Ini sudah 3 bulan Aku dan Justin menikah. Namun sikapku masih dingin. Kadang aku suka memukul kepalanya, atau kadang tak menjawab pertanyaanya. Tapi dia tetap bertahan dengan keinginannya.
"Maafkanku..." ucapku menundukan kepala karna penyesalanku.
"Aku tahu. Tak apa. Aku mengerti..."
Aku meraih tanganya dan membelai lembut kulit tangannya.
"Kau laki-laki baik. Aku yakin wanita yang memilikimu akan bahagia."
Rafael tersenyum manis, "Namun tak sebahagia aku ketika memilikimu..."
Ucapanya seakan membuatku terkejut dan segera menarik tanganku. Senyuman itu hilang.
"Aku harus pulang."
"Secepat itu..."
Aku mengangguk dan segera berdiri mengulurkan tangan kananku.
"Sekali lagi aku minta maaf."
Dia tak menjawab namun hanya berdiri meraih tanganku dengan lembut lalu tersenyum manis. Manis sekali. Miris mahkluk seindah itu harus tersaikiti... tersakiti karna ketidak berdayaanku.
*******
Aku berjalan gontai menuju istana kastil yang penuh dengan duri tajam yang selalu menusuk tubuhku. Sakit hingga bernanah. Bila putri dari negeri dongeng akan bahagia bila mendapat pangeran tampan. Bagaimana denganku? Kau tahu hidup dengan orang kau benci tertekan lebih tertekan daripada ketika kau khawatir tidak akan makan esok.
Aku menghela nafas berat sebelum tanganku meraih gagang pintu istana itu. Aku menetralkan deburan jantungku. Mungkin malaikat maut sudah memungguku di dalam. Ahh... tapi...
"Darimana kau?"
"Bukan urusanmu."ketusku.
"Kau..."
"Kenapa? Bukan kau sudah suruh orang membututiku jadi untuk apalagi kau bertanya denganku."jawabku dengan santai.
"Kenapa? Kenapa tak berusaha membohongiku saja. Bilang ajudanku berbohong. "
"Untuk apa aku harus membohongi diri... bila memang kenyataannya seperti itu. Pura-pura baik namun berakhir busuk. Aku tak mau sepertimu. Menyedihkan..." upatku kesal.
"Kenapa? Kenapa kau tak pernah takut."
"Untuk apa aku harus takut padamu. Kau manusia sama sepertiku. Lalu..."
Tawa itu menglegar menakutkan di telingaku.
"Lalu kenapa waktu itu kau tak lari ke arah pengacaramu bila kau tak takut denganku."
"Karna aku tahu kau akan membunuhnya bila aku melakukan itu."
Jujur aku takut tapi aku tak boleh terlihat lemah. Apalagi mata itu.. ya mata itu sungguh menakutkan hingga membuat tubuhku bergetar.
PYAR!!!
Guci mahal dan antik itu menjadi sasaran kemarahannya. Semua pengawal dan pembantu berlarian ke ruang tengah. Menyaksikan kemarahan majikannya yang sedang murka.
"Begitu sayangkah kau pada dia hingga kau tak ingin dia terbunuh. Ha.."
"Iya," jawabku tegas tanpa ada rasa ragu. Tujuanku adalah menyakiti dia, membuatnya menderita, membuatnya marah. Aku sudah berjalan sejauh ini tak mungkin aku mundur karna mata elang itu.
PLAKSS!!!
Aku tersungkur ke lantai dan keluarlah darah seger dari sela bibirku. Sakit Tuhan... dia tak pernah semarah ini. Dia menarikku berdiri dengan paksa. Ku dengar suara Arum yang akan menolongku namun di tahan oleh Dimas. Terdengar samar namun aku tahu Dimas tak ingin memperkeruh masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ξ\(⌒.⌒)/ξ LIBRA ( Adil dan tak adilnya hidup ini ) ( Sequel ) ξ\(⌒.⌒)/ξ.
Romancecinta yang di awali kebencian