Gerimis

435 64 8
                                    

Dulu, aku kira aku akan menang.

Menang melawan perasaan hati yang tidak tersampaikan. Menang melawan sesuatu yang tidak terungkapkan. Karena aku terbiasa untuk menang. Menang dalam hal apapun. Tidak ada yang namanya kalah. Apalagi yang namanya kehilangan sesuatu yang pernah diraih. Karena aku adalah sang pemenang.

***

Sasuke Uchiha mengusap rambut raven hitamnya yang sedikit berantakan. Beberapa tetes hujan menjatuhi lantai putih dari ujung rambut. Beberapa bagian pakaiannya juga basah. Sang pewaris Uchiha mengalihkan kepalanya ke luar jendela, gerimis kembali melanda kota Tokyo. Hampir memasuki musim dingin.

Sasuke menghembuskan nafas panjang. Bola mata jelaganya bergerak-gerak gelisah ke arah luar café.

Café kecil di sisi kota ini tengah ditempatinya dengan janji kecil yang dibuat bersama seseorang lusa lalu. Sisi-sisi yang seharusnya dibuat dinding malah diganti dengan kaca transparan yang menyajikan pemandangan jalanan Tokyo yang biasa ramai. Ini sudah direnovasi beberapa tahun yang lalu, dan Sasuke cukup suka.

Hembusan nafasnya mengepul menjadi uap.

Sekeliling kaca jendela berembun karena gerimis kecil dan suhu udara lembab di sekitar.

Kopi panas di atas meja sudah tidak lagi berasap. Dia sama sekali mengacuhkan kopi pahit tersebut. Sasuke meliriknya tanpa minat. Mantel hangat berwarna cokelat sudah ditanggalkan sedari tadi dan disampirkan pada sandaran kursi, hanya tersisa kemeja berwarna putih polos yang digulung sesiku.

Klontreng

Lonceng di atas pintu berbunyi. Sasuke mengalihkan bola matanya untuk bergerak ke asal suara.

Seorang gadis berambut indigo dan berperawakan mungil tampak melambaikan tangan ke arahnya dengan semangat. Senyum manis dan sipitan di matanya yang terlihat bahagia membuat gadis itu tampak begitu menawan. Rambutnya lepek, basah, dan warna indigonya tampak semakin gelap karena lembab. Dress selutut berwarna biru turkis membuat penampilannya terlihat manis.

Dia masih secantik dulu.

Gadis itu mendudukan tubuhnya tepat di kursi berseberangan dengan Sasuke. Dia masih tersenyum. Wajahnya yang sedikit basah terlihat agak memerah. Udara di sekitar mungkin dingin, terlebih pendingin ruangan tidak dimatikan—Sasuke berasumsi.

"Maaf terlambat. Shinkanzen dari Kyoto tidak tepat waktu." Suaranya yang lembut menguar di udara. Tawa pelan meluncur dari bibirnya yang tipis pucat. Amethystnya menyorot lembut dan Sasuke merasakan dadanya menghangat.

Uchiha bungsu itu mengangguk pelan. Iris hitamnya masih memperhatikan sosok di seberang dengan teliti. Iris amethyst lavender itu masih tampak lembut dan membuat nyaman. Dia masih menjadi sosok hangat yang bersemangat. Masih seperti dulu.

Bibir mungil itu tersenyum. Memperhatikan wajah tampan Sasuke dengan sorot mata dalam.

"Aku merindukanmu."

"Aku juga." Sasuke menjawab cepat.

Gadis itu mengangguk. Kedua tangannya yang ada di atas meja tampak bergerak gelisah bertautan satu sama lain. Hawa dingin menyelusup masuk. Dia semakin kedinginan. Menyesal karena tidak membawa coat ataupun jaket. Dia lupa tidak menyetel siaran ramalan cuaca pagi tadi, jadwalnya hari ini cukup padat.

"Bagaimana kabarmu?" Dia menghiraukan rasa yang ada. Mencoba berbasa-basi. Senyum masih terlukis di bibirnya. Bergurat dengan indah. Rembulan itu tampak berpedar. Tidak kehilangan cahayanya.

Sasuke menghembuskan nafas.

Sedikit banyaknya dia merindukan wanita ini.

"Aku baik." Sasuke menjawab pelan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 01, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DrizzlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang