Kedua mataku menangkap bangunan putih megah yang berada tepat di tengah sekitar kanan dan kiri jalan. Sepertinya memang sengaja dibangun di bagian sini. Supaya semua orang mudah mendapatkan tempat untuk berkomunikasi dengan Tuhan saat ingin mengadu atau mengobrol karena lelah dalam menjalani aktivitas kehidupan. Atau sekedar ingin merebahkan badan memanjakan tubuh dari aroma wangi dan suasana sejuk di dalam Masjid besar berkubah emas ini. Akupun yang belum memasukinya terasa damai meski hanya melihatnya.
Aku mencoba menatap keadaan sekitar, belum ada beberapa yang aku temui kecuali yang sudah berada di dalam Masjid akibat kaca bening menguntai sangat besar hingga aku dapat melihat mereka. Tak ingin aku mengganggunya, karena mereka sedang sholat. Daguku mendongak keras melihat panas matahari namun masih nyaman dirasakan. Seketika kulirik jam tangan berukuran kecil yang melingkar di atas tangan kananku memberiku tanda jam Sembilan lewat dua belas menit, tanda waktu dhuha yang sedang mereka lakukan di dalam Masjid.
Aku masih berdiri dengan koper hitam yang kugerek dari mobil. Menunggu Mang Diman sopir setiaku untuk menghampiriku menemani masuk untuk mendaftar. Yap! mendaftar. Dafrat sekolah baru. Oh tidak!, daftar sekolah baru lagi. Yah begitu tepatnya.
"Mari Neng," Ajak Mang Diman yang mulai mendekatiku setelah selesai berbicara dengan tukang penjaga pos tepat sebelum aku masuk.
Ini juga hal yang mengesalkan dalam hidupku. Setiap aku pindah sekolah, Mama dan Papa tidak pernah mengantarku dan itu tidak mungkin. Apa gunanya bersembunyi kalau aku bersama mereka??
Hanya Mang Diman dan tante Ratih istri Mang Diman yang biasa mengantar atau mengurus pendaftaranku dalam acara pindah sekolah atau mencari tempat tinggal. Seperti hari ini, hanya Mang Diman yang menemaniku. Tante Ratih? Tidak bisa ikut karena sudah hamil tua yang habis ini akan melahirkan.
"Lewat sini Neng," ajak Mang Diman lagi, membantuku mengarahkan jalan untukku dari hasil bertanya-tanya pada Bapak penjaga pos tadi.
"Saya gak yakin deh, Mang" utaraku jujur masih sambil mengikuti jalan
"Sama lah, seperti biasa-biasanya Neng" ujar Mang Diman menenangkan
"Tapi ini pesantren Mang, saya belum pernah masuk pesantren, bahkan saya belum tahu isi pesantren seperti apa?, lagian... Papa mah cuman bisa perintah...! aah..." akuku kesal
"Dicoba dulu, yuk??" ajak Mang Diman lagi memberikan senyuman pembesar hati.
Dengan susah payah aku mencoba menurut. Menyisir jalan ditemani rasa kesal.
Deretan bongkahan bunga-bunga cantik merekah membuka jendela mahkota mereka. Sang batang asyik duduk dalam pot besar berukir bunga berwarna merah dan hijau padam memberi kesan berlumut tapi dalam bentuk ukiran saja. Berjejer rapi sepanjang jalan. Dan aku mulai takjub karena persis seperti suasana jalanan di jalan-jalan kota.
"Ke arah mana Mang?" tanyaku saat melihat dua jalan yang harus kupilih lagi.
"Itu pasti tempat daftarnya" tebak Mang Diman setelah melihat gedung bermuka cantik seperti kantor dengan pintu terbuka lebar.
"Tahu dari mana?" tanyaku menyelidik
"Tadi, pas di pos depan" jawab Mang Ujang santai lalu beranjak mendahuluiku buru-buru masuk.
"Assalamualaikum" ucap Mang Diman dengan nada pelan namun sedikit keras setelah pas di depan tempat pintu terbuka.
Tak perlu menunggu lama. Muncullah perempuan tinggi dengan jubah polos berwarna hijau tosca dengan balutan jilbab hampir menutup sampai keperut dengan warna senada, dengan gaya mengaitkan sebelah kanan jilbab yang tak sampai ujungnya menempel dengan bros bunga berwarna hitam mengkilap melekat santai pada dada sebelah kirinya. Cantik dan ber-aura.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rebel for Pesantren
Teen FictionProfesi papanya yang membuat Billqis harus pindah-pindah sekolah yang berakhir pada pilihan persembunyian teraman yaitu PESANTREN. Karena papanya juga, Billqis harus merahasiakan siapa dirinya sebenarnya. Hingga suatu hari datang sebuah kegelapan d...