Once in a Blue Moon

9.2K 839 44
                                    

"Kapankah saat terburuk setelah putus hubungan?"

Sedari masuk kuliah sampai break time, Darwin terus menerus menggumamkan pertanyaan populer dari film yang diperankan oleh Ethan Hawke dan Julie Delpy, -Before Sunrise & Before Sunset. Dia suka menonton film-film romansa dengan banyak ucapan puitis di dalamnya, membekali diri agar dapat memperlakukan perempuan dengan sayang. Agaknya selain meniru ucapan Ethan Hawke, dia juga meniru gaya rambutnya -slick back- hingga terlihat menggelikan bagiku.

Wajahnya begitu dekat, terlalu dekat malah. Seenaknya mengistirahatkan dagu di bahu orang lain, cowok itu. Terkadang mahasiswa yang berjalan di sekitar lobby fakultas ilmu sosial dan politik memperhatikan kami dengan risih. "Ketika ingat betapa sedikit dia terpikirkan dalam otak kita dan sadar sejarang itulah dia memikirkan tentang kita" katanya menjawab pertanyaan nya sendiri.

"Iya, aku menangis semalaman setelah putus dari Madison dan besoknya sudah tertawa kayak nggak pernah ada apa-apa. Kamu lagi menghina aku kan?"

"Mm" dia memalingkan muka ke arah ruang dosen di dekat pintu lobby. Mengalihkan pembicaraan pada sebuah keindahan. "Kalau sudah dewasa, gue pengen nikah sama cewek kayak dia. Bisa nggak ya?" bisiknya di dekat wajahku,

Aku menepuk pipinya, membuatnya bergerak mundur karena sebal. "Mungkin bisa, tapi nggak boleh!"

Kami kompak melamun ke satu arah, tepatnya ruang dosen. Disana, Shyla sedang berbincang dengan Prof. Kent sembari berjalan keluar ruangan. Sepertinya bimbingan skripsi, karena setahuku dia sedang melaksanakan penelitian sembari magang kedua. Seperti biasa, saat berada di luar forum formal dia mengenakan kemeja checkered, regular jeans, dan sepasang hi top chuck taylor. Sesimpel itu, namun selalu mesmerizing.

Dia sudah sendirian, nampak sedikit terkejut melihatku. Kuamati dirinya, terlihat cemas tapi memaksakan diri untuk tersenyum padaku. Sepertinya ada masalah terkait skripsi. Semua mahasiswa fakultas ilmu sosial dan politik tahu, Prof. Kent teramat ekstrem dalam mengkritisi tulisan ilmiah.

"Hai Chérie!" sapanya sembari berjalan menujuku, membuatku bangkit dan bergegas berjalan mendekat padanya. "Nanti malam ada blue moon ya?"

Aku mengangguk. Mendongak memandang langit di luar pintu. "Iya, padahal nggak berwarna biru dan entah kenapa dinamai blue moon. Setiap bulan, hanya muncul full moon sebanyak satu kali dan saat muncul dua kali maka dinamai blue moon. Mungkin karena itu segala hal yang jarang terjadi sering dianalogikan dengan blue moon"

Once in a blue moon. Suaranya berbisik lirih. Melengkapi perkataanku. Hatiku berdesir. Merasa bahagia dengan alasan yang tak kupahami.

"Terkadang, aku melihat langit dan banyak berpikir..." ucapnya dengan berbisik di depan wajahku, membuatku bergerak menjauhi dirinya. Bibirnya cemberut, lalu wajahnya mendongak mengamati langit yang mulai tak biru lagi, kekuningan seakan layu. "Ada bintang dengan jumlah tak terbatas di semesta, bahkan mungkin ada planet semacam bumi di galaksi lain. Saat itu terpikirkan, maka hidup ini terasa nggak berguna" nafasnya terhela panjang dan detik itu juga aku tahu bahwa, ada hal menyedihkan di dalam benaknya.

Matanya terpejam sejenak, lalu dia memandangku dengan mata berbinar-binar. "Sekarang semua itu membuatku bertanya-tanya, apa pentingnya skripsi?" sebuah tawa tergelak darinya. Aku turut tertawa namun hatiku terasa pilu.

Entah kenapa. Bagiku kata-katanya tadi bukanlah mengenai tugas akhir tetapi mengenai kehidupan yang dia jalani.

Kukeluarkan sebuah buku yang lebih kumal daripada The Soul in The Brain yang pernah kupinjam dari Ghani. "Skripsi memang sulit, tapi sulit bukan berarti nggak bisa" Kuserahkan buku yang dipenuhi sticky notes berisi coretanku itu padanya. "Buku ini semacam enlightenment ku dalam penelitian, kalau mau kamu bisa pakai"

ChérieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang