Sasuke selalu menjadi nomor dua, namun setidaknya dia selalu menjadi nomor satu bagi Hinata selama enam tahun kebersamaan mereka. Seolah serakah dari keagungan dunia, Sasuke rela membunuh hatinya dan mematikan perasaannya pada Hinata demi mengunggul...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dulu, aku kira aku akan menang.
Menang melawan perasaan hati yang tidak tersampaikan. Menang melawan sesuatu yang tidak terungkapkan. Karena aku terbiasa untuk menang, dalam hal apapun. Tidak ada yang namanya kalah, apalagi yang namanya kehilangan sesuatu yang pernah diraih. Karena aku adalah sang pemenang.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Uchiha Sasuke mengusap rambut hitamnya yang berantakan, helaiannya basah akibat hujan. Tetesan air yang mengalir dari ujung rambutnya jatuh ke lantai putih, meninggalkan jejak kecil yang segera memudar. Sebagian pakaiannya juga basah, mantel cokelatnya tampak sedikit lembap. Pewaris Uchiha itu mengalihkan pandangan ke luar jendela, memperhatikan hujan deras yang kembali mengguyur kota Tokyo. Musim dingin hampir tiba, dan udara dingin mulai menusuk tulang.
Dia menghela napas panjang, menenangkan pikiran yang tak kunjung henti berkelana. Mata hitamnya bergerak gelisah, memindai jalanan yang terlihat melalui kaca besar transparan yang membatasi kafe kecil itu. Aroma kopi dan vanilla memenuhi udara, menciptakan suasana hangat di tengah dinginnya kota. Kafe ini adalah tempat di mana dia berjanji bertemu seseorang—janji yang dibuat dua hari lalu.
Saat pramusaji datang menghampiri, Sasuke memesan secangkir kopi panas, berharap kehangatan bisa sedikit mengusir hawa dingin yang menyusup. Pandangannya kembali terlempar ke luar, memperhatikan hiruk-pikuk jalan yang tak pernah benar-benar tenang—orang-orang berlarian mencari tempat berteduh, payung-payung yang mekar di bawah hujan, dan lalu lintas Tokyo yang padat meskipun hari begitu suram.
Sasuke menghembuskan napas perlahan. Uap hangat dari bibirnya mengepul di udara, kontras dengan dinginnya suasana di luar.
Kopi panas di atas meja sudah kehilangan asapnya, seiring dinginnya udara yang merayap meskipun pemanas di kafe telah dinyalakan. Cangkir itu dibiarkan tak tersentuh, sementara mata Sasuke tetap terpaku pada jendela, memandangi jalanan yang sibuk di luar. Mantel cokelatnya yang hangat telah ditanggalkan sejak tadi, tergantung rapi di sandaran kursi. Hanya kemeja putih polos yang digulung hingga siku tersisa, menyisakan kesan santai di tengah dinginnya suasana.