panasnya lagi.

"Lo ngeres amat jadi orang."

Aku duduk di atas sofa panjang dan kuletakkan soto yang sudah tak berbentuk lagi. Bodo amat, yang penting perut ini kenyang.

"Bismillah."

Aku memakan soto itu dengan perlahan. Kutiup soto yang terlihat nikmat. Saat aku akan memasukkan sesuap soto Mang Hendra, aku melirik Mas Tejo yang kini menatapku dengan tatapan garang ditambah perasaan kesal yang mungkin sudah di ubun-ubunnya.

"Soto udah gak panas masih aja ditiup."

Aku mengernyitkan dahiku. "Hoi Mas! Meski soto ini sudah nggak panas, yang penting adalah penjiwaan saat makan. Dari penjiwaan inilah kita bisa merasakan bahwa soto itu masih panas. Begitu."

"Gila, baru kali ini ada cewek sinting kayak dia." Gumamnya. Aku menyantap soto itu hingga habis dan kini aku merasa bahagia.

Eh, sial. Aku baru sadar kalau aku berduaan sama Mas Tejo.

"Sudah?"

"Eh anu Mas, sudah. Hehe." Mampus aku.

Mas Tejo duduk berhadapan denganku. Dia menyilangkan kakinya sambil bersedekap. Oke, kurasa dia tipikal orang yang bossy.

"Karena lo, baju gue kotor seperti ini."

Aku menganggukkan kepalaku. Kulihat ada noda kuning yang menempel di baju Mas Tejo. Kuharap noda itu tidak permanen.

"Jadi, karena itulah lo harus bergabung dengan kami, anggota pemburu sampah."

Hah?

"Tu-tunggu dulu... pemburu sampah?"

Mas Tejo menganggukkan kepalanya. "Para unit kebersihan yang tidak diketahui oleh para siswa."

Belum sempat kusela, dia melangkah menuju pintu dan mengeluarkan kunci ruangan ini. "Sampai besok. Sandrina."

Mas Tejo tahu namaku darimana? Terus.... ini maksudnya aku dipaksa menjadi petugas kebersihan sekolah?

"Loh ehhh Mas! Jangan dikunci dari luar! Aku belum keluar!"

***

A/N = Hai para readers ceria sekalian. Setelah berpuluh-puluh tahun masih tersimpan di draft, dengan keputusan yang berat akhirnya saya post saja. Kalo kalian ada ide buat chapter berikutnya bisa spill di komen. *kedip-kedip penuh kode*

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 28, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kebersihan HeroesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang