Memori usang tiga tahun lalu yang telah ku rekam sempurna, teriang-riang diingatan. Tertidur bpulas aku rindukan setiap malam. Namun, tak jua datang, hingga tetesan ini aku sadari jatuh perlahan.
Rindu, 5 huruf itu yang aku rasakan sekarang, tak kunjung ada ujung, mungkin hingga hari tak lagi berkunjung. Kau yang diseberan entah juga merasakan, aku disini usang menahan rindu yang terus menyerang.
Ullah, dimana bayanganmu sekarang? Apakah memang harus aku tahan? Haruskah akau tahan?
Ullah, sekarang rinduku sudah tidak dapat ditahan. Masih ingatkah kau dengan bual manismu dulu. Masih ingat kau ustad Ampel Denta?. Jelas ucapanmu dulu
"Ikma, apapun yang kau rasakan saat ini, aku tetap akan memintajawaban termanis setelah syarat 30 juz untuk pendampingku telah ku sempurnakan.'
Namun, apa yang kau perbuat sekarang, mana implementasi ucapanmu itu? 2 tahun lost contact, itukah caramu mengikat hati perempuan? Sungguh cara mengikat yang mematikan.Memang salahku dulu, lupa memastikan saat kau memintaku. Aku lupa memastikan apa kau juga bersedia mempertahankan. Lalu apa dayaku sekarang?
Bayangkan Ustad Ampel Denta! Bayangkan! 2tahun kau tak memberi kabar, selama itu aku berusaha berfikir positif, mungkin kau lagi fokus dengan hafalanmu, atau mungkin kau ingin membuat kejutan luar biasa di ujung padang. Namun, sekarang fikiran itu tak bisa lagi kupertahankan setelah ku mendengar pernyatahan pahit yang kau lontarkan pada sahatmu Awa. Ia telah menceritakan panjang tentangmu, dan aku percaya dengan gampangnya, karena tak ada lagi yang kuterima selain itu tentangmu. Dan aku ingin bertanya, apakah aku salah?
Apakah kau akan menyalahkanku karena kupercaya begitu saja? Percaya akan perkataanmu dulu itu hanyalah bual palsu.
"Ikma, kau tak pantas melakukan ini untuk Ullah"
Jujur mendengar sahabatmu berkata seperti itu, aku marah, aku jengkel. Menurutku, rasaku, rasa sayang, itu dulu, sekarang tidak, tidak akan lagi, dan aku menyesal sempat bodoh melakukan itu.
"Awa aku tak menyangka!". Bentakku.
"Aku kira, kau benar sahabat baginya. Tapi ternyata jauh, kau tak lain musuh penusuk bagi dia."
"Ikma, aku tanya padamu, apa kau mendapat perhatian?"
"apa dia mengabarimu?"
"Jangan akui dia sahabatmu Awa, Jangan!." Bentakku, lalu pergi meninggalkannya.
Awa mengikuti langkahku, semakin ia mempercepat langkahnya, maka semakin kuperbesar langkah kakiku, tetesan tak lagi terbendung, terjajar rapi di benakku
"Apakah Benar?"
Dua kata berakhiran tanda tanya itu menemani langkah cepat yang tak bisa disusul oleh Awa. Hingga Langkahku berhenti tepat dibawah lampu lalu lintas. Melihatnya menyalakan lampu kuning sebagai tanda hati-hati. Hatiku bergumam
"lampu itu saja memberi aba-aba agar pelintasnya bisa siaga. Kenapa kamu tidak? Kenapa kamu tidak Ullah?"
Lampu sekitar ikut berkelip, serasa memberi isyarat setuju bahwa Ullah telah salah menyikapiku. Dari jalan itu kuteruskan langkah menuju rumah, tepatnya aku langsung menuju ruang berukuran 3x4 meter itu, yang telah banyak menjadi saksi bisu kerinduanku. Mungkin jika kau tanyakan pada dinding-dinding kaku itu, ia akan menceritakan sedetailnya kepadamu. Coba saja tanyakan.
Dan diruang penuh kesksian itu juga, aku meruahkan kekesalan padamu. Ingatanku memutar rekaman perkataan Awa tentangmu.
"dia tidak pantas, Ikma!"
"tidak pantas!"
"ia mengotori janjinya"
"ia telah mengotori janji suci itu"
Dia tidak pantas kau rindukan!"
Sudah kukatakan diawal, sebenarnya aku tak terima mendengar itu semua. Tapi, detik menghantarkan, logikaku mulai mencerna dan lambat laun ia mulai mengiyakan.
"Aku tak pantas merindukanmu, Ustad Ampel Denta."