Diery

24 1 2
                                    

Amesoeurs
Pagi ini mentari tampak menyembunyikan sinarnya. Seorang gadis terbangun dari mimpinya. Semua tampak biasa saja. Sampai gadis itu mulai termenung. Matanya berkaca-kaca. Sebuah ingatan masa lalunya kembali menghantuinya. Ingatan pahit dimana tak seorangpun berharap untuk mengingatnya kembali.  Trist. Nama gadis itu adalah Trist.
Trist, yang larut dalam tangisnya, kembali merebahkan badannya.  Dia ingin kembali tidur.  Dan berharap jika semua yang dia alami hanyalah mimpi. Seperti itulah depresi.  Kamu terbangun suatu hari, tapi hidup membuatmu ingin tidur kembali.  Dan tak pernah terbangun lagi. Itulah yang Trist alami saat ini, setiap hari,  dan mungkin, suatu hari nanti.
Trist beranjak dari tempat tidurnya. Gadis itu bersiap dan berangkat menuju sekolah. Ya. Dia adalah seorang siswi. Yang sedang menjalani masa indah yang disebut dengan ‘SMA’.
Trist memadang headsetnya dan mulai mendengarkan lagu. Lagu yang membimbing detak jantungnya, lagu yang mengiringi setiap nafasnya, lagu yang menuntun derap langkahnya,  lagu yang mengisi kekosongannya. Dia melalui jalan yang biasa dilewatinya. Melihat pemandangan yang biasa diabaikannya. Belum selesai lagu itu dimainkan, tak terasa Trist sudah sampai didepan sekolahnya.
Dia memasuki gerbang. Dia berjalan dengan kepala tertunduk. Bukan tanpa alasan, hampir semua pelajar disana tidak suka kepada gadis rapuh itu. Sebanyak dia melangkah,  sebanyak itu pula pelajar yang menatapnya dengan sinis. Trist melewati tiga orang siswi yang sedang mengobrol dan bersenda gurau. Tanpa sengaja Trist menabrak salah satu siswi itu. Trist segera meminta maaf.  Tapi siswi itu membentak Trist.  Dia tak menghiraukan maaf dari Trist. Ya. Trist adalah seseorang yang tak terlihat walaupun ada didepan mata. Trist adalah sebuah kaus kaki yang tidak seorangpun ingin menyentuhnya. Trist adalah makanan basi di ujung kulkas yang tak dibersihkan tapi tak juga dilupakan. Singkatnya, bagi mereka, Trist bukanlah siapa-siapa.
Trist sampai di depan ruang kelasnya. Trist masuk dan duduk sendirian.  Tidak benar-benar sendirian. Dia duduk dengan kenangan bersama sahabatnya,  Heira. Yang sudah pindah sekolah dan tidak terdengar lagi kabarnya. Hanya sebuah coretan di meja yang tersisa dari persahabatan mereka berdua. ‘Trist & Heira, Best Friend Forever’ itulah yang tertulis disana. Di sebuah meja dimana tidak ada seorangpun yang mau berbagi tempat dengan gadis itu.
Jam pelajaran pun usai. Trist keluar dari ruangan kelasnya dan berjalan pulang. Masih dengan perasaan yang sama. Dan masih dengan tatapan sinis yang sama. Trist melewati tempat dia tadi menabrak seorang siswi. Dia mengingat perkataan siswi tadi dan kembali termenung. Dia pun melewati gerbang dan berjalan pulang.
Jalanan yang dilalui gadis itu sama setiap harinya. Sebuah jalan setapak yang cukup besar dengan pepohonan di sampingnya. Untuk sesaat, Trist merasa tenang karena dia akan pulang ke rumah. Tapi tanpa diduga,  tiga orang siswi yang dia lewati tadi pagi menghadangnya. Mereka merundungnya. Siswi yang Trist tabrak tadi, Alissa, mulai memarahi Trist. Dia merebut dan mengeluarkan semua isi tas gadis itu. Dia tampak mengambil sebuah buku milik Trist. Sebuah diary. Dua temannya, Angela dan Vicky, menginjak-injak buku yang berserakan itu. Mereka juga menendang tas milik Trist dan mendorong Trist sampai tersungkur kedepan. Dan, permainan kotor mereka pun dimulai.
Alissa membaca diary itu keras-keras. Trist tak bisa melawan karena sesungguhnya,  dia pasrah. Dia tak punya tujuan hidup. Singkatnya,  dia hanya ingin segera mati. Alissa mulai membacakan isi diary itu secara acak. “20 Maret 2005. Hari ini aku,  mama,  dan papa pergi ke air terjun. Kami berjalan sangat jauh untuk sampai ke sana. Kami bermain sepanjang hari dan bermain air. Aku sangat senang” Itulah halaman pertama dari diary Trist. Mendengar Alissa membacanya, mata Trist berkaca-kaca. Alissa dan teman-temannya meledek Trist sembari membuka-buka diary tersebut. “5 September 2011. Hari ini adalah ulang tahun mama. Aku dan papa ingin mengejutkan mama dengan memberikan kue yang kami buat sendiri. Tapi papa tidak bisa memasak sehingga kuenya gosong. Mama tertawa dan meledek aku dan papa. Kami memakan kue gosong itu bersama-sama. Mama masih bisa bercanda walaupun mulutnya penuh dengan kue yang pahit itu. Mama tampak sangat senang saat itu.  Itu membuat aku dan papa ikut senang” Alissa kembali membacakan diary Trist. Kali ini,  Trist mulai menangis. Matanya basah,  dan dia menutup mulutnya, berusaha agar dia tidak menangis. “9 September 2011. Untuk merayakan ulang tahun mama, kami berlibur ke air terjun. Aku ingat pernah berkunjung kesini saat aku masih kecil. Kami berenang dan bermain air. Tanpa sengaja,  aku terpeleset dan tenggelam. Mama berusaha meraih tanganku tapi mama malah ikut terpeleset dan kepalanya terbentur batu. Papa yang panik menarik kami berdua. Kami bertiga ditolong oleh beberapa pendaki dan kami dibawa ke Pos PMR. Mama pingsan, beberapa perawat berusaha memberikan pertolongan pertama untuk mama. Tapi mereka tidak berhasil menolong mama. Mama meninggal. Aku dan papa menangis saat itu. Kenapa mama harus pergi sekarang?” Trist tak sanggup lagi menahan semua itu. Tangisnya pecah. Dia meminta Alissa untuk menghentikan permainan kotornya. Tapi mereka malah menertawai Trist, dan membaca diary itu lagi. “16 September 2016. Kadang aku lupa kalau mama sudah meninggal. Aku kadang tidak sadar memanggil mama. Hal itu membuat papa sedih dan marah. Papa selalu menyalahkan aku atas meninggalnya mama. Hal itu membuatku semakin sedih. Papa sering termenung dan menangis seorang diri di teras rumah” Tangisan Trist semakin menjadi. Dia berusaha merebut diary itu,  berharap Alissa tidak membaca halaman-halaman berikutnya. Tapi Vicky mendorong Trist. Angela juga memarahi Trist. “Aku sudah tidak tahan lagi! Papa selalu menyalahkanku atas meninggalnya mama. Aku tanpa sengaja membentak papa. Hal itu membuat papa marah. Tanpa berbicara, papa pergi ke teras” Alissa membuka halaman selanjutnya. “Pagi ini aku bertengkar dengan papa. Aku langsung berangkat sekolah tanpa pamit terlebih dahulu. Dan kenapa Heira tiba-tiba pindah sekolah? Hal itu membuat perasaan dan pikiranku kacau” Alissa kembali membaca halaman berikutnya. Tapi Trist memohon agar Alissa tidak membaca diary itu lagi. Alissa tidak menggubris permohonan Trist dan kembali membaca. “Aku pulang dari sekolah. Aku tidak melihat papa di teras. Aku menuju ke kamarnya dan membuka pintu. Papa terbaring di lantai. Dengan racun tikus di sampingnya. Papa bunuh diri hari ini” Trist merebut diary itu dari tangan Alissa. Alissa dan teman-temannya mengancam Trist dan meninggalkan Trist sendirian. Bersama dengan rasa sakit, sedih, dan depresi yang mendalam.
Trist langsung memasukan barang-barangnya kedalam tas dan berjalan pulang. Dia melewati sebuah jembatan yang jarang dia pedulikan. Trist berhenti sejenak. Dia melihat ke bawah, wajahnya murung, matanya berkaca-kaca. Semua ingatan buruk Trist kembali menghantuinya. Semuanya. Meninggalnya mama, pertengkarannya dengan papa sebelum papa meninggal, perlakuan semua orang padanya, semuanya,  semua ingatan buruknya. Trist menangis. Dia tak sanggup lagi hidup tanpa kasih sayang. Dia tak sanggup lagi hidup tanpa tujuan. Dia tak sanggup lagi hidup. Dia ingin melompat saat itu juga. Terlihat seperti adegan di film titanic. Tapi, Trist tidak memiliki Jake yang menjadi penyelamat dan penyemangat hidupnya. Trist benar-benar putus asa saat itu. Dia berdiri di samping jembatan itu. Dia akan melompat. Tapi, dia ingat tawa ibunya. Dia ingat saat bermain bersama kedua orang tuanya disaat kecil. Dia ingat saat-saat bahagianya bersama Heira. Dia ingat keisengan Heira. Dia ingat kue gosong itu. Semua. Trist mengingat semua cinta yang pernah dia rasakan. Trist ingat kalau dia pernah bahagia. Kesedihan dan haru bercampur menjadi satu. Semua ingatan buruk dan ingatan baik Trist silih berganti mendorong dan menarik Trist dari pinggir jembatan itu. Itu membuat tangis Trist tak tertahankan.
Terdengar sesuatu dengan kencang menghantam permukaan air.
Trist membuang diary nya. Dan dia berjalan pulang. Merelakan semua yang sudah terjadi di hidupnya. Dia menemukan kembali semangat hidupnya. Dia masih memiliki cinta di hatinya.
Trist sampai ke depan rumahnya. Belum sempat Trist membuka pintu rumahnya, seseorang membuka pintu itu dari dalam. Trist tidak salah melihat. Didepannya berdiri mama, papa, dan sahabatnya, Heira, yang menyambut kepulangan Trist dengan senyum di wajah mereka. Trist menangis. Bukan tangisan kesedihan, tapi kebahagiaan yang mendalam. Trist memeluk mereka semua, dan mereka pun masuk ke dalam rumah.

Diary Trist hanyut dan sampai di suatu tempat. Diary itu menunjukkan halaman terakhir. “Untuk Trist. Dengan cinta,  Mama & Papa.” Dan sebuah gambar mama,  Trist,  dan papa,  bergandengan tangan dengan senyum di wajahnya.

DieryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang