Pagi yang damai di akhir pekan dan harum aroma kopi yang menyeruak memenuhi tiap sudut ruangan. Tiap-tiap insan yang menyesap kopi dengan santai, meresapi aroma dan rasanya perlahan-lahan. Percakapan ringan—dari candaan sampai rayuan—berpadu dengan lantunan lembut musik jazz.
Pagi yang sempurna. Ya, setidaknya bagi orang-orang yang sedang berada dalam coffee shop ini.
Kecuali bagi sesosok pria yang saat ini sedang terduduk seorang diri di sudut ruangan. Rambut terlihat kusut, bibir merengut. Sketch book dihadapannya penuh dengan coretan tak berarti.
Song Mino. Pria itu bernama Song Mino. Sedang pusing luar biasa karena tak kunjung menemukan ide untuk proyek desain terbarunya. Niatnya datang ke coffee shop ini adalah untuk menemukan ide baru, tapi nyatanya nihil. Tiga jam Mino duduk disini, menghabiskan hampir tiga gelas kopi dan tetap tak ada yang bisa menggugah imajinasinya.
Mino menghembuskan napasnya pelan. Otaknya benar-benar panas sekarang. Ide yang tak kunjung datang dan deadline yang semakin dekat berhasil membuat kepalanya seakan mau meledak. Mino memutuskan berhenti sejenak untuk mengistirahatkan pikiran. Pelan-pelan Mino memijit keningnya, berharap pusingnya akan segera pergi.
Tiba-tiba saja gerakannya terhenti saat terdengar bel pintu masuk berdenting. Mino membuka matanya, dan kontan pupil matanya melebar. Niat hati hanya ingin melihat siapa yang masuk, tetapi yang didapat malah lebih.
‘Apa bidadari jaman sekarang telah berevolusi menghilangkan sayapnya dan memakai setelan Burberry?’ Batin Mino. Matanya tetap menatap sosok bidadari itu, bahkan sampai gadis itu telah selesai melakukan pesanan.Gadis itu berbalik, mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan. Sepertinya sedang memilih sudut yang nyaman untuk menikmati kopinya.
‘Disini, kumohon di sebelah sini..’ Mino memohon dalam hati. Rupanya Tuhan sedang berbaik hati padanya. Perlahan gadis itu berjalan ke arahnya, dan memilih meja yang berseberangan dengan meja Mino.
‘Tuhan, berkah dari-Mu memang tiada habisnya..’
***********************************
Gadis itu sedang memainkan smartphonenya, sambil sesekali menyesap frappucino merah jambu-nya. Dia belum sadar bahwa di seberangnya ada seseorang yang menatapnya lekat-lekat, seolah dirinya adalah sebuah karya seni, yang tiap sisinya memancarkan keindahan tersendiri.
‘Apa dia sedang menunggu seseorang? Siapa? Teman? Keluarga? Saudara? Atau keka—‘ Mino memilih tidak melanjutkan kata terakhirnya. Membayangkannya saja membuat hatinya mencelos luar biasa.